ISTIQOMAH CINTA

fitriyanti
Chapter #4

Luka Hati Laila

Suasana pagi masih terasa indah dengan udara yang begitu sejuk. Jam masih menunjukkan pukul 08. 00 pagi. Pagi ini setelah sarapan Namira pergi ke sungai di tepi hutan dekat dengan rumahnya. Sungai itu sangat indah dengan panorama air terjun yang indah, bebatuan besar, serta air yang sangat bersih dan dingin. Hampir seluruh warga desa memanfaatkan sungai ini untuk keperluan sehari-hari seperti mencuci, mengambil air serta mandi sekalipun. Sungai ini merupakan jantung kehidupan desa ini.

Tak terasa sudah dua Tahun telah berlalu sejak kejadian pertemuan Namira dengan bu Dina dan Reza di rumah sakit di kota. Namira tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Reza selanjutnya sejak ia mendengar Reza mengamuk dirumah sakit tersebut. Bahkan Namira tak pernah tahu siapa sebenarnya bu Dina, darimana asalnya, dimana alamatnya. Pertemuan mereka terlalu singkat namun entah mengapa Namira masih sering teringat pada bu Dina dan juga Reza. Namun ia pasrah. Ia sudah berusaha untuk melupakan namun bayang-bayang itu selalu saja muncul. Biarlah Takdir Allah yang akan menjawabnya nanti.

Namira duduk di tepi bebatuan. Dengan sigap tangan-tangannya yang tampak halus putih itu mencuci pakaian dia dan maknya. Meski sedang mencuci tak lantas ia membuka auratnya begitu saja. Ia tetap mengenakan pakaian yang menutup auratnya. Dari wajahnya yang cantik tampak bahwa saat ini hatinya sedang tak tenang. Hatinya gelisah. Bagaimana tidak, belakangan ini maknya kembali sakit-sakitan. Bahkan tadi pagi maknya kembali muntah mengeluarkan darah. Padahal sejak pulang dari rumah sakit 2 tahun yang lalu kondisi maknya sudah membaik tetapi entah kenapa maknya kembali muntah darah. Sepertinya mak harus kembali dibawa kerumah sakit. Namun bagaiman dengan biayanya. Namira sudah tidak punya apapun lagi yang bisa ia jual untuk biaya berobat maknya. Ayahnya tidak meninggalkan warisan apapun yang dapat digunakan untuk biaya berobat maknya. Sedangkan ia hanya mengajar ngaji di kampung itu yang tidak sedikitpun ia mengharapkan upah. Hanya saja terkadang ada beberapa ibu-ibu yang anaknya diajar oleh Namira mengucapkan terimakasih pada Namira dengan memberinya beras, lauk ataupun sedikit uang.

Tidak jauh dari tempat Namira mencuci pakaian. Tampak Beberapa orang ibu-ibu telah selesai mencuci pakaian.

 “lihat tuh si Namira bukan?” ujar salah seorang ibuk-ibuk. Dia adalah mak Pur. Ibu dari Faisal, calon suami Namira yang kabur bersama gadis lain.

“Iya. Itu si Namira. Kasiannya dia tuh dua kali gagal menikah.” Sambung ibuk yang lain.

“Iiihhh apa pulak nak dikasian kan? Kalau saja dulu anak ku tak ke kota untuk membelikan keperluan pernikahan dia dan Namira tuh mungkin sekarang si Imron masih ada. Tidak akan kecelakaan. Itu semua terjadi Karena Imron hendak menyenangkan hati gadis petaka tuh.” Sambung mak Yur, ibunda almarhum Imron.

“Iya. Dulu ayahnya meninggal juga karena kecelakaan waktu mau ke kota membelikan perlengkapan sekolah dia tuh. Padahal saat itu Hujan Begitu Lebat tetapi Ayahnya bersikeras juga berangkat demi si Namira itu” Ibu-ibu lain menanggapi.

