"Mas sebelum cerita kehamilan ghaibku, ijinkan lah aku cerita tentang awal pertemuanku dengan Mbah Jarwo, " Zaenab memohon padaku.
"Silahkan Nab, asal jangan terlalu panjang kayak sinetron." Jujur aku penasaran apa yang terjadi di gua ghaib kala Zaenab melakukan puasa patigeni, bersama Astrid dan Maya— si gadis dari NTT. Namun pertemuannya dengan Mbah Jarwo cukup menarik disimak.
⭐⭐⭐⭐⭐
POV : Orang Ketiga
Desa Siluman Kerta, 19 November 2020, 09.00 Pagi
"Aneh" Itulah kesan pertama yang Zaenab lihat saat memasuki rumah Mbah Jarwo si dukun sakti mandraguna yang konon usianya sudah lebih dari seratus tahun. Dari luar rumahnya terkesan rumah aki-aki pada umumnya — kecuali patung macan putih yang menyeramkan yang bertengger di halamannya — malah terkesan klasik dengan dindingnya yang masih terbuat dari triplek, dan atapnya yang mirip perahu terbalik. Istilahnya dalam Sunda itu "Parahu Kumareb".
"Jadi ini rumah Mbah Jarwo Beh?" Rasa kagum bergemuruh kala Zaenab melihat rumah si dukun tua yang klasik. Walau sekecil kandang sapi, tapi tamannya cukup luas. Indah, hijau membentang. Disamping rumahnya pun ada sungai jernih yang mengalir deras. Mata Zaenab cukup dimanjakan kala melihat taman hijau nan subur yang ditaburi bunga-bunga aneka warna dan kupu-kupu yang berdansa diatasnya. Ternyata jadi dukun, cukup menghasilkan di Indonesia.
Babeh memarkirkan mobil Alphard putihnya di samping taman, dekat kandang sapi milik Mbah Jarwo : yang entah mengapa banyak pakannya, tapi tak satu pun ada sapi di sana. Ghaib.
"Ayo kita masuk ke dalam, Nab." perintah Babeh. Nadanya begitu datar.
Zaenab kira sebagai "pawang macan ghaib" peliharaannya Si Mbah adalah buaya, singa atau biawak, nyatanya di depan rumahnya hanya ada kandang ayam dan burung-burung merana yang terkurung di dalam sangkar. Bukan burung hantu yang menyeramkan yang membawa berita kematian, hanya burung merpati, dan burung-burung bersuara merdu yang doyan jadi peliharaan bapak-bapak gabut lainnya.
"Assalamualaikum," Babeh mengetuk pintu kayu jati yang masih cucup kokoh.
Krek! Pintu kayu di depan Zaenab mendadak terbuka. Lelaki bongsor menatap tajam dari dalam, Zaenab kaget melihat mata bulatnya yang mengintip tak berkedip. Dia tersenyum mengerikan dengan gigi kuning berbaris rapi.
Seram. Seorang lelaki gondrong bertubuh gempal membuka pintu sambil ngedumel gak jelas, "mewawat watang."
"Selamat datang juga dek Wowo," balas Engkong Babeh.
Zaenab terpaku melihat wujud sosok bongsor didepannya. Jangkungnya tinggi menjulang dua meter, matanya juling, dan jalannya sedikit bungkuk seperti raksasa. Ada bulu-bulu tebal ditubuhnya, terutama bagian dada, tangan, jambang dan kakinya.Dan yang menjijikan adalah liur yang menetes-netes ke lantai dan sesekali dia seka. Dari parasnya yang menyeramkan, usianya kira-kira seumuran dengan Brahma (25 ).
"Iwwahkan, wawuk!" ucapnya balelol. Maksudnya dia mempersilahkan Zaenab dan Babeh masuk ke dalam.
Zaenab tak berani menatap Wowo. Tangann kekarnya cukup mengerikan dimatanya . Ngeri rasanya membayangkan tangan besar itu mencekik leher cungkringnya sampai kering. Untungnya, Si Babeh menenangkannya, "jangan takut, dia Si Wowo anak angkatnya Si Mbah. Memang sedikit cacat mental, tapi orangnya baik— asal tak diganggu."
Wowo tak peduli walau dibicarakan. Ia menatap Babeh dengan tatapan sadis dengan matanya yang sebesar bola tenis.
"Dia itu anak jin kasta bawah — genderewo— makanya gitu, agak kurang waras," bahas Babeh. "Dulu, rumah Mbah Jarwo hampir kemalingan, terus kamu tahu apa Wowo lakukan?"
"Apa?"
"Si Wowo mencekik Si maling lalu mengangkatnya ke udara. Tangannya meremas wajah si maling kuat-kuat, hingga darah mengalir dari kuping, hidung, dan mulutnya."
"Malingnya mati?" bisik Zaenab. Jantungnya berdegup kencang mendengarnya.
"Enggak," balas Babeh. "Dia cacat seumur hidup, wajahnya penyok."
Zaenab semakin ngeri dengarnya, Wowo begitu santuy, tak peduli dibicarakan dari belakang. Dia tahu betul seorang lelaki tua, dan gadis mandul nan rapuh takkan sanggup menyentuhnya.
"Wi wahwan wewat wini. " Silahkan, lewat sini. Begitulah yang Wowo coba sampaikan. Dia mengantar Engkong Babeh, dan Zaenab memasuki pintu berwarna merah, setelahnya Wowo menunggu di luar.
Kala pintunya dibuka, mereka melihat seorang lelaki tua tunanetra yang sedang duduk semedi. Tangan kirinya memegang tengkoran manusia yang sekilas ukurannya sebesar genggaman bayi baru lahir. Mulutnya komat-kamit merapal mantra-mantra dengan bahasa Sunda Kuno yang sulit dipahami.
Baju komprang hitam, cupumanik hitam yang diapit dua taring macan yang tergantung dileher menambah kesan mistik Si Mbah. Belum lagi batu akik yang menghiasi jemari kirinya —seperti warna balonku— menambah kesan angker dan wibawa Mbah Jarwo. Yang unik, tak ada menyan bau segak disana. Satu-satunya asap yang mengepul hanyalah kepulan asap Vape rasa es teh manis yang cukup harum.
"Selamat pagi kaum-kaum sesat." Sapa Mbah Jarwo sambil cekikikan.
"Pagi Mbah." Si Babeh langsung duduk depan Mbah Jarwo dengan sopan.
Perhatian Zaenab tertuju pada dekorasi kamar yang dukun banget : gelap, remang, dan banyak benda mistik. Dalam ruang praktek, ada lemari kaca dengan nuansa mistik yang tangguh. Letaknya di sudut dinding, dekat lukisan maung putih yang gahar. Aneka benda mistik terpajang didalamnya. Ada keris keramat yang dibalut sarung merah darah, wayang Rahwana yang mata kirinya rusak, sebuah tengkorak kepala banteng, dan yang paling mencolok, Jenglot hitam seukuran Barbie dengan wujud menyeramkan : matanya merah menyala, tubuhnya kurus kerontang seperti bocah busung lapar, dan taringnya begitu panjang dan dekil.
Satu yang mencuri perhatian Zaenab adalah sebuah buku usang, setebal novel Harry Potter yang terbalut cover kulit ular, ada tulisan yang menohok di sana terukir dengan tinta merah seperti darah : mahamantra ilmu karuhun. Tangannya begitu gatal menyentuhnya.
"Hey, Zaenab jangan asal sentuh! Itu benda keramat!" bentak Mbah Jarwo sambil melotot.
"Darimana dia tahu namaku?" gumam Zaenab.