Jangan meremehkan seseorang karena keburukannya, sebab kita tak pernah tahu, seberapa banyak kebaikan yang dia sembunyikan.
☆☆☆☆☆
Seminggu sudah berlalu sejak pertemuan Sulaiman dengan Muja'far, saat ini sudah waktunya Sulaiman memberi pilihan pada putra bungsunya itu.
"Adam, kamu masih ingat soal ancaman Abah atas perbuatanmu minggu lalu?" Abah menatap tajam putra bungsunya.
Adam terpekur, tak berani menatap siapa yang tengah bertanya kepadanya. Jika barusan Abah bertanya apakah ia ingat ancaman itu, tentu saja Adam ingat semua yang Abah katakan. Dari pertanyaan dan sikap tenang Abah, Adam tahu jika sekarang Abah akan sungguh-sungguh memberinya hukuman. .
"Ya, Bah," jawab Adam, lirih.
"Kamu tahu, apa yang sudah Abah siapkan?" tanya Abah sedikit santai.
Adam mendongak, menatap penuh tanya pada Abah yang ada di depannya.
"Menikahkanmu, Adam," ucap Abah tegas.
Bagai disambar pertir di terik matahari atas apa yang baru saja ia dengar. Jujur saja, sungguh Adam tak menyangka jika Abah akan memberi hukuman seberat itu. Hukuman yang sama saja seperti mimpi buruk baginya. Bagaimana tidak? Selama ini Adam mati-matian menghindar dari satu komitmen, menjaga hati demi untuk tidak kenal apa itu cinta. Dan sekarang? Sekarang justru Abah sendiri yang ingin memenjarakan Adam dalam satu ikatan yang tak ingin ia mulai karena ketakutnya ada sebuah akhir yang sama seperti dulu. Jika sudah begini, apa harus ia melanggar tekad yang selama ini ia bangun sediri?
Tidak, Adam tidak bisa terima begitu saja atas hukuman yang diberikan Abah kepadanya. Apa-apaan ini? Protesnya dalam hati. Wajah Adam langsung tampak penuh kekesalan yang tak bisa dia luapkan. Ingin rasanya ia berontak atas segala kesewenang-wenangan Abah kepadanya. Ditautkan kedua alisnya dengan mata menatap Abah yang masih tetap gagah di hadapannya. Namun, rupanya Adam kalah cepat, Abah justru jauh lebih paham dengan apa yang ada dalam pikirkannya.
"Kenapa? Kamu keberatan? Mau protes? Silakan! Hanya satu pinta Abah, jika kamu keberatan dan tidak mau diatur, kamu boleh pergi dari sini, tidak usah temui Abah dan Umimu lagi. Anggap saja, kami bukan orang tuamu lagi," ancam Abah, serius.
Mendengar penuturan demikian, Adam tambah terkejut. Rupanya, ancaman Abah kali ini tidak main-main. Adam melirik pada Umi meminta bantuan agar Umi bisa membujuk Abah. Tapi sayang, Umi menggeleng dengan wajah sendu dan mata berkaca-kaca. Umi menangis, hati Adam terluka melihat Umi seolah meminta agar ia menuruti apa permintaan Abah. Menuruti agar ia bisa sama-sama terus bersama Umi. Adam tertunduk lesu lalu mendongak menatap lagi pada Abah.
"Apa... tidak ada hukuman lain, Bah? Adam rasa, pernikahan itu bukan perkara main-main," protesnya, memberanikan diri.
"Justru itu, karena ini bukan hal yang main-main, Abah ingin menguji rasa tanggung jawabmu pada Abah, pada Umi juga pada sesuatu yang jadi amanahmu. tunjukkan pada kami bagaimana menjadi orang yang bertanggung jawab. Abah ingin kamu belajar menjalani hidupmu dengan semestinya. Sesuai dengan apa yang diperingahkan Allah dan Rasul-Nya."
Adam bergeming, tertunduk tak mampu berbuat apa-apa. Dari ekor matanya ia bisa melihat Umi masih terisak. Ah, lagi-lagi ia telah membuat Uminya menangis.
"Abah sudah tua, Adam. Entah sampai kapan umur Abah dan Umimu ini bisa bertahan. Abah tidak bisa menjamin Abah dan Umi bisa terus menemanimu. Kamu harus sadar, tidak selamanya kami ada. Maka dari itu, sekarang Abah mau tanya, sebelum Abah dan Umi meninggal, apa yang mau kamu berikan untuk bisa bikin Abah sama Umi bahagia dan tenang saat meninggalkan kamu?" Suara Abah tiba-tiba turun pada oktaf yang lebih rendah.
Adam membisu, ada getaran pada suara Abah di sana. Mata tuanya terlihat berkaca-kaca. Wajah penat itu bisa Adam lihat begitu jelas. Seumur hidup, baru kali ini dia melihat kedua orang tuanya menunjukan wajah yang terluka di depannya. Dan buruknya lagi, Adam sendiri lah yang melukai mereka. Ya, Adam telah membuat Abah dan Umi kecewa.
Setelah Adam renungkan, terpikir olehnya jika ia tak bisa terus menerus membuat kecewa Abah dan uminya. Walau bagaimana pun juga Adam tahu bahwa, keridhaan Allah itu tergantung pada ridha kedua orang tuanya. Perlahan pikiran Adam mulai sinkron dengan hatinya.
Abah terdiam, sedangkan Umi hanya berurai air mata menatapnya penuh harap. Oh, ya Tuhan, Adam melihatnya. Jika sudah begini, bagaimana bisa merasa baik-baik saja? Tak kuasa hati Adam melihat Abah dan Umi menangis karenanya.
Adam menyesal dan ikut terluka saat melihat mereka. Bagaimana pun Adam menyayanginya. Perlahan, Adam mendekat, lalu membungkuk, meraih kedua tangan wanita itu. Lalu dikecup punggung tangan wanita yang telah melahirkannya. Ditatap wajah yang tetap cantik meski sudah tampak sedikit garis-garis halus karena di makan usia.
"Maafkan Adam, Umi, Bah." Adam terduduk di lantai dengan kepala direbahkan dipangkuan Umi penuh penyesalan. "Maafkan Adam sudah membuat Umi dan Abah kecewa. Maafkan Adam...."
Tangis Umi tak bisa terbendung lagi. Tangan ringkih terulur penuh kasih membelai kepala Adam. Betapa mereka terharu atas semua pengakuan putranya malam ini.