ISTIQOMAH CINTA

fitriyanti
Chapter #9

Menjadi Seorang Istri

Pagi pun hadir. Semua masih tampak biasa-biasa saja. Namira masih sempat untuk sholat dhuha. Hatinya sangat tidak karuan. Ia harap-harap cemas. Ia berharap semua baik-baik saja namun kali ini ia tetap pasrah pada takdir Allah untuknya. Mak lis memberinya sebuah kebaya muslimah cantik berwarna putih. Sebenarnya kebaya itu di simpan mak lis untuk pernikahan Lela pada masanya nanti. Namun atas izin Lela, akhirnya mak lis memberikan kebaya itu untuk Namira saat akad nikahnya nanti walau awalnya Namira menolak namun akhirnya Namira menerima karena dia juga tidak memiliki baju yang bagus untuk akad nikahnya nanti. Beberapa orang ibuk-ibuk hadir dirumah Lela untuk membantu membuat hidangan makanan untuk majelis nikah nanti. Buk mail, maknya Furqon juga hadir dan turut membantu.

Mak Namira tampak berzikir walau dengan keadaan berbaring sesekali airmatanya tampak mengalir. Namira menghampiri maknya. Dengan lembut ia cium kening maknya. Hari ini wajah Namira tampak lebih berseri-seri.

“Assalamualaikum." Salam seorang wanita seumuran mak Namira.

“Waalaikumsalam ...” Jawab Namira dan maknya bersamaan.

Ternyata maknya Faisal yang datang dengan seorang anak gadis yang sangat dikenal oleh Namira. itu adalah Nur, adik faisal yang baru saja menamatkan sekolah kebidanannya dan sekarang telah menjadi bidan dan bekerja di rumah sakit. Orangnya sangat cantik, sopan serta pintar. Dengan senyum ia menyiumi tangan mak Namira.

“Ada apa kiranya maknya faisal kesini?” Tanya mak Namira sambil tersenyum.

“Aku kesini mau minta maaf sama Namira dan mak Namira. Selama ini mungkin aku sudah banyak berbuat salah, ya itu semua karena kekecewaan aku dengan anakku faisal. Mohon maafkan makcik ya Namira” Ungkap mak faisal meminta maaf.

“Alhamdulillah. Namira sudah lama memaafkan mak faisal. Namira paham atas kekesalan mak faisal. Namira juga minta maaf ya mak”

“Mak sangat merasa bersalah. Mak baru sadar mak juga punya anak gadis. Bagaimana kalau apa yang terjadi dengan Namira di alami dengan anak mak, tentu mak akan sangat sedih.”

“Sama-sama minta Ampun kita pada Allah mak. Namira lega jika kita sudah tidak ada rasa benci lagi.”

“Namira selamat atas pernikahan kau dengan dokter Adam ya. Semoga kau selalu bahagia Mira.”

“Amin. Semoga saja tidak ada hambatan lagi mak.”

“Mak berharap suatu saat Nur juga mendapatkan suami yang baik dan soleh. Mohon doanya ya Namira!”

“Insyaallah mak. Gadis cantik dan sholeha seperti Nur tentu banyak yang mau mak.” Ungkap Namira memuji.

Nur tersenyum malu. Mak Namira pun ikut tersenyum bahagia. Ia lega sekali.

Zuhur tinggal beberapa menit lagi. Surau sudah dipenuhi oleh jemaah dan majelis nikah. Dengan bantuan warga dan mobil dokter Adam akhirnya mak Namira bisa dibawa ke surau.

Namira tampak cantik dengan memakai kebaya muslimah berwarna putihnya. Jilbab yang ia kenakan pun tetap syar’i dan menutup aurat. Make up yang ia poles pun natural. Tidak ada kesan mencolok namun memancarkan kecantikan yang indah dipandang mata. Ia sedang bersiap-siap akan melaksanakan sholat zuhur. Ia kenakan mukena berwarna putih menambah kesan muslimah pada dirinya.

Dari tadi Adam dan Namira belum bertemu sekalipun. Pertemuan mereka hanya sebatas tadi malam saja. Sambil duduk diatas sajadahnya Namira terus berzikir berharap semua ini akan diridhoi Allah hingga menghapus semua kegundahannya selama ini.

Azan sholat zuhur berkumandang disusul dengan qomat beberapa menit kemudian. Seluruh jemaah tampak berdiri akan melaksanakan sholat zuhur.

“Allahu akbar ….” Suara pak Husin yang menjadi imam.

Semua jemaah tampak khusuk melaksanakan sholat zuhur. Terutama Namira. Ia terlihat tenang melaksanakan ibadah sholatnya.

Usai sholat zuhur seluruh jemaah berkumpul didalam surau. Adam telah tampak duduk di depan pak penghulu didampingi oleh adiknya Azka dan pak Husin. Namun, Namira belum juga terlihat. Mungkin Namira sedang membetulkan jilbab atau kebayanya. Acara pun dimulai dengan pemabacaan ayat suci. Sesudah pembaca ayat suci al-qur’an yang dibacakan oleh Adam sendiri. Ijab dan qobul pun dimulai. Jauh dibelakang Adam tampak Namira telah duduk sambil berzikir didampingi oleh maknya yang duduk tersandar bersama Lela dan mak lis serta jemaah perempuan lainnya. Namun Adam tidak menyadari ia terlalu focus untuk akad nikah ini.

Akad nikah pun berlangsung khidmat. Dengan wali hakim yaitu pak Husin. Kini Namira dengan khusuk mendengar kata demi kata indah akad pernikahannya.

“Saya terima nikah dan kawinnya Namira azzahra binti sholihin dengan mas kawin sebentuk kalung mas di bayar tunai.”

Adam menyebutkannya dengan lancar tanpa terputus-putus atau gugup sedikit pun.

“Bagaimana? Sah?” Tanya pak penghulu.

“Sah!” Jawab majelis nikah serentak.

“Alhamdulillah.” Semua mengucapkan syukur.

Dengan begini sah lah hubungan Adam dan Namira sebagai sepasang suami istri. Semua hadirin tampak haru campur bahagia.

Adam berkaca-kaca. Ia memeluk adiknya. Azka pun tampak terharu.

Namira menangis. Ia memeluk maknya erat. Maknya pun menangis hingga terisak-isak. Ini airmata kebahagian dan rasa syukur. Dalam waktu sekejab akhirnya putrinya kini telah menikah. Laila dan mak lis pun menangis. Tangan Namira gemetaran. Nada-nada cinta seolah-olah menari-nari dihatinya. Ia masih belum percaya bahwa saat ini ia telah sah menjadi seorang istri dari seorang lelaki hebat seperti Adam. Jangankan bermimpi, membayangkannya pun Namira tidak berani. Namun sekarang lelaki itu adalah suaminya. Tempat ia menabung pahala.

Namira diminta untuk duduk disebelah Adam karena saat ini mereka telah sah duduk berdekatan. Adam menoleh kebelakang untuk memanggil istrinya yang sudah tidak sabar lagi ia ingin melihat wajahnya. Jantung Adam seakan berhenti berdetak saat melihat Namira maju duduk disampingnya. Ia sangat cantik. Wajahnya bercahaya bagai cahaya surga dengan bunga-bunga harum cinta. Adam terpana sesaat. Untuk pertama kalinya Namira tersenyum sangat manis padanya. Tidak ada lagi wajah gundah. Tidak ada lagi airmata kesedihan seperti yang selalu Adam lihat sebelumnya.

Lihat selengkapnya