ISTIQOMAH CINTA

fitriyanti
Chapter #3

Awal Rasa

Sudah dua hari Namira dirumah sakit. Kondisi maknya pun sudah mulai berangsur baik. Namira masih kusyuk membaca al-quran di dalam mushola rumah sakit. Suaranya pelan namun masih terdengar merdu. Setiap ayat yang ia bacakan terasa menggetarkan hati bagi yang mendengarkan. Tadi selepas menyuapkan maknya makan siang dan membantu maknya sholat zuhur Namira pun pamit untuk ke mushola. Suasana mushola sudah mulai tampak sepi. Hanya beberapa orang yang masih tampak menunaikan sholat zuhur. Namira duduk di sudut dinding mushola. Tepat di samping pintu masuk mushola. Tangannya menggenggam sebuah mushaf kecil. Mulutnya tampak membaca al-qur’an dengan pelan. Wajahnya yang tanpa polesan make up tertunduk namun tampak cerah. Mungkin karena amal yang ia kerjakan.

“Assalammualaikum.” Sapa seseorang mengucapkan salam.

“Waalaikumsalam.” Jawab Namira sambil menatap pada orang tersebut.

Ternyata buk Dina. Ia segera duduk disamping Namira. Namira mengakhiri bacaan qur’annya dan menyimpan mushaf kecil kedalam tasnya.

 “Maaf jika ibu sudah mengganggu kamu mengaji. Tadi ibu lewat dan tidak sengaja melihat kamu sedang mengaji.” Ujar bu Dina sambil tersenyum. Ia masuk mushola tanpa mengenakan jilbab. Bahkan tadinya Namira mengira bu Dina baru saja sholat zuhur di mushola ternyata ia hanya lewat dan melihat Namira.

“Iya tidak apa-apa bu Dina.” Ujar Namira sambil melipat mukenanya dan meletakkannya ditempat mukena dan kembali menghampiri buk Dina.

“Apa kamu ada waktu? Mau Temani ibu ngobrol? Kebetulan ibuk mau ngajak Reza ke taman. Itu dia sudah menunggu diluar.” Ujar bu Dina sambil tersenyum penuh harap.

“Baiklah bu. Kebetulan ibu saya juga sedang istirahat. Mari bu”

Namira dan bu Dina sama-sama melangkah ke luar mushola. Ternyata benar didepan pintu mushola sudah menunggu Reza yang terduduk di kursi roda. Tampak kakinya dibalut perban dan beberapa luka jahitan di wajahnya. Entah kenapa Namira sedih dan prihatin melihat keadaan Reza. Reza duduk sambil menatap sinis pada Namira. Entah mengapa ia menatap seperti itu. Beberapa menit kemudian Reza kembali menunduk kemudian tertawa kecil. Bola-bola matanya bergerak-gerak kekanan kekiri tidak karuan. Namira hanya memaklumi keadaan Reza. Dan ia hanya beristigfar dalam hati dan berdoa untuk kesembuhan Reza. Bu Dina mulai mendorong kursi roda Reza menuju taman diiringi Namira yang berjalan disebelahnya.

Suasana taman tampak ramai dengan para pengunjung rumah sakit. Ada yang sekedar numpang tidur dibawah pepohonan rindang, ada yang sedang makan, atau tawa anak kecil yang bermain. Ada yang tampak duduk bersedih, mungkin memikirkan keluarga tercinta yang tengah terbaring sakit, ada yang tertawa sambil menerima telfon dan ada yang duduk diam.

Namira dan bu Dina memilih duduk disebuah bangku panjang didepan sebuah kolam ikan kecil dibawah pohon cemara.

“Bagaimana keadaan ibu kamu Namira? Maaf ya ibu belum sempat melihat ibu kamu. Ibu masih repot dengan Reza.” Tanya bu Dina membuka percakapan saat mereka sudah duduk dibangku taman.

“Tidak apa bu. Alhamdulillah ibu Namira sudah mulai membaik bu. Semoga saja ibu saya bisa segera sembuh agar kami bisa segera pulang ke kampung. Putra ibu sendiri bagaimana keadaannya?" Balas Namira bertanya sambil melihat sekilas pada Reza yang tertawa-tawa kecil sendiri sambil melihat kolam dengan tatapan kosong. Semakin Namira melihat Reza, Semakin Namira sadar bahwa sepertinya Usia Reza jauh lebih tua dari Namira. Reza 10 Tahun lebih Tua dari Namira.

“Beginilah keadaaan Reza, Namira. Dulu dia sama seperti Lelaki dewasa pada umumnya. Bahkan ia hampir saja menikah dengan gadis yang ia cintai. Hingga suatu hari keluarga kami mendapatkan suatu musibah yang sangat besar dan menyakitkan. Bagi ibu, itulah cobaan terberat dalam hidup keluarga kami." terang bu dina dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tampak ia menarik nafas dalam sebelum melanjutkan ceritanya.

