Pagi hari menyapa dengan senyuman mentari yang begitu indah. Disambut merdu suara kicauan burung-burung. Sesekali terdengar gelak tawa dari beberapa orang warga yang asyik bercengkrama di depan rumahnya, di tepi jalan menuju sawah, menuju ladang, atau menuju sungai untuk mencuci dan suara tawa anak-anak kecil yang berlari, bermain dengan riang.
Namira tengah asyik membaca Al-Qur’an di dapur rumahnya sambil memasak air dan membuat bubur nasi untuk sarapannya dan maknya. Dengan khusyuk ia membaca al-qur’an kecil yang ada ditangannya. Sementara mak masih terbaring di tempat tidur. Tadi shubuh lepas sholat shubuh tiba-tiba mak muntah darah begitu banyak, tidak seperti biasanya. Namira tahu ini tidak bisa lagi dibiarkan. Mak harus segera dibawa ke rumah sakit di kota. Namira menutup al-qur’annya sambil mengucapkan doa. Kemudian ia berdiri untuk mengacau bubur yang sudah hampir matang dan mematikan api tungku. Sambil menyalin bubur ke mangkok ia termenung membayangkan hal yang buruk seandainya mak pergi meninggalkan ia dan dia akan tinggal seorang diri. Airmatanya kembali jatuh.
“Astaghfirullah al’azim, sakit Ya Allah.” Pekiknya sambil meniup jarinya yang kepanasan terkena tumpahan bubur dikarenakan ia melamun sambil menyalin bubur itu.
“Asslammualaikum.” salam seseorang dari luar.
Ucapan salam seseorang dari pintu depan menghentikan segala kegiatannya di dapur. Dengan cepat diusapnya airmata yang masih tampak basah dipipinya dan segera ia berlari menuju pintu depan.
“Waalaikumsalam.” jawab Namira sambil membua pintu.
“Bang Furqon, Ada apa bang?" ujarnya saat melihat sesosok Lelaki tampan bernama Furqon itu berdiri dihadapannya sambil memegang sebuah mangkok berisi sop ayam.
“Namira, mohon maaf kalau pagi-pagi abang sudah mengganggu. Abang Cuma mau mengantarkan sup ayam buatan mak abang nih. Tadi mak abang pesan suruh antar sup ini untuk mak Namira yang sedang sakit katanya.”
“Alhamdulillah, terimakasih bang. Baik sekali lah mak bang Furqon nih. Tapi tak perlu sampai susah-susah datang kesini mengantarkan bang, jadi tak enak hati Mira dibuatnya.” Jawabnya menahan segan. Namira terdiam sesaat menunduk menatap ibu jarinya.
“Tak apalah Namira. Rumah kita pun tak terlalu jauh. Lagi pula ini amanah dari mak abang. Jadi Namira tak mau terima pemberian mak bang nih?" ungkap Furqon sambil tersenyum.
“Tentu saja mau bang. Alhamdulillah. Terimakasih bang.”
“Siapa itu mir? ohh ... nak Furqon!" ujar mak yang berjalan pelan keluar dari kamar.
“Iya mak. Saya kesini mengantar kan sup dari mak saya ini. Masyaallah mak pucat sekali.”
“Namanya juga orang sudah tua nak Furqon banyak sekali penyakitnya. Tapi mak tak apa-apa. Terimakasih banyak nak Furqon. Sampaikan ke mak nak Furqon ucapan terimakasih dari mak ya.”
“Betul mak tak apa-apa? Sepertinya kita harus membawa mak berobat ke rumah sakit dikota Mira.” ungkap Furqon serius.
Tampak kecemasan diwajahnya terhadap mak Namira.
“Tak perlu lah Furqon. Mak tak apa-apa. Jangan khawatirkan mak.” Jawab mak sambil mencoba untuk tersenyum menutupi sakit yang sedang ia derita.
“Baiklah mak. Saya pamit dulu mak. Mau ke surau kebetulan hari ini ada gotong royong membersihkan saluran air disekitar surau mak. Namira, kalau ada apa-apa nanti jangan sungkan mengatakannya pada bang Furqon. Insyaallah abang akan menolong semampu bang Furqon. Oh ya, Namira juga bisa datang nanti jika ingin membantu para ibu-ibu menyediakan minuman.” Ungkap Furqon sambil sekilas menatap Namira yang tampak begitu cantik dengan busana daster berwarna biru dipadu dengan jilbab besar berwarna putih yang ia kenakan. Meski sangat sederhana pakaian yang ia kenakan namun tetap tampak cantik pada dirinya. Mungkin saja hatinya yang memancarkan cahaya dengan segala ketulusan hati yang ia miliki.
