Edward membunyikan klakson mobilnya berulang kali, namun setelah sepuluh menit berlalu, pagar yang menjulang tinggi itu tidak kunjung terbuka. Edward kembali membunyikan klakson untuk kesekian kalinya dibarengi dengan keluhan bahwa para pekerja sepertinya harus lebih didisiplinkan.
Ya, mereka sudah sampai di rumah yang akan Ellard dan Emily tinggali. Rumah yang memang Ellard huni selama ini.
Pintu gerbang terbuka, Edward menoleh ke belakang dengan cepat, terlihat bahwa Ellard dengan santainya mengarahkan sebuah remote kecil ke arah gerbang tersebut.
“Para pekerja cuti massal,” Ellard menggidikkan bahunya. Tentu saja itu hanya alasannya saja. Ia memang sengaja untuk membuat sahabatnya kesal dengan memerintah para pekerjanya agar tidak membukakan pintu gerbang untuk mereka.
“Kenapa tidak melakukannya sejak beberapa menit lalu?” hardik Edward dengan wajah kesal.
“Aku lupa.”
Pintu gerbang terbuka dengan sempurna, yang terlihat hanya halaman yanng terhampar luas yang dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan di sisi kira kanan yang membuatnya terlihat indah dan sejuk. Terdapat juga beberapa kolam ikan yang tidak kalah menarik, serta taman bunga yang begitu indah. Bagaimana tidak indah, bahkan kupu-kupu pun enggan untuk beranjak dari sana. Tidak hanya taman bunga, kini mobil yang mereka naiki melewati tanaman yang diisi dengan buah-buahan. Sayang sekali Emily tidak bisa menyaksikan itu semua.
“Naikkan kecepatan mobilmu!” perintah Ellard. Edward memang sengaja memperlambat laju mobilnya agar Emily bisa menikmati pemandangan yang ada. Lagi dan lagi, ia melupakan bahwa Emily tak bisa melihat dan kembali ucapan Ellard menyadarkannya.
“Kau fikir dia bisa melihat, heh?” cibir Ellard.
Edward merasa tidak enak hati jadinya. Ia menoleh ke arah Emily, terlihat wanita itu menggigit bibirnya. Wanita itu terlihat gugup. Edward menduga, Emily sudah ada feeling jika Ellard akan berlaku tidak adil dan tidak baik untuknya. Sepanjang perjalanan Si Ellard keparat memang sengaja melemparkan kalimat-kalimat unfaedah yang melukai hati seorang wanita. Dan percayalah, Edward ingin sekali membungkam mulut Ellard dengan membenamkan wajah tampan pria itu ke aspal panas yang mereka lalui.”
Mobil akhirnya berhenti, dan helaan napas lega meluncur dari mulut Emily yang membuat Edward tertawa.
“Bukankah sudah kukatakan akan mengantar kita dengan selamat. Kita sudah sampai, Emily. Ini rumah yang akan kau tempati bersama suamimu.”
Emily mengulas senyum tipis sembari menganggukkan kepala.
Brak! Pintu dibanting dengan kuat membuat Emily berjengkit kaget sementara Edward, pria itu mengeluarkan semua jenis sumpah serapah yang ia hafal sejak zaman ia masih bayi.
Ellard hanya tersenyum penuh kemenangan. Kini ia berdiri di hadapan pintu penumpang. Dan dengan kasar ia membuka pintu tersebut dan menarik Emily setelah Edward membuka seatbelt wanita itu dengan terburu-buru.
Ellard menyeret Emily berjalan menuju rumah megah nan kokoh. Rumah yang terlihat bak istana raja yang ada di dalam sebuah cerita dongeng. Andai Emily mampu melihat, niscaya ia akan terpuka dan terpana. Ya, rumah itu memang terinspirasi dari istana raja yang ada di dalam dongeng.
Ellard menghentikan langkahnya secara mendadak yang membuat Emily harus menabrak punggungnya.
“Ingin menggodaku, heh?” sinis Ellard dengan sorot mata tajam. “Kenapa aku harus membawamu kemari?” gumamnya yang membuat Emily sedikit mengernyitkan dahinya.
Rumah itu adalah rumah impian Naura. Rumah bak istana raja yang seharusnya mereka tempati setelah mereka menikah. Rumah itu memang baru selesai dengan sempurna beberapa bulan lalu, di mana saat Naura masih hidup, bangunan itu masih setengah berjalan.