Wanita Pilihan

Julia Rosyad
Chapter #1

Awal Mula dari Sebuah Akhir

"Jangan risaukan apa yang tidak kita miliki. Tapi, risaukanlah hati saat tak bersungguh-sungguh mensyukuri setiap pemberian-Nya."

★★★★★

"Jangan bergerak!" teriak lantang seorang pria sambil menodongkan senjata. "Diam di tempat dan jangan ada seorang pun yang keluar dari sini!" serunya lagi.

Adam Fabian, lelaki yang tengah asyik duduk bersama beberapa orang temannya mendadak tak berkutik saat suara gaduh puluhan orang anggota kepolisian merazia tempat di mana ia berada malam ini. Belasan pria bertubuh tegap dengan sigap menodongkan senjata ke semua penjuru arah. Mereka bergerak, memindai penuh waspada, mengawasi gerak-gerik setiap orang yang berada di sekitarnya.

Suara orang-orang terdengar gaduh saat sinar redup dari lampu warna-warni di dalam mendadak mati dan berganti dengan cahaya terang menyilaukan. Tampak jelas ketakutan tersirat di wajah setiap orang yang ada di sana. Irama musik energik yang tadi berdentam pun kini tak terdengar lagi.

"Ada razia," bisik samar salah seorang pengunjung yang tidak jauh dari tempat Adam berada.

Adam tak berkutik saat seorang polisi memintanya berdiri dan langsung begitu saja menggeledah saku kemeja, celana bahkan dompet juga sepatunya. Mungkin polisi mencurigainya sebagai salah satu pengguna atau juga pengedar obat-obatan terlarang. Merasa tak bersalah, Adam cukup santai menghadapi para aparat itu menggeledahnya. Apalagi itu dilakukan bukan hanya padanya. Akan tetapi kepada seluruh pengunjung discotek malam ini.

Setelah digeledah, seorang petugas mendorong kasar punggungnya sambil berseru,

"Ayo jalan!"

Mendengar hal itu tentu saja Adam hanya bisa melangkah pasrah saat rombongan polisi membawanya bersama para pengunjung lainnya. Digiringnya orang-orang naik ke sebuah mobil bak terbuka berlambang kepolisian.

Saat tiba di kantor polisi, Adam dan belasan bahkan puluhan lainnya dimasukan ke dalam tahanan.

"Masuk!" titah seorang anggota Polisi seraya mendorong tubuhnya sedikit kasar.

Sial!

Hampir saja Adam tersungkur. Sungguh apes! Pikirnya, padahal tujuan Adam malam ini hanya ingin kumpul bersama teman-teman lama sekaligus mencari hiburan demi melepas segala bentuk rasa lelahnya. Tapi sayang, yang didapatnya malam ini bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah masalah baru yang ia sendiri tak bisa menyelesaikan. Jika sudah begini, mau tak mau ia harus mau terlibat perang dingin lagi dengan Sulaiman-Abahnya-jika dia ingin keluar dari sini.

Malam ini Adam terpekur dan lebih banyak diam. Semakin lama, ia yakin bahwa takdir memang sedang ingin bermain-main dengannya. Ia kerap bertanya-tanya mengapa semua jadi rumit hanya gara-gara cinta? Ya, cinta yang salah ia tempatkan hingga membuat hatinya hancur. Andai ia sadar bahwa tidak setiap masalah itu rumit, melainkan karena manusia itu sendiri yang menjadikan hidup dan masalah semakin sulit. Kadang Adam berpikir, andai dulu ia tak jatuh cinta, mungkin saat ini, hidupnya tak akan sekacau ini. Tapi semua sudah terjadi, semua harus ia hadapi meski bayangan kegagalan masih terus menjadi momok yang selalu bisa menakutinya di setiap waktu. 

Maka dari itu, sejak kejadian malam itu, Adam bertekad dalam hati untuk tidak lagi percaya pada yang bernama cinta yang dibawa oleh makhluk Tuhan yang bernama wanita. Bagi saat ini, menjauhi hal yang beresiko membuat sakit hati jauh lebih ia sukai daripada harus mengalami kejadian dulu lagi. 

