Leana makan dalam keheningan, dia begitu kasihan pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak, Elvano yang cuek dan dingin terlihat acuh tak acuh. Sementara Zelina serta mama mertuanya terus saja bercanda ria.
"Vano, mau nambah ikan tidak?" Zelina bertanya pelan, sedangkan Elvano menggeleng singkat.
"Sayangnya Tante ini memang perhatian sekali, andai kamu yang jadi menantu Tante, pasti—"
"Ma, bisa kita makan dengan tenang?" sela Elvano lembut, dia menatap mamanya dalam.
Leana yang mendengar itu hanya mengerjap pelan, prasaannya semakin tak menentu kala mama mertunya mendelik sinis ke arahnya.
"Tentu," balas wanita paruh baya itu, lain halnya dengan Zelina yang langsung memasang raut sedih.
"Maaf, Vano. Apa kamu terganggu dengan kehadiranku?"
"Tentu tidak, Sayang. Vano memang seperti itu, kamu tahu sendiri dia tidak bisa dengan suasana bising. Santai saja oke, kamu sahabatan dari kecil sama Vano. Mana mungkin dia terganggu oleh kehadiranmu, kecuali orang asing yang tak tahu tempatnya. Pasti Vano akan—"
"Mama, tolong ... sudah, ya?" Elvano berucap lembut tapi tegas. Walau dia terkenal dingin dan acuh tak acuh. Namun, jika menyangkut mamanya, Elvano akan menjadi anak yang baik dan selalu menuruti kemauan sang mama. Kini atensi pria itu beralih pada Zelina "Tadi kamu menawarkan ikan, boleh ambilkan dan taruh ke piring saya?"
Zelina yang tadinya berwajah murung sontak saja langsung mengangguk cepat, membuat Sania tertawa pelan melihatnya.
Sedangkan Leana yang melihat itu semua hanya bisa meremas tangannya gugup. Nasi yang sejak tadi dia kunyah tak mampu ditelan. Rasanya tenggorokannya tercekat, begitu pula dadanya yang merasakan denyutan menyakitkan.
Ya Tuhan ... sesak sekali. Begini rasanya tidak dihargai dan dianggap. Ingiin rasanya Leana pergi dari hadapan mereka. Tetapi itu hanyalah sebuah angan, karena didetik berikutnya. Mama mertunya kembali menatap ke arahnya, serta mengatakan hal yang lagi-lagi membuanya merasa buruk.
"Kamu tidak paham atau memang kurang peka, ya? Seharusnya kamu seperti Zelina, tanya dong—apakah suami kamu butuh sesuatu atau tidak. Jangan diam saja seperti patung yang tak bernya—"
"Tante, tidak apa-apa. Mungkin Leana sedikit canggung, tapi sebenarnya dia perhatian sekali lho, pintar masak lagi. Coba deh kapan-kapan Tante cobain masakannya, pasti langsung suka."
Leana yang mendengar pernyataan Zelina menjadi tertegun, tak menyangka jika perempuan itu membelanya.
Sania tersenyum datar. "Lihat nanti, atau mending masakan kamu saja? Tante sudah lama tidak makan udang mentega buatanmu."
Zelina terseyum malu, lalu mengangguk pelan. "Boleh, sekalian nanti aku buatin untuk Vano juga."
"Mama, mau saya buatkan sop iga sapi? Kalau Mama tidak keberatan, nanti saya antarkan ke rumah." Leana memberanikan diri untuk ikut bergabung dengan obrolan kedua perempuan yang berbeda generasi itu.
Hening, Sania yang sedari tadi berbicara dengan Zelina hanya diam tak menjawab. Justru wanita itu membuang pandangan ke arah makanan yang ada di hadapannya.