Kali ini rumah terlihat ramai dari biasanya. Banyak mbyodo1 yang datang untuk memasak ataupun sekadar membantu cuci piring. Sesekali terdengar bisik dan tawa kecil di antara mereka, terlihat bahagia. Di desa, hal ini sudah lumrah jika tuan rumah akan mengadakan hajatan atau selamatan. Namun, Nisa tak mendengar satu kabar pun tentang acara yang akan digelar.
"Nis, buruan mandi!" ujar Bu Gini sambil memarut kelapa.
"Iya, Bune." Nisa berjalan melewati beberapa mboyo2, menuju kamar mandi.
Rumah kecil ini terasa sangat sempit saat banyak orang yang berlalu lalang di dalamnya. Apalagi para mbyodo pun tidak hanya duduk sambil mengerjakan sesuatu. Ada saja yang mereka kerjakan sambil hilir-mudik, memastikan bahwa semuanya telah berjalan dengan semestinya.
Sekarang bulan Oktober, banyak yang beranggapan bahwa bulan dengan huruf akhir -ber adalah musim hujan. Bahkan bulan Desember terkenal dengan deres-deresnya sumber. Entah siapa yang awalnya memulai, nyatanya sejak bulan Oktober kemarin, hujan belum juga turun. Nisa juga lahir di salah satu bulan hujan tersebut, tepatnya Desember. Seminggu sebelum Natal.
Khoirun Nisa. Kata bapaknya, itu artinya adalah wanita yang baik. Walau dilihat dari sudut mana pun, dia tidak terlihat baik secara fisik. Si Nur, adik dari Nisa sudah menikah dua tahun lalu. Sementara Nisa belum ada yang mau melamar, jangankan melamar, yang ingin mengenal lebih dekat pun tidak ada. Padahal umurnya sudah dua puluh tiga, angka yang dibilang perawan tua di desanya jika belum menikah.
"Yuk, itu beneran ada yang mau sama si Nisa?" tanya Sumi berbisik.
"Lho? Kamu gak tau? Malah yang nglamar ini Gus lho. Putrane kyai yang punya pesantren di kota."
"Itu matanya masih sehat, kan?"
"Hush! Ora ilok3!"
Bukan rahasia lagi jika tak ada yang mendekati Nisa karena wajahnya terlihat menyeramkan. Ada bekas jahitan memanjang di tulang pipinya, sampai hidung. Tak hanya itu, di dahi dan dagunya juga ada bekas jahitan memanjang. Mungkin benar kata orang jika dari mata turun ke hati. Nyatanya sampai saat ini pun belum ada yang mau mempekerjakan Nisa di toko untuk melayani pembeli. Gadis itu hanya bekerja membantu masak atau mencuci piring di hajatan orang.
Masih sore, ketika pekerjaan selesai. Bermacam-macam jenis masakan dan kue basah sudah ditata dengan sedemikian rupa. Para mbyodo pun sudah pulang ke rumah masing-masing dengan membawa sedikit makanan untuk keluarga mereka. Walau dalam hati penasaran seperti apa calon suaminya Nisa, tapi mereka tak berkomentar.
Sebuah mobil Avanza berwarna hitam memasuki pelataran rumah yang luas. Mobil itu parkir di bawah pohon jambu yang memang sengaja ditanam di halaman rumah. Tak hanya jambu, ada juga tumbuhan buah seperti mangga yang sedang berbuah lebat dan belimbing. Buah-buahan itu tumbuh dengan subur pada musimnya, seringkali dibawa ke pasar atau dibeli oleh tetangga sekitar.
Seorang wanita cantik dengan gamis berwarna biru magenta turun dari mobil. Kulitnya yang putih terlihat memerah saat terkena sinar matahari. Matanya besar dan lebar, ditambah dengan hidung mancung dan bibir merah merona yang semakin membuatnya terlihat semakin cantik. Seorang lelaki juga turun, menggunakan kemeja putih dengan celana hitam. Kulitnya sawo matang, seperti orang Jawa pada umumnya. Rambutnya yang dipotong cepak membuat aura ketampanan terlihat. Mata elang menelisik rumah yang ada di depannya.
"Gus, jangan lupa kopyahnya. Selalu lupa," ucap sang wanita pada lelaki yang sudah berdiri di sampingnya.
"Matur suwun4, Ning," ucap lelaki itu datar. Matanya tak lepas dari sebuah rumah kecil dengan pintu depan terbuka. Terlihat bahwa rumah itu lantainya masih berupa tanah, walaupun dindingnya sudah berupa tembok yang berwarna putih kusam.
"Gus, monggo5."
"Ini rumahnya, Ning?" tanya Gus Azzam dengan pandangan tak percaya.
“Ini rumahnya, Ning?” tanya Gus Azzam dengan pandangan tak percaya.