Namun Namira tak berani menatap Furqon. Ia berusaha menjaga pandangan.
“Terimakasih bang. Tapi maaf, sepertinya Namira tak bisa datang karena tak mungkin tinggalkan mak seorang saja dirumah.” jawab Namira singkat.
“Baiklah tak apa-apa Namira. Ya lah mak. Saya pamit dulu. Assalammualaikum.” ujarnya sambil melangkah pergi.
“Waalaikumsalam.” jawab Namira dan maknya secara bersamaan.
Namira menutup kembali pintu rumahnya. Mak menatapnya lekat-lekat. Namira menyedari tatapan mak padanya itu.
“Kenapa Namira jadi terdiam macam orang bingung saja?” Tanya mak.
“Tak adalah mak. Biase sajelah Namira pun.”
“Furqon dan keluarganya itu baiklah sama kita ya Mira. Tak kah hatimu ingin memiliki suami dan mertua macam tuh?” Ujar maknya mengulang kembali percakapan tadi malam.
“Ya mak. Baik sekali keluarga bang Furqon tuh. Semua gadis pun mungkin sangat inginlah memiliki suami macam dia tuh.” Jawab Namira sambil berjalan menuju dapur yang disusul pelan oleh mak.
“Termasuk Namira?” Tanya maknya lagi sambil menahan tangan Namira untuk berhenti melangkah lagi.
Namira diam.
“Namira, sebenarnya Maknya Furqon tuh sudah berulang kali meminta mak menikahkan kau dengan anaknya. Jujur saja mak senang jika kau mau menerimanya Namira.” Lanjut mak lagi.
“Maaakkk" Rengek Namira sambil memeluk maknya dari belakang.
"Namira tak adalah pikiran untuk menikah saat ini mak. Keinginan terbesar dalam hati Mira saat ini hanya ingin membawa mak berobat ke kota mak. Mira ingin mak sembuh. Mira mohon mak. Kita sudahi saja percakapan masalah pernikahan Mira nih. Jika masanya sudah tiba Mira akan menikah juga mak. Insyaallah. Allah sudah mengatur semuanya untuk Mira.” Matanya berkaca-kaca.
Mira segera mempercepat langkahnya menuju dapur untuk menyalin bubur untuk sarapan maknya dan meletakkan sup ayam dari mak Furqon kedalam tudung. Dalam hati ia sangat menyesal berkata seperti itu. Ia yakin hati mak pasti sangat sedih mendengar ucapannya.
“Hmmm ... sedapnya pasti nih bubur buatan anak mak. Dari aromanya saja mak sudah tahu. Marilah kita makan lagi mak pun sudah lapar nih.” Ujar maknya santai seolah-olah tidak ada masalah apapun yang terjadi tadi.
“Mak, maafkan Mira mak kalau kata-kata Mira tadi sudah menyakitkan mak.” Ungkap Namira sambil memeluk maknya.
“Sudahlah Namira. Tak perlulah kita bahas itu lagi. Mak percaya pada Namira.”
Namira dan maknya pun saling berpelukan. Kemudian Gadis dan ibunya itu duduk menikmati sarapan pagi mereka.
“Mak, sebenarnya hari ini Namira nak membawa mak ke rumah sakit di kota. Mak mau ya mak!” ungkap Namira tibatiba sambil menatap maknya yang sedang kesulitan menelan makanannya.
Mak terdiam sejenak.
“Kerumah sakit itu perlu biaya banyak Mira. Duit darimana kita nak? Sudahlah. Mak tak apa-apa.” Jawab maknya.
“Mak, masalah biaya mak tak usah fikirkan lagi. Penyakitnya mak ini harus segera kita obati mak. Namira punya tabungan dan juga nanti Namira akan jual cincin Namira.”
“Tidak Namira. Itu satu-satunya harta peninggalan ayah kau untuk kau nak. Tak bolehlah kau jual.”
“Mira tahulah mak. Tetapi mak lebih penting. Tolonglah mak, sekali ini saja mak mau mendengarkan Namira mak. Mira hanya ingin mak sembuh. Kita harus berusaha mak.” Matanya berkaca-kaca.