Seperti yang diperintahkan Ellard, kini Emily dipindahkan ke dalam ruangan yang sangat sempit bahkan untuk tidur pun tidak bisa. Ruangan yang teramat sangat pengap dan tidak ada pencahayaan sama sekali dan baginya itu tidak menjadi masalah karena ia sudah mulai terbiasa dengan kegelapan. Ia bahkan tidak tahu ruangan itu gelap atau tidak. Namun ruangan sempit itu sedikit menyiksa dan membuatnya takut. Ia tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Ia hanya duduk dengan memeluk kedua lututnya, membenamkan wajahnya di atasnya.
Di sana ia juga tidak mendengar hiruk pikuk suara tahanan lainnya, satu-satunya suara yang ia dengar adalah suara tikus yang berulang kali melewati kakinya hingga membuatnya menjerit kepanikan.
Sebenarnya di mana aku berada? Batinnya sembari menangis.
Detik berganti menit, dan menit berganti jam, jam pun berganti hari. Hari-hari mengerikan dilewati Emily selama beberapa bulan di ruangan pengasingan itu. Jika di ruangan tahanan bersama Beti ia tak kuasa untuk mengunyah makanannya, maka di ruangan sempit itu selain tidak bisa mengunyah makanannya ia bahkan tidak bisa memejamkan matanya.
Ia yang kurus semakin kering kerontang, wajah semakin terlihat pucat pasi karena tidak pernah tekena paparan sinar matahari.
Kreng..
Emily mengangkat kepalanya. Seseorang masuk setelah beberapa bulan. Emily tidak tahu pastinya. Hari terakhir ia menghitung tepat di hari ke 90. Setelahnya ia tidak menghitung lagi, namun berdoa agar kedua orang tuanya sudi menjemputnya dan bergabung dengan mereka di surga. Ya, kedua orang tuanya memang sudah tiada.
“Bagaimana kabarmu, Emily?” Manik Emily membola seketika. Dan di detik berikutnya ia langsung pingsan setelah mendapat suntikan.
Pria itu menyunggingkan senyum iblis dan meninggalkan ruangan bawah tanah bersama orang yang diperintahnya untuk menyuntikkan racun ke dalam tubuh Emily.
***
Plak!
Semua mata tertuju pada Ellard dan juga Morin. Ellard dan beberapa kolega bisnisnya sedang mengadakan rapat di dalam ruangannya ketika Morin memaksa masuk ke dalam ruangan tersebut. Dengan langkah cepat dan wajah penuh emosi, Morin mendekati Ellard dan sebuah tamparan mendarat sukses di wajah tampan pria itu.
Semua bungkam tak bersuara, termasuk Edward yang berdiri di belakang Morin. Keduanya datang secara bersamaan.
Ellard melirikkan matanya ke arah Edward yang juga ternyata menatap penuh kecewa terhadapnya. Untuk sesaat ia mengernyitkan dahi, bertanya kenapa ia layak mendapatkan tamparan dan tatapan aneh dari Edward.
“Rapat ditunda,” tukasnya dengan tatapan mata sudah tertuju kepada saudarinya. Tanpa harus mengulang dua kali, para koleganya segera berdiri dari tempat masing-masing dan meninggalkan ruangan tersebut.
“Jadi katakan alasan yang masuk akal kenapa aku pantas mendapatkan sebuah tamparan dari kakak perempuanku yang begitu sangat menyayangiku. Aku masih bisa mengingat dengan jelas di mana kau menangis tersedu-sedu saat ibumu menjewer telingaku, lalu sekarang apa kasih sayangmu sudah berubah?” Ellard menyunggingkan senyum manis, menatap Morin dengan tatapan lembut, tidak tersinggung sama sekali dengan apa yang dilakukan oleh Morin bahkan setelah ia dipermalukan di hadapan orang banyak.