ISTIQOMAH CINTA

fitriyanti
Chapter #7

Bahagia didalam duka...

Di sebuah rumah sakit dikota. Tampak pak mail dan istrinya, mak Namira dan beberapa orang warga duduk dengan wajah suram dan kusut di depan ruang UGD. Terutama mak Namira ia masih saja menangis terisak-isak dan memanggil-manggil nama putrinya itu. Mak Furqon tampak duduk memeluk mak Namira berusaha untuk menenangkannya.

Sudah 10 jam sejak kejadian kebakaran di rumah Namira tadi malam. Hingga saat ini Namira juga belum sadarkan diri. Warga menemukannya tak sadarkan diri dengan posisi tertelungkup tertimpa sebuah kayu penuh api. Hampir seluruh badannya terbakar. Akhirnya dengan susah payah warga dapat mengeluarkannya dari rumah dan dengan mobil pak mail Namira segera dilarikan ke rumah sakit terdekat dikota.

Dokter keluar dari ruang UGD dengan wajah tegang.

“Bagaimana keadaannya dok?” Tanya pak mail segera saat menghampiri dokter.

“Luka bakarnya sangat parah. Hampir mengenai seluruh tubuhnya. Hanya wajah dan sedikit bagian perut saja yang tidak terkena luka bakar , lebih dari itu semuanya terkena luka bakar terutama pada bagian punggung mungkin karena posisi telungkup membuat bagian belakang tubuhnya yang mengalami luka bakar yang cukup berat. Saat ini ia masih koma. Mungkin walaupun sembuh namun bekas luka bakarnya akan terlihat sangat jelas dan tidak bisa hilang atau bisa dibilang pasien akan mengalami cacat dan pasien juga harus segera dirujuk kerumah sakit lain karena fasilitas dirumah sakit ini tidak lengkap” Jelas dokter tersebut.

Mak Namira menangis segugukan hingga terduduk lemas di lantai. Begitu terlukanya hati sang ibu itu mendengar nasib yang menimpa putri kesanyangannya.

“apakah kami sudah boleh melihatnya dok?” Tanya pak mail sambil melihat pada mak Namira yang semakin menangis.

“Maaf belum bisa, Pasien belum bisa ditemui karena saat ini ia masih koma dan juga ia harus segera dirujuk ke rumah sakit lain karena harus dirawat diruang ICU. Kita berdoa saja semoga pasien bisa selamat dan dapat melewati masa kritisnya.”

Mak Namira menjerit meneriakan nama Namira kemudian pingsan.

***

Malaysia. Dering handphonenya berbunyi saat ia baru sedang mengingat wajah calon istrinya yang sebentar lagi akan segera menjadi istrinya. Ia segera meraih handphone yang ada disamping.

 “Assalammualaikum mak.” Jawab Furqon mengangkat handphone.

“Waalaikumsalam Furqon …” Jawab maknya sambil menangis.

“Kenapa mak menangis?” Wajah Furqon berubah tegang.

Sesaat suara mak hening. Kemudian terdengar mak menarik nafas dalam.

“Tadi malam rumah Namira terbakar. Maknya bisa selamat. Tapi Namira terjebak dan terbakar. Sekarang ia sedang koma dirumah sakit. Dokter bilang kecil kemungkinan dia bisa selamat.”

Furqon terdiam. Tanpa sadar handphonenya terjatuh kelantai. Wajahnya penuh ketegangan. Darahnya berdesir kuat. Ia segera beranjak pergi meninggalkan penginapannya.

****

Waktu telah menunjukkan pukul 10 malam. Sudah lebih 24 Jam Namira koma. Belum ada tanda-tanda ia akan sadar dan belum ada satu orang pun yang diizinkan melihat Namira. Mak Namira sudah sadar namun tidak mau bicara. Seharian ia hanya berzikir di masjid rumah sakit. Sementara pak mail dan istrinya pamit pergi mencari makanan keluar. 

Dokter keluar dari ruangan ICU. Beberapa orang warga yang masih menunggu segera memanggil mak Namira yang masih dimasjid rumah sakit.

“Bagaimana dok keadaan Namira?” Tanya mak Namira.

“Alhamdulillah pasien sudah sadar. Namun, luka bakarnya mungkin akan sembuh dalam waktu yang cukup lama dan bekas yang ditinggalkannya juga tidak mungkin dapat hilang, dengan kata lain pasien akan mengalami cacat. Dukungan moral dan semangat dari pihak keluarga akan sangat dibutuhkan oleh pasien. Jadi untuk sementara waktu jangan dulu membuat pasien stress karena itu bisa mengganggu mental dan psikologisnya.” Jelas dokter sambil pamit pergi.

Mak Namira terhenyak mendengar penjelasan dokter. Cacat? Apakah Namira siap menerima kecacatan tubuhnya ? apalagi pernikahannya semakin dekat. Masalah Furqon ia yakin Furqon akan tetap menerima keadaan Namira karena menurut maknya, Furqon adalah Lelaki baik dan bijaksana yang sangat mencintai Namira.

Mak Namira dan kedua orang tua Furqon memasuki ruang ICU. Dibalik selimut putih tampak Namira terbaring lemah. Wajahnya terlihat pucat. Badannya ditutupi kain putih yang tidak menempel kebadannya. Bagian atas kepalanya yang sudah botak. Sesekali terdengar ia mengeram kesakitan menahan pedih luka bakarnya. Mungkin obat bius tidak sanggup meredam rasa sakitnya.

Mak Namira semakin berurai airmata melihat keadaan putrinya. Ingin rasanya ia menjerit. Namun, sebelum masuk tadi ia teringat perkataan dokter yang telah mengatakan padanya bahwa Namira tidak boleh tertekan. Mak mengusap wajah putrinya yang tampak terlihat beberapa goresan luka kecil diwajahnya.

Dengan pelan Namira membuka matanya. Siapa sangka yang pertama kali ia lakukan bukan menangis atau menyalahkan keadaan. Namun tersenyum. Bahkan disaat keadaannya seperti ini ia masih tersenyum pada maknya.

“Mak …” Ucapnya pelan. Senyumnya masih terurai namun terlihat ia meringis menahan sakit luka bakarnya.

“Anak mak sayang.” Jawab maknya mencium pelan kening maknya.

Namira mengalihkan pandangannya pada kedua orang tua Furqon yang juga tampak dengan mata berkaca-kaca menatap Namira.

“Assalamualaikum pak mail, buk mail,,,” Salam Namira dengan pelan.

“Waalaikumsalam Namira”.

“Mak, Kebakaran itu salah Namira mak. Namira ingat sekarang, selesai sholat tahajud Namira lupa mematikan lampu cemprong diruang tamu. Mungkin saja lampu itu jatuh ditiup angin kencang. Maafkan Namira mak. Sekarang mak malah kehilangan rumah satu-satunya peninggalan ayah” ujar namira pelan sambal sesekali meyeringis menahan sakit pada luka bakarnya.

Kali ini mak tak mampu menahan airmatanya. Tangisnya pecah. Ingin ia rangkul putrinya namun tak bisa akibat luka bakar disekujur tubuh putrinya.

“Sudahlah Namira … ini bukan salah Namira. Sekarang istirahat saja nak.”

 “Pak mail, sampaikan ucapan terimakasih Namira pada warga yang telah menolong Namira dan mak. Saya tidak bisa berkata apapun selain terimakasih.”

Pak mail mengangguk pelan. Ia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada Namira.

Mak Furqon hanya diam. Dia tak sanggup berkata-kata. Ia pun langsung keluar dari ruangan karena airmatanya selalu saja mengalir.

Kini sudah 2 hari Namira dirawat di rumah sakit. Beberapa warga kampung telah datang untuk menjenguk keadaannya namun Lela belum juga datang menjenguknya. Semua warga yang datang menjenguk disambut baik oleh Namira dengan senyuman. Warga yang menjenguk banyak yang kagum melihat sikap tegar dan tawakal Namira.

Lihat selengkapnya