Dalam pasrah, Adam hanya bisa terduduk lesu sambil menyandarkan punggungnya pada dinding. Duduk dengan bebarapa orang di ruangan sempit yang luasnya hanya 3 x 3 meter persegi. Pikirannya kacau. Karena pusing, sesekali ia sibuk menjambaki rambutnya sendiri. Dengan posisi kaki ditekuk hingga dada untuk ia jadikan penopang kedua tangannya. Sebentar wajahnya mendongak menatap langit-langit yang terlihat seperti berputar-putar. Kepalanya terasa makin berat hingga ia tak lagi mampu menahan tubuhnya.

Perlahan Adam pun meluruh, dibaringkan tubuhnya ke lantai dengan kedua tangan ia letakan di bawah pipinya sebagai bantal. Cukup malam ini, pikirnya. Terpaksa menikmati tidur tanpa alas dan selimut hangat seperti malam biasanya. Melainkan terbaring lemah pada dinginnya lantai tahanan yang menjadi tempat menginapnya malam ini.

Entah berapa lama Adam terlelap, sampai pada akhirnya samar-samar ia mendengar bunyi suara derit pintu besi dan langkah kaki bersepatu yang mendekat ke arahnya. Dan benar saja, suara keras seseorang membangunkannya.

"Heh, cepat bangun!" titahnya. 

Adam mengerjap, berusaha membuka mata untuk bisa melihat orang yang ada di depannya. Kepalanya masih terasa berat, lalu bayangan semalam pun berkelebat di memorinya sampai ia ingat di mana sekarang ia berada. 

"Cepat, keluar!" Seseorang menarik lengannya hingga ke posisi berdiri. Lalu mendorong pelan bahunya menuju arah pintu keluar.

"Ke mana, Pak?" tanya Adam dengan suara khas orang bangun tidur.

"Sudah. Jangan banyak tanya!"

Adam terdiam, seraya ikuti ke mana orang itu membawanya. Dengan langkah sedikit gontai, ia berjalan melewati beberapa ruangan lainnya mengikuti petugas jaga yang saat ini berjalan tepat berada di depannya. Adam dibawa masuk ke salah satu ruangan.

Di sana, sudah tampak lelaki paruh baya tengah duduk di kursi sedang berbicara dengan salah seorang pria bertubuh tegap lengkap dengan seragam kepolisian. Lelaki itu tampak bercengkerama penuh hormat kemudian menjabat tangan lelaki paruh baya itu yang tak lain adalah abahnya.

Tak lama, Beliau--Abahnya-- berbalik menatap tajam ke arahnya dengan tatapan penuh kemarahan. Adam tak berkutik, sebab ia tahu apa kesalahan yang telah ia perbuat malam tadi. Lelaki berpeci haji yang telah memutih di rambut dan janggutnya itu memang sudah tidak lagi muda.

Kegagahan Abah memang telah sedikit dimakan usia. Namun tetap saja ia tidak boleh menganggap remeh. Lelaki yang ada di depannya ini tidaklah lemah, sama sekali tidak. Justru sebaliknya, semakin berumur, kharisma dan wibawa Abahnya tidak pernah memudar sedikitpun. Adam bisa melihat, bahkan menyaksikan dengan diam dan tanpa banyak bicara, Abahnya itu sudah bisa menunjukkan kemarahan juga ketegasan dalam pribadinya.

Bagi Adam, tatapan mata lelaki itu sudah cukup melumpuhkan seluruh kerja sel saraf tubuh dan otaknya. Abahnya, beliau adalah lelaki yang tegas, tapi tidak kasar. Orang yang jarang marah hanya karena permasalahan kecil yang masih bisa Beliau maklumi. Ia hapal betul prinsip Abah yang hanya akan marah dan benci semata-mata karena Allah. Bahkan dalam keseharian Beliau mendidik anak-anaknya, hampir tak pernah Adam melihat beliau marah. Tapi jangan salah, kendati demikian, Beliau pun tak pernah sedikit pun memanjakannya.

Lihat selengkapnya