“Dia tuh memang pembawa petaka. Kalau bukan karena kesialan dia tuh anak aku Faisal mungkin tidak akan kabur ke kota dan sampai sekakarang tak pernah pulang. Menyesal dulu aku memaksanya menikah dengan gadis petaka tuh. Malah kehilangan anak bujang aku sekarang." Berang mak faisal sambil menatap sinis pada Namira.

“Memang sudah malang betul nasib dia tuh. Selalu saja sial.” Timpal salah seorang yang lainnya.

Pelan namun jelas terdengar di kuping Namira. Ia hanya dapat diam menahan semua kesedihan hatinya. Ini bukan sekali dua kali ia dibicarakan seperti itu. Ia hanya dapat menahan airmata dari kedua pelupuk matanya dan tetap melemparkan senyumnya pada sekelompok ibu-ibu tersebut saat pergi berlalu dihadapannya.

Ia kembali termenung. Dalam hati ia hanya dapat beristighfar.

“Namiraaaaa …” Pekik seorang wanita muda.

Cipratan air diwajah Namira mengagetkannya.

“ihhh…kau ini Laila. Terkejutlah aku gara-gara kau nih.” Jawab Namira sambil membalas mencipratkan air ke Laila.

“Hahahah … sorry lah. Habisnya kau tuh melamun saja dari tadi kulihat. Sudah lama aku berada disini kau tak sadar juga.” Ujar seorang gadis yang bernama Laila itu.

Gadis itu tidak kalah cantik dari Namira. Ia manis dengan kulit yang juga putih. Hanya saja ia memilki tubuh yang lebih pendek dari Namira. Busana daster berwarna coklat dengan jilbab hitam tampak anggun dikenakannya.

“Apa yang sedang kau fikirkan ?” Tanya Laila sambil duduk di dekat sebuah batu yang tidak jauh dari Namira berada.

“Mak aku. Mak harus segera dibawa berobat ke rumah sakit kota sepertinya. Tadi shubuh mak batuk berdarahnya makin parah saja. Darahnya banyak sekali yang keluar.” Jawab Namira sambil memandang kosong pada aliran sungai yang mengalir membawa pergi busa-busa sabun cuciannya.

“Masyaallah Mira, kalau macam tuh lebih baik janganlah lagi di tunda-tunda. Mak kau tuh harus cepat berobat kerumah sakit tuh Mira. Biarlah aku saja yang bicara pada pak Ismail kepala desa nanti. Mungkin saja dia bisa membantu kau nantinya. Oh iya, lagi pula aku dengar tadi dari mak cik aku, katanya kita akan kedatangan tamu dari kota. Rombongan dokter dari rumah sakit, katanya mau melakukan sosialisasi Kesehatan di kampung kita. Ada pengobatan gratis juga katanya. Cobalah nanti kau bawa emak kau kesana. Sekahlian bisa tebar pesona juga nanti, manalah tau dapat jodoh dokter dari kota.” Jelas Laila sambil menatap Namira serius sesaat kemudian ia ketawa keras melihat ekspresi Namira yang wajahnya seketika merah seperti tomat saat Laila menggodanya.

“Isss apalah kau nih. Jantan aja isi kepala kau tuh. Lagian Aku tak enak hati Laila. Pak Ismail tuh sudah sangat baik padaku dan Emak. Dia tidak akan sungkan menolak tapi nanti aku yang tidak tahu bagaimana caranya membalas budi keluarga mereka.”

Namira tertegun. Wajahnya penuh keraguan.

“Janganlah itu yang kau pikirkan saat ini Namira. Yang penting bagaimana mak kau bisa segera berobat. Biarlah nanti aku yang akan menyampaikan pada pak mail “ Ujar Laila sambil mengambil kain dari ember Namira dan membantu Namira mencuci.

“Terimakasih Laila. kau memang sahabat terbaikku. Kalau bisa bantu aku sampai selesai ya mencuci kain-kain nih.” ungkap Namira sambil nyengir diikuti oleh siraman air oleh Laila ke wajah Namira.