“Reza adalah putra pertama ibu dan ia mempunyai seorang adik perempuan. Mungkin ini juga akibat kelalaian kami sebagai orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak hingga akhirnya adek perempuan Reza terjerumus kedalam pergaulan bebas saat sedang menempuh pendidikan di jepang. Pendidikan adeknya jadi terbengkalai akibat adeknya jadi pecandu narkoba dan kehilangan keperawanannya. Untung saja adeknya berhasil pulang ke indonesia. Reza sangat kecewa pada adiknya hingga akhirnya malam itu terjadi pertengkaran antara adiknya dan Reza. Reza khilaf menampar adiknya hingga akhirnya adiknya kabur dari rumah dan kami menerima kabar bahwa adeknya kecelakaan lebih tepatnya ia mencoba bunuh diri dengan cara sengaja menabrakkan mobilnya ke pembatas jalan dengan kecepatan yang sangat tinggi hingga akhirnya adeknya harus mengalami Koma. Akhirnya papa Reza marah pada Reza dan terjadi pertengkaran hebat karena Reza yang yang masih shock merasa papanya membela adiknya yang telah berbuat salah. Hingga akhirnya papanya kena serangan jantung dan meninggal saat bertengkar dengan Reza, sehari setelah adiknya kecelakaan. Sebulan kemudian adiknya bangun dari Komanya ia tahu apa yang terjadi dan Sejak saat itu adik perempuannya tidak mau memaafkan Reza dan menyalahkan Reza atas kematian papanya. Reza juga sangat merasa bersalah hingga akhirnya jiwanya terguncang hebat. Terlebih ia sangat dekat dengan sosok papanya melebihi saudaranya yang lain. Psikiater bilang ini akibat tekanan dan rasa bersalah yang amat dalam serta ketidaksiapan mentalnya menerima kenyataan bahwa papanya meninggal saat sedang bertengkar dengannya dan rasa bersalah karena adiknya mencoba bunuh diri dan koma. Sejak itulah Reza jadi seperti ini. Ia seperti tidak mengenal dirinya sendiri. Jika ia teringat papanya atau kejadian itu maka ia akan mengamuk dan berteriak-teriak bahkan ia tak segan melukai dirinya dan orang-orang disekitarnya.”

Bu Dina menarik nafas dalam. Airmatanya sudah tampak menggenang di kedua pipinya. Ia menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Sejenak ia terdiam. Namira pun diam. Ia tak tahu harus berkata apa.

“Adik perempuannya pun hingga kini sangat membenci Reza. Padahal ibu sudah berulang kali mencoba membuat mereka akur kembali. Tetapi terlalu sulit. Kebencian terlalu mengakar di hati adiknya. Ibu sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa." Bu Dina semakin segugukan bercerita. Berulang kali ia menyeka airmatanya yang sudah membanjiri wajahnya.

“Maaf bu. Saya bingung harus berkata apa. Tapi saya lebih bingung lagi kenapa ibu mau menceritakan semuanya pada saya. Orang yang baru saja ibu kenal?” Namira mulai bersuara.

Bu Dina terdiam sejenak dan menatap Namira dalam-dalam jauh kedalam bola mata Namira.

“Entahlah. Saya juga tidak mengerti. Entah mengapa saya merasa nyaman saja jika bercerita dengan kamu Namira. Apa kamu merasa keberatan ibu bercerita pada kamu, Namira?”

Namira jadi merasa tidak enak. Wajahnya memerah.

“Masyaallah. Bukan seperti itu bu. Alhamdulillah jika saya bisa jadi orang yang menyenangkan untuk orang lain. Tapi saya hanya takut bu. Takut tidak bisa menyimpan rahasia ibu.”

Bu Dina menggengam tangan Namira dengan lembut Dan tersenyum.

“Saya yakin kamu orang yang amanah Namira. Namira, seandainya saja ...” Ucapan bu Dina terhenti. Ia menatap pada Reza.

“Seandainya Apa, bu?” Tanya Namira bingung.

Bu Dina mengelus lembut puncak kepala putranya.

“Tidak. Tadi saya hanya berfikir seandainya kamu jadi menantu saya. Tentu saya akan sangat bahagia. walau kita baru kenal tapi entah mengapa saya merasa nyaman dengan hanya melihat wajahmu saja nak. Tetapi tidak mungkin gadis secantik dan sebaik kamu mau dengan putra saya yang tidak normal seperti ini” Bu dia tersenyum miris.

Namira sontak kaget dan wajahnya semakin memerah. Entah mengapa refleks padangannya beralih kepada Reza.

“Masyaallah bu, kenapa bicara seperti itu? Normal atau tidak putra ibu tetap seorang hamba Allah dan setiap Hambanya sudah punya jodohnya masing-masing. Kita tidak pernah tahu rahasia Allah dan jika Allah menggariskan saya sebagai jodoh putra ibu maka apapun tidak akan dapat menghalangi baik itu normal atau tidak. Sekalipun seluruh dunia mengatakan tidak mungkin, namun bagi Allah itu sangat mungkin.”

Bu Dina tersenyum kecil. Airmatanya kembali tumpah saat menatap Reza yang komat-kamit tak jelas.

“Bu, saya mungkin tak sepenuhnya dapat merasakan apa yang ibuk rasakan. Tapi saya mengerti perasaan ibu sebagai seorang ibu. Tetapi ibu harus kuat dan tetap berusaha untuk membuat bang Reza sembuh.”

Bu Dina menatap pada Namira yang sedang menggenggam tangannya.

Lihat selengkapnya