Ning Miftah menggigit bibirnya, tak tahu harus menjawab apa pada pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Nisa. Sementara Gus Azzam memandang sayu pada istri keduanya.
"Nis, jangan bilang gitu sama Ning dan Gus."
"Bune juga. Kok bisa-bisanya menikahkanku dengan lelaki beristri? Bune juga perempuan, apa Bune mau jadi istri kedua?" ucap Nisa tak suka.
Bu Gini mengelus dadanya perlahan. Tak menyangka bahwa putri sulungnya akan berkata seperti itu. Sebagai wanita, jelas dia mengerti apa yang dirasakan Ning Miftah. Namun, sebagai ibu, tak ingin kesempatan emas hilang begitu saja. Saat ini, siapa yang ingin meminang Nisa? Bahkan sejak kecil sudah menjadi bahan bulan-bulanan teman-temannya. Bu Gini mengusap air mata yang mulai menetes.
"Ning Nisa, jangan ngomong seperti itu sama Bune," ucap Ning Miftah kaget.
"Jangan panggil aku dengan sebutan Ning! Aku bukan anak kyai seperti kalian, tapi aku juga manusia yang punya perasaan! Tega sekali kalian mempermainkanku seperti ini!"
"Nisa!!" Sebuah bentakan membuat ruangan menjadi sunyi. Suara Pak Sukir seolah bisa meruntuhkan dinding. Jika dengan ayahnya, Nisa sama sekali tak berani membalas ataupun mengatakan hal yang ada di dalam hatinya. Jika ada satu orang yang ditakutinya, itu adalah sang ayah.
"Pak'e jahat sama Nisa," ucap Nisa pelan setelah terdiam lama dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Pak'e cuma ingin yang terbaik buat kamu, Cah Ayu," bisik Bu Gini.
"Apa yang selama ini Pak'e ajarkan sama Nisa? Apa? Apa Pak'e dan Bune ingat wejangan kalian dulu? Seburuk-buruknya Nisa, jangan sampai Nisa ngrusak pagar ayune uwong1. Jangan sampai Nisa menjadi penghancur rumah tangga orang lain. Lha ini? Tiba-tiba saja Nisa sudah jadi istri kedua. Ini apa maksudnya? Pak'e dan Bune bahagia di atas penderitaan Ning Miftah? Begitu?" Air mata meluncur satu demi satu dari sudut mata Nisa, hatinya sakit dan perih menyadari bahwa hidup tak pernah berpihak padanya.
"Bune pernah bilang sama Nisa, semua orang itu sama. Mereka punya perasaan yang akan sama sakitnya bila disakiti. Saat Nisa dihina orang lain, Bune yang selalu bilang kalo Nisa gak boleh balas. Nisa gak boleh balik menyakiti. Lha ini? Nisa gak kenal dengan Ning Miftah, tiba-tiba saja sudah menyakiti dia."
Air mata yang ditahan, akhirnya luruh juga. Wajah Ning Miftah yang putih, kini memerah. Satu per satu air mata ikut jatuh, membasahi kerudung besarnya. Disusutnya air mata itu pelan, perkataan Nisa yang berpihak padanya sebagai istri pertama, membuat Ning Miftah tak lagi bisa berkata-kata. Mungkin Nisa memang tak cantik, namun hatinya baik. Apa itu yang membuat Gus Azzam sungguh jatuh cinta pada wanita itu?
"Njenengan, Ning! Kenapa mau-maunya mendampingi Gus Azzam ke sini? Ning Miftah masih sehat, kan? Kenapa gak ditabok aja tuh Gus Azzam yang tidak bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik? Baru juga nikah, udah nikah lagi. Njenengan nopo mpun tertutup matanya? Njenengan niku ayu. Ayu nemen. Kok yo purun mawon diplekoto Gus Azzam?"2 Kali ini sebuah hujatan meluncur untuk Ning Miftah.
Ning Miftah mengusap air mata yang semakin deras. Iya, matanya tertutup oleh cinta yang diberikannya untuk Gus Azzam. Cinta yang jelas-jelas bertepuk sebelah tangan, tapi tetap berusaha dipertahankan. Pernikahan dengan perjodohan yang dilakukan dua kyai besar. Ning Miftah bahagia saat mendengar akan dijodohkan dengan Gus Azzam, tapi sayangnya sang suami tak mencintainya. Bahkan malah meminta untuk menikah lagi. Sebuah hal yang konyol.
"Kamu, Gus! Jadi lelaki mbok yo jangan rakus. Kurang ayu nopo Ning Miftah? Kok bisa-bisanya malah menikah lagi dengan saya? Kenapa? Alasannya apa? Apa Ning Miftah kurang hebat di ranjang? Apa kasihan sama saya karena gak ada yang nglamar? Alasan klasik kalau niatnya cuma nafsu." Kali ini, Nisa tanpa unggah-ungguh juga berkata sambil menunjuk suaminya. Hatinya pilu, bercampur menjadi satu dengan sedih dan kecewa. Jika bisa diucapkan, akan diucap semua yang mengganjal di hatinya.