“Ya lah, sahabat terbaik lah aku nih Mira. Lepas aku bantu kau mencuci kain bantu pula lah aku ya." jawabnya sambil terus mencuci.

“Ya lah. Apa tuh? Bantu menyampaikan perasaan engkau pada Furqon kah?” Tanya Namira sambil tertawa mengejek Laila.

“ Namira … Sssstttt …” Teriak Laila terkejut sambil menutup mulut Namira dengan kedua tangannya.

“Apalah kau ini Mira. Kalau terdengar sama orang lain malu sangatlah aku Mir, Aku jepit hidung mancung kau tuh nanti ya." lanjut Laila sambil menarik hidung Namira yang masih tertawa.

“Ya lah maaf … sakit hidung aku la. Hilang pula cantik aku nanti." ujar Namira sambil cengengesan.

“Cuma kau saja yang tahu Mira soal perasaan suka aku pada bang Furqon. Sempat ada orang lain yang tahu bisa mati karena malu aku Namira.” Ujar Laila panik.

“Baguslah banyak orang tahu. Mana tahu saja kalau si Furqon dengar dia bakal melamar kau nanti Laila."

“Syukur-Syukur kalau dia melamar aku Mir, sempat dia kabur dari kampung nih karena malu macam mana?” 

Tawa Laila dan Namira pun meledak. Lalu kedua gadis itu kembali mencuci pakain sambil sesekali bercanda dan bermain air.

Deras air sungai mengalir membawa buih-buih sabun yang perlahan mulai hilang ditelan air sungai. Suasana pagi masih terasa. Sungai semakin ramai oleh ibuk-ibuk yang ingin mencuci pakaian dan suara cekikikan anak-anak yang asyik bermandi air sungai. Namira dan Laila hampir selesai mencuci pakaian saat tiba-tiba seseorang berlari menuju sungai meneriaki nama Namira.

“MIRAAAA …” Teriak orang tuh sambil berlari menuju Namira dan Laila. Orang itu adalah mak Lis saudaranya Laila.

“Ada apa mak Lis ? Kenapa teriak-teriak macam tuh ?” Tanya Namira ikutan panic.

“Mak kau Namira, mak kau tadi pingsan. Dia muntah darah Mira. Banyak sangatlah. Sekarang dibawa oleh warga kampung ke rumah pak mail. Cepatlah kau kesaa ... ”

Belum selesai mak Lis berbicara. Namira telah langusng berlari sambil menjatuhkan semua cucian yang sudah bersih ia cuci. Ia berlari bahkan tanpa sempat mengenakan alas kaki.

“Maakk ...” Teriak Namira sambil terus berlari menuju rumah pak mail yang tak lain juga rumah Furqon. Bahkan tatapan dari orang-orang kampung pun diabaikannya. Dalam fikirannya hanya satu. Ia ingin melihat mak. Ia tidak mau melewatkan sedetik pun waktu yang dapat membuat ia menyesal nantinya.

Telapak kakinya yang tanpa alas kaki tampak mulai mengeluarkan darah. Tentu saja. Sudah berulang kali kakinya terbentur batu dan menginjak duri semak disekitar sungai. Namun itu semua tidak sedikitpun membuat ia merasakan sakit. Rasa sakitnya sudah terkubur dengan rasa cemas dan kesedihan yang sedang melimpah ruah di hatinya. Mak. Cuma mak seorang yang ia miliki. Tak sanggup rasanya jika saat ini ia harus kehilangan mak. Dia teringat pada keinginan maknya yang sudah sangat ingin melihat ia menikah. Airmatanya semakin deras membanjiri kedua pipinya.

“Maaakkk ...” Teriak Namira saat sampai didepan pintu rumah pak mail. Nafasnya tersenggal-sengal. Keringatnya bercucuran bercampur limpahan airmata.

Orang-orang sekitar sudah ramai berkumpul disana. Semua terdiam memandang Namira. Tak satupun di diri Namira yang luput dari pandangan mereka. Namira tampak kacau dan berantakan.

