Ketajaman lidah itu menancap tepat di bagian ulu hati Rossa. Hinaan dan makian yang dilontarkan perempuan paruh baya itu bak gunung memuntahkan lahar yang ribuan tahun terpendam. Lahar itu terus mengalir, tak memperdulikan akibat dari luncurannya. Panas, membabat habis dan membakar semua yang dilaluinya.
Tubuh Rossa gemetar, sehina itukah dirinya di hadapan sang calon mertua? Hanya karena hidup sebatang kara bertemankan duka dan lara. Hidup dan besar di panti asuhan.
Sejenak lahar berhenti mengalir tapi netra tajam itu begitu nyalang seolah menguliti tubuh Rossa. Tatapan kebencian begitu nyata, membuat tubuh Rossa luruh, menunduk. Kedua tapak tangannyabasah, dingin dan saling bertautan di paha. Gemuruh di dada semakin kencang, membuat napas tercekat di tenggorokan.
"Dengar, Nelson! Sampai kapanpun mama tidak akan menyetujui pernikahan kalian," murka Linda. Giginya gemertak menahan emosi.
"Nelson tetap menikahi Rossa, dengan ataupun tanpa restu Mama," balas Nelson tak mau kalah.
"Jika itu terjadi, jangan harap kamu masih bisa menyandang nama keluarga Adiningrat. Tak sepeser pun kamu berhak atas harta keluarga ini." Linda berharap dengan ancaman tersebut Nelson membatalkan niat menikahi gadis yang menekur di hadapannya.
"Nelson tak perduli dengan harta yang Mama gadang-gadangkan, begitu juga dengan nama keluarga Adiningrat."
"Semua gara-gara perempuan ini, perempuan miskin yang hanya membutuhkan harta dan numpang hidup layak bersamamu." Kata-kata yang menyembur semakin panas.
Kepala itu semakin merunduk dalam saat mendengar semua hinaan. Tak sanggup rasanya menampakan wajah. Buliran bening mengalir deras di pipi nan mulus. Ingin rasanya membantah ucapan itu namun lidah terasa kelu.
Emosi Nelson pun memuncak, merutukisetiap ucapan yang keluar darimulut ibunya. Nelson seolah tak mengenali perempuan paruh baya yang berdiri di hadapannya. Seorang ibu yang penuh kelembutan dan kasih sayang tak ditemukan lagi semenjak dia membawa Rossa ke rumah. Apakah hanya karena Rossa seorang gadis yang dibesarkan di panti asuhan, bisa membawa aib bagi kehormatan keluarga besar Adiningrat?
Nelson meraih dan menarik tangan Rossa pelan. Tak bergeming.
"Ross," panggil Andre lembut.
Perlahan Rossa mengangkat wajahnya. Dada Nelson tersentak, mendapati mata bening itu sembab serta pipi dan puncak hidung bangir yang memerah. Hatinya terasa perih, rasa bersalah menghantui perasaan Nelson melihat kehancuran perempuan terkasih.
Nelson merengkuh bahu Rossa, melangkah meninggalkan ruang tamu yang terasa panas dan hampa udara. Pendingin ruangan dan kemewahan yang ada di dalamnya tak mampu lagi memberikan kenyamanan bagi penghuni yang ada di sana.
"Stop, Nelson!" Suara Linda menggema.
Tak diperdulikan perintah itu, Nelson terus melangkah. Mengayunkan kaki menuju pintu berkayu jati dengan ukiran Jepara.