Ibu menghampiri dari belakang, lalu memegang pundakku. "Maaf, dia baru berumur tiga belas tahun. Jadi, bicaranya suka ceplas-ceplos. Ya udah, Sayang. Ayok kita makan dulu. Kamu sebentar lagi, kan, mau pergi ke sekolah."
Karena aku anak yang baik, aku pun akhirnya menurut. "Iya, Bu, ayok!"
Sebelum masuk, aku mendelik dulu ke arah perempuan itu sambil sengaja melebarkan lubang hidungku sendiri agar mirip dengan lubang hidungnya.
Wajah si siluman rubah itu pun langsung merah padam dengan rahang yang mengeras, karena merasa tersinggung oleh ulahku.
Ayah kemudian mengikutiku berjalan di belakang, sedangkan istri barunya langsung merogoh tas untuk mengambil cermin kecil.
Perempuan itu lalu berkaca sambil menggerutu. "Emangnya anak kecil itu pikir, lubang hidungku gua monyet? Sembarangan aja dia kalau ngomong. Wajahku cantik begini, kok. Ngeselin banget tuh bocah!"
Suasana hatiku sekarang benar-benar kacau. Sebenarnya aku ingin sekali menangis, guling-guling, dan berteriak dengan menggunakan toa mesjid, karena saking hancurnya perasaan ini.
Namun, entah kenapa Ibu malah terlihat santai? Sampai kapan Ibu akan berpura-pura kuat seperti itu. Hanya demi aku, ia berusaha tegar.
Aku tidak habis pikir, apa yang kurang dari diri Ibu? Padahal selain cantik, Ibu juga perempuan yang sangat pintar. Ia mahasiswi lulusan terbaik di salah satu universitas ternama di kota ini.
Akan tetapi, setelah menjadi sarjana Ibu tidak mengejar karir. Ia malah dijodohkan oleh orang tuanya dengan Ayah dan lahirlah seorang putri yang cantik jelita, yaitu aku.
Setelah menikah, Ibu hanya diam di rumah mengurus suami, anak, dan mengurus kucing angora yang bulu dibagian ekornya sudah kupangkas habis supaya terlihat modis.
Ayah mengantar si istri baru ke kamar tamu. Setelah beberapa saat kemudian, mereka keluar dan menghampiriku yang sedang memakan pepes ikan lumba-lumba di meja makan. Perempuan bergigi seperti gergaji itu senyam-senyum kepadaku seperti penghuni rumah sakit jiwa.
Ibu mempersilahkan mereka untuk menyantap makanan hasil pasakannya. Kemudian, Ibu masih dengan raut wajah santainya mengambil nasi dan goreng telur mata kuda untuk Ayah. Jujur saja, ini pertama kalinya aku tidak suka melihat Ibu melayani Ayah seperti itu.
"Silakan duduk, Tan." Aku membalas senyuman istri baru Ayah yang berdiri di sampingku.
"Terima kasih," ucapnya seraya duduk, tetapi tiba-tiba terjungkal dengan rok yang tersingkap karena tadi kursinya diam-diam kugeserkan ke belakang.
Perempuan itu pun spontan berteriak histeris dan tidak henti-hentinya mengomel. "Belum setengah hari tinggal di rumah ini, aku sudah kena musibah!"
"Astagfirullahaladzim! Ada apa?" Ibu langsung berdiri sambil memegang dada karena kaget.
Aku tidak kuasa menahan tawa jahat. "Tante ngapain tiduran di situ?
"Diam kamu, dasar anak nakal!" gertaknya geram.
Ayah dengan sigap membantu makhluk astral itu berdiri. "Kamu tidak kenapa-napa, 'kan?"
"Tidak kenapa-napa apanya, Mas? Sakit nih, tulang ekorku!" gerutunya kesal. "Sudahlah, selera makanku menghilang. Aku mau ke kamar saja."