Namira terduduk lemas disamping maknya yang masih terbujur. Ia genggam tangan maknya. Ia kecup. Dan ia tempelkan di pipinya yang basah oleh banjiran airmata.

“Miraaa … sabarlah nak. InsyaAllah Mak kau tak kenapa-kenapa. Mak kau tadi pingsan. Nanti sama-sama kita bawa mak kau berobat ya.” Pak Mail bapaknya Furqon yang juga kepala desa mencoba menenangkan Namira.

“Iya Mira … kau sabarlah nak. Moga saja sebentar lagi mak kau sadar. Dan juga Sebentar lagi akan datang seorang dokter dari kota ke kampung kita nih. Kau tunggu sajalah dulu.” Sambung istri pak Mail yang tak lain adalah maknya Furqon.

Namira tak menjawab. Ia diam. Tangannya masih kuat menggenggam tangan maknya. Airmatanya masih terus mengalir meski tanpa suara. Ia teringat kejadian tadi pagi saat ia menentang kata-kata maknya yang ingin menikahkan ia dengan Furqon.

Diantara warga desa yang datang tampaklah Furqon berdiri menatap sedih kepada Namira. ia baru saja datang dari surau mengikuti kegiatan gotong royong. Ia seperti ikut merasakan apa yang Namira rasakan. Begitu berat hidup yang Namira jalani. Furqon berjalan pelan menuju maknya. Bahkan tanpa disadari oleh Namira. Furqon membisikkan sesuatu pada maknya. Maknya tampak mengangguk pelan.

Mak Furqon tampak berdiri menuju dapur dan keluar dengan membawa segelas air putih. Ia berjalan menghampiri Namira yang masih duduk lemas disamping maknya yang masih belum sadarkan diri.

“Mir ... minumlah air putih nih dulu. Kau pasti terkejut tadi.’’ Ujar mak Furqon sambil menyodorkan segelas air kehadapan Namira.

Tangis Namira pecah saat meraih gelas berisikan air putih itu.

“Mak … mak Namira akan baik-baik saja kan?" ujar Namira menangis.

Mak Furqon pun tampak sedih dan memeluk Namira.

“Insyaallah mak kau kan baik-baik saja. Sama-sama kita berdoa ya. Sekarang kau minum lah dulu lepas tuh gantilah baju kau tuh. Pakai baju mak saja. Marilah mak antar ke kamar." ajak mak Furqon sambil membantu Namira berdiri.

Rupanya itu yang tadi dibisikkan Furqon pada maknya. Ia kasihan melihat Namira dengan keadaan seperti itu.

Sementara itu di tepi jalan dikampung tampaklah sebuah mobil Toyota Fortuner berhenti. Jam masih menunjukkan jam 10 Pagi. Dari dalam mobil itu kemudian turun seorang Laki-laki bertubuh tinggi dan putih. Ia mengenakan pakaian yang sangat rapi. Dengan stelan celana hitam dan baju kemeja berwarna biru. Serta kacamata coklat besar yang bertengger diantara batang hidungnya menutupi kedua matanya. Ia seperti sedang kebingungan. Dia melihat ke sekeliling seperti sedang mencari-cari sesuatu.

Laila berjalan dengan tergesa-gesa bahkan setengah berlari menuju rumah Furqon. Tadi selepas ia ditinggal Namira di sungai ia langsung membereskan semua kain-kain Namira yang berserakan di tepi sungai dan mencucinya kembali kemudian ia bawa pulang untuk dijemur.

Ia berjalan melewati mobil Toyota fortuner putih yang terpakir ditepi jalan. Ia memang sedikit heran dengan mobil itu karena di kampung ini tidak ada warga yang memiliki mobil semewah dan bagus mengkilat seperti itu. Dalam hati ia bertanya-tanya siapakah pemilik mobil itu. Namun Laila tetap terus berjalan menuju rumah Furqon ia ingin melihat apa yang terjadi dengan Namira dan maknya. 

