POV : Ketiga
20 November 2020, Alam Siluman.
Kengerian di terowongan siluman, melekat kuat kuat dalam pikirannya. Rasa jijik, mual, dan nyeri berpadu menjadi satu dalam kuah imajinasi. Zaenab takkan lupa bagaimana tubuh seorang gadis polos disayat-sayat tipis layaknya sashimi dan Maya masih mual melihat manusia yang bercumbu dengan babi. Namun, semuanya terbayar tuntas, puas saat Zaenab bernaung di bawah rerumputan jingga yang indah. Langitnya berwarna putih cerah dengan pemandangan pemandangan di luar nalar. Bunga-bunga bermekaran dilibas angin sepoi-sepoi. Apesnya pemandangan itu hilang seketika kala mereka melihat penghuninya yang mengerikan.
Sepuluh meter di atas kepalanya Zaenab melayang seekor naga hijau yang panjang sedang ditunggangi oleh kurcaci berwajah menggemaskan : wajahnya ada dua, di depan lelaki berjenggot dan di belakang betina yang centil. Bajunya serba hitam seperti malaikat pencabut nyawa, ketawanya seram sekali. Lalu sepuluh meter dihadapannya, dia melihat peri-peri wanita berbadan kekar yang sedang menari jaipong . Lebih gila lagi, tiga meter dihadapannya ada Sundel bolong berbaju ungu yang bolongnya dikepala — dengan belatung-belatung lucu yang bersarang diwajahnya. Mereka lari riang gembira di atas taman jingga yang lapang.
"Ya Tuhan, lucu sekali setan-setan ini." Mbah Jarwo tersenyum gemas. Dia mendekat ke arah Sundel Bolong. Mbah merentangkan tangannya lalu memasukan ke dalam lubang menganga Sundel Bolong dihadapannya. "Cang, kacang panjang yang panjang setan!" ucapnya sambil terkekeh. Berulang kali ia emasukan dan mengeluarkan tangannya dari lubangnya yang menganga.
Plak! Sundel bolong itu menepisnya dan tangan Jarwo pun keluar dari lubang itu. Sundel langsung mengapung, menjauh pelan-pelan dari Jarwo yang biadab. Harga dirinya sebagai setan lebur.
"Selamat datang di Alam Siluman Mbah Jarwo." Suara yang lantang bernaung dengan kencang. Memecut nyali mereka yang menangkap gaungannya.
Seekor tuyul jangkung nan kekar mulai menampakan wujudnya. Ia berjalan di depan Zaenab dan Maya. Gadis itu langsung memeluk Maya erat-erat, pandangannya disembunyikan, ia tak kuasa melihat kengerian didepannya. Posturenya tinggi dan putih seperti artis Korea, dengan roti sobek melekat diperutnya. Yang aneh