ISTIQOMAH CINTA

fitriyanti
Chapter #8

Sesempurna diakah Jodohku?

Setahun sudah sejak kejadian kebakaran dirumah Namira. Seperti yang diduga Mira sebelumnya sejak pernikahannya dan Furqon juga gagal semakin banyak orang yang mempergunjingkan dia dan semakin banyak yang yakin bahwa dia membawa sial dalam dirinya. Namun Namira menerima hinaan orang pada dirinya dengan lapang dada. Ia tahu Allah bersama orang-orang yang sabar.

Sementara mak, Penyakit mak semakin parah. Dua bulan sejak kepulangan Namira dari rumah sakit maknya tidak bisa lagi bangkit dari tempat tidur kemungkinan maknya juga terkena stroke ringan. Sakit maknya pun bertambah parah dan sampai saat ini rumah mereka pun belum bisa ditempati.

Namira sudah bisa beraktifitas seperti biasa. Ia kembali mulai mengajar mengaji dan les untuk anak-anak dikampungnya. Masalah pernikahan tidak pernah lagi dibahas oleh mak Namira. Ia sudah cukup terpukul melihat kejadian yang menimpa putrinya itu. Namira pun pasrah pada nasibnya. Walau usianya sudah melewati 25 tahun.

Kabar tentang Furqon pun sudah berulang kali ia dengar dari warga kampung. Furqon yang jenius sudah hampir selesai menyelesaikan studi S2 nya di Malaysia. Ia juga sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus disana sebagai manajer keuangan di salah satu perusahaan farmasi di Malaysia.

Namira hanya bisa bersyukur mendengar itu semua. Ia senang Furqon sudah mendapatkan yang terbaik. Bahkan Namira tak pernah dendam atau benci pada Furqon. Ia maklum pada keputusan Furqon. Segala keputusan itu sangat logis menurut Namira. Sekalipun Furqon tidak membatalkan pernikahan mereka mungkin saja Namira yang akan membatalkannya karena Namira tak kan sanggup membiarkan masa depan Furqon berantakan hanya karena beristrikan dirinya yang saat itu sedang sakit. Laila juga sudah lama memaafkan Furqon. Ia paham. Ia yakin Furqon adalah Lelaki yang baik. Furqon berhak memilih dalam hidupnya. Sekarang semuanya telah kembali ke seperti semula. Hubungan keluarga Namira dan pak Mail orang tua Furqon pun baik-baik saja.

Lepas sholat zuhur Namira pamit pada maknya untuk pergi mengajar ngaji di Surau sekalian ia juga mau membantu Lela dan pamannya memanen jagung di ladang sepulang ia mengajar nanti. Dengan busana gamis berwarna pink dan jilbab putih yang ia kenakan ia terlihat sangat anggun. Ia menatap kedua tangannya yang penuh bekas luka bakar. Matanya berkaca-kaca. Wajar saja sebagai manusia tentu dia tetap merasa sedih dengan keadaannya saat ini namun ia tak mau terus berlarut-larut. Ia melangkah dengan mantap menuju surau.

Cuaca terasa sedikit panas. Namira mempercepat langkahnya. Namun, ia terhenti sesaat karena sekilas ia teringat pada dokter Adam. Entah bagaimana kabar dokter itu sekarang. Namira segera menepis ingatannya tentang dokter Adam. Kemudian ia kembali melangkah.

Sementara itu di jalanan kampung Namira sebuah mobil honda jazz biru berjalan dengan pelan menyusuri jalanan kampung. Tak ada yang tahu siapa pengendara mobil tersebut. Mobil itu terus melaju dan berhenti di depan rumah Namira yang hanya tinggal puing-puing sisa kebakaran. Kemudian mobil itu melaju lagi dengan cepat menuju rumah pak mail dan berhenti tepat disana.

Pak mail sedang asyik memandikan tanaman bunga-bunganya di halaman rumahnya saat mobil itu berhenti. Pak mail bingung siapa gerangan pengendara mobil itu. Sepengetahuan pak mail ia tak punya tamu dengan mobil mewah seperti itu.

Seorang pria tampan turun dari mobil honda jazz biru tersebut. Tampilannya sangat rapi dengan kemeja coklat dan celana hitam yang ia kenakan. Ia membuka kacamata coklatnya sambil berjalan menghampiri pak mail.

“Assalammualaikum.” Salam Lelaki itu sambil menyalami pak mail yang masih terperangah tak percaya.

“Waalaikumsalam...subhanallah..dokter Adam” Jawab pak mail kegirangan sambil memeluk Lelaki yang ternyata adalah dokter Adam.

“Apa kabar dokter? Kenapa tidak bilang mau berkunjung lagi ke kampung kami?” Sambung pak mail sambil mengajak dokter Adam memasuki rumahnya dan memanggil buk mail istrinya.

“Saya kebetulan mampir pak mail. Ya sebenarnya ini juga tidak disengaja. Kebetulan salah satu staff perawat di rumah sakit kami merupakan warga kampung sini dan ia sedang sakit dan minta izin pulang ke kampungnya dan kami para beberapa dokter dan staf perawat pergi untuk menjenguknya. Tadinya saya juga tidak percaya bahwa akan datang lagi ke kampung ini tapi ya beginilah pak sekarang saya ada disini.” Jelas dokter Adam sambil melihat sekeliling rumah pak mail.

“Oh begitu. Siapa nama perawat itu dokter?”

“Nur. Nur fitria. Ia baru setahun ini bergabung dirumah sakit kami pak.”

“Ohh ... si inur. Nur adiknya faisal anaknya si Ipur itu?”

“Wah saya tidak tahu pak soal itu. Yang jelasnya rumahnya ada di ujung jalan ini yang di depan rumahnya ada pohon mangga itu”

“Benar. Itu rumah si inur. Saya juga pernah dengar bahwa ia sudah berkerja di rumah sakit di kota sebagai perawat. Tetapi saya tidak menyangka kalau ia kerja dirumah sakit dokter Adam. Lalu bagaimana dengan kabar dokter Azka?”

“Alhamdulillah ia baik pak. Kebetulan ia juga ikut dan sekarang masih berada di rumah Nur bersama rombongan yang lainnya. Ia juga tak menyangka bakal datang lagi ke kampung ini.”

“Subhanallah kebetulan sekali ya”

Adam melihat sekeliling rumah yang sepi.

“Kenapa rumah terlihat sepi pak. Ibuk dan yang lainnya kemana? Furqon dan Namira? Apa sekarang mereka sudah menetap di Malaysia setelah menikah? Wah, maaf sekali pak saya tidak sempat hadir ke pernikahan Furqon karena saya kebetulan saat itu juga sangat sibuk.”

Pak mail tersenyum tipis.

“Ibuk mungkin lagi dibelakang tidak tahu ada tamu. Sementara Furqon masih di Malaysia insyaallah sebentar lagi ia selesai S2nya.”

“Lalu Namira? apa ia tak ikut Furqon ke Malaysia? Tadi saya juga melalui rumah Namira tetapi sudah tidak ada, yang ada hanya sisa-sisa reruntuhan. Sebenarnya apa yang terjadi pak?”

Pak mail menarik nafas dalam.

“Malam sepulangnya dokter Adam ke kota, rumah Namira tertimpa musibah kebakaran. Dan Namira terjebak api didalam dan terbakar.”

Adam tersentak kaget. Tubuhnya bergetar.

“Alhamdulillah ia dan ibunya bisa diselamatkan. Namun Namira mengalami luka bakar yang sangat serius hampir diseluruh tubuhnya. Tadinya kami berfikir ia tak akan selamat namun Allah berkehendak lain. Namira selamat namun luka bakarnya tak kan bisa hilang dengan kata lain ia mengalami cacat di tubuhnya.”

“Lalu bagaimana dengan pernikahannya dengan Furqon?”

“Furqon membatalkannya karena ia fikir ia tak mampu menjalani semua dengan keadaan ia yang masih menjalani pendidikan. Bapak dan ibuk tidak bisa berbuat apapun karena itu sudah keputusan Furqon dan Namira menerima keputusan tersebut.”

Adam terdiam sebentar. Ia masih tak percaya.

“Sekarang Namira dan ibunya tinggal dimana pak ?”

“Di rumah Laila. Sudah setahun mereka tinggal disana. Kalau dokter Adam mau menemui Namira saat ini mungkin ia ada di surau sedang mengajar ngaji anak-anak.”

Dengan sigap Adam berdiri dan pamit pada pak mail. Mobilnya segera ia pacu menuju surau. Selama di jalan menuju surau fikirannya berkecamuk. Ia tak menyangka dengan apa yang menimpa Namira. Setahun ini ia tak pernah tenang karena ada sesuatu yang mengganjal dihatinya. Mungkin inilah maksud ketidak tenangan hatinya selama ini. Mobilnya berhenti tepat di depan surau. Namun Namira sudah tidak ada disurau. Hati Adam berkecamuk. Ia diam sejenak didalam mobil. Ia Teringat kata-kata terakhir namira dulu sebelum ia pergi meninggalkan kampung ini. Namira bertanya apakah ia percaya dengan Takdir? "Ya Allah, Apakah ini takdir yang baik untukku dan Namira?" Ujar Adam dalam hati.

Adam memutuskan untuk bermalam di rumah pak mail malam ini. Ia minta ditemani oleh Azka sementara rombongan rumah sakit yang lain sudah pulang duluan ke kota. Azka juga tidak mengerti apa maksud abangnya mengajak bermalam di kampung itu namun ia tak mau banyak bertanya. Azka juga sudah mendengar cerita tentang kejadian yang menimpa Namira. Ia juga turut prihatin.

Malam menunjukkan jam 8. Adam dan Azka sedang duduk santai di teras rumah pak mail ditemani oleh secangkir teh dan perkedel jagung buatan buk mail. Sementara pak mail dan istrinya sedang pamit keluar sebentar.

“Aku perhatikan sejak balik ke kampung ini abang selalu gelisah. Kenapa bang ? apa ada sesuatu yang terjadi?” Tanya Azka sambil memainkan ponselnya.

Adam diam.

“Namira? Benarkan bang?”

Lihat selengkapnya