Langkahnya terhenti saat Lailaki pemilik mobil mewah itu memanggilnya. Laila berbalik melihat Laki-laki yang sudah dilewatinya beberapa langkah itu.

“Maaf … kalau rumahnya bapak ismail kepala desa dimana ya?" Tanya Laki-laki itu sambil membuka kacamatanya yang menutui matanya yang indah berwarna coklat.

Laila hamper saja terhipnotis.

“Astaghfirullah al’azim.” Ucap Laila dengan cepat saat ia menyadari apa yang ia rasakan barusan adalah hal yang sangat salah.

“Kenapa ?" Tanya Lailaki itu kebingungan melihat ekspresi Laila.

“Tidak ada apa-apa bang. Tadi abang ini bertanya rumah pak ismail kah?"

Furqon mengangguk.

“Dari jalan ini abang jalan saja terus. Kalau naik mobil tidak terlalu jauh. Nanti rumah pak Mail yang berwarna hijau dan rumah yang paling bagus disana. Disebelah kiri dari jalan ini.” Jelas Laila sambil kemudian menatap kearah jalan yang lurus tersebut.

Laki-laki itu menatap jalan yang ditunjuk oleh Laila.

“Baiklah. Terimakasih." ujar Laki-laki itu kemudian bergegas masuk ke dalam mobilnya.

Laila melanjutkan kembali perjalanannya sambil terus bertanya-tanya dalam hatinya siapa gerangan Laki-laki itu? mengapa ia mencari pak Mail ? Laki-laki itu tidak mengucapkan salam, Apa memang ia bukan seorang muslim? begitu banyak pertanyaan dibenak Laila. Laila terus berjalan menuju rumah pak mail. Ia mempercepat langkahnya.

Laki-laki itu telah duluan sampai dirumah pak mail. Ia disambut hangat oleh pak mail dan beberapa orang warga yang masih berada dirumah pak mail.

“Assalammualaikum Dokter Azka,” salam pak mail sambil menyalami Lailaki yang ternyata seorang dokter itu.

“Waalaikumsalam pak Ismail.” Jawab dokter Azka sambil menyambut tangan pak mail.

 “Selamat datang dikampung kami dok. Kebetulan dokter telah datang, didalam ada salah satu warga kami yang sedang sakit sepertinya sakit jantung atau paru-paru dok, barangkali saja dokter mau memeriksa sakit apa beliau ini dok.” Jelas pak mail.

Dokter Azka melihat sekeliling. Suasana kampung ini sangat terlihat asri dan sejuk.

“Ayo dokter silahkan masuk!" Pak mail mempersilahkan.

“Baik pak, tapi saya kesini tidak seorang diri pak. Kebetulan saya juga datang bersama seorang dokter spesialis jantung dan paru-paru. Kami sama-sama sedang melakukan observasi dikampung ini pak. Tadi ia ketiduran di mobil karena kecapekan menyetir. Saya akan coba bangunkan dulu pak” Jawab dokter Azka sambil kembali berjalan menuju mobilnya.

Azka berjalan kembali menuju mobilnya. Ia mengetuk-ngetuk kaca mobilnya. Kaca mobil dibuka oleh seseorang.

“Sudah sampai bang. Bangunlah!" ujar Azka pelan.

Laki-laki itu membuka matanya dan melihat sekeliling. Kemudian ia menarik nafas dalam.

“Kadang abang heran lihat kamu Azka. Begitu banyak tempat observasi mengapa kau pilih kampung yang jauh di pelosok seperti ini. Sepanjang perjalanan hingga sekarang lebih banyak Hutan saja yang abang lihat." ujar dokter Adam sambil memasang kacamata hitamnya.

“Pelan sedikit kalau ngomong bang. Kalau Dengar sama warga kampung sini tidak enak kita jadinya. Kalau mau melakukan observasi dan bakti sosial ya dikampung seperti inilah bang dimana penduduk kampungnya masih belum terlalu memahami ilmu Kesehatan dan juga jarang mendapatkan perhatian. Kalau dikota ya percuma saja sudah pada paham juga mereka soal kesehatan. Lagian ini juga perintah dari manajemen rumah sakit agar kita melakukan kegiatan sosial ini dikampung-kampung seperti ini. Sudahlah bang, ayolah turun!”

Azka kembali berjalan menghampiri pak mail. Dari dalam mobil turunlah seorang Lailaki memakai kemeja biru bergaris dan celana hitam serta sepatu kulit hitam mengkilat. Wajahnya tampan, badannya tegap tinggi dan kulitnya putih, hidungnya sangat mancung dan rambutnya hitam lebat. Usianya sekitar 35 tahun tetapi masih sangat terlihat muda. Semua warga kampung terpana melihatnya.

“MasyaAllah,.. mari silahkan masuk pak dokter.” Ungkap pak mail kaget.

“Iya pak mail.. ini dokter Adam seorang dokter spesialis jantung.”

“Kenalkan dokter Adam, ini pak Ismail kepala desa dikampung ini.” Azka memperkenalkan pak mail pada dokter Adam.

“Dokter Adam.” ucap Adam singkat sambil mengulurkan tangannya dan melepas kacamatanya yang memperlihatkan matanya yang indah.

“Saya pak ismail. Baiklah dokter Adam dan dokter Azka, mari silahkan masuk.” Jawab pak mail.

Azka dan Adam melangkah memasuki rumah pak mail diikuti oleh beberpa orang warga dibelakangnya.

Diruang tamu pak mail memperkenalkan istrinya dan Furqon anaknya pada Adam dan Azka. Kemudian mereka berlanjut ke ruang tengah untuk melihat keadaan mak Namira yang masih belum sadarkan diri.

Sesampainya diruang tengah Azka segera menghampiri mak Namira yang masih terbaring.

“Sudah berapa lama ibuk ini tidak sadarkan diri pak?" Tanya Azka memeriksa keadaan mak Namira.

“Kira-kira sudah hampir 2 Jam Dok,” Jawab Pak mail.

Azka memeriksa keadaan mak Namira dengan seksama. Kemudian ia melihat ke sekeliling.

“Apakah ibuk ini tidak memiliki keluarga?"

“Punya dok, ia memiliki seorang anak gadis. Mak, Mana Namira?" Tanya pak mail pada istrinya.

“Ada pak, sedang sholat sunat kayaknya.” Jawab salah seorang ibu-ibu yang masih berada di rumah pak mail.

Azka tampak manggut-manggut. Sementara Adam tampak duduk disalah satu kursi kayu. Wajahnya datar. Tidak ada ekspresi yang terlukis diwajahnya. Ia hanya sibuk melihat kepada layar ponselnya.

“Dokter Adam, Mungkin dokter bisa periksa ibu ini? sepertinya penyakitnya ini cukup serius.” Ungkap dokter Azka sambil menatap penuh harap kakaknya.

Adam berdiri. Kemudian mendekati dan memeriksa mak Namira.

“Tolong Ambilkan Peralatan saya ada yang tertinggal di mobil!" Perintah Adam pada Azka.

“Baiklah dok." jawab Azka sambil bergegas berlari menuju mobilnya.

Sesampainya dimobil ia segera mengambil peralatan abangnya. Namun saat ia menutup pintu mobil ia melihat Laila memasuki halaman rumah pak Mail. Azka terkejut melihatnya. Wajah Laila tampak penuh keringat dan nafasnya tampak begitu berat.

“Assalammualaikum.” Salam Laila sambil terus melangkah.

“Waalaikumsalam …. Tunggu!” Jawab Azka yang kebingungan dengan gadis didepannya ini.

Laila menghentikan langkahnya. Namun tidak membalikkan badannya kearah Azka.

Azka berjalan menghampiri Laila.

Lihat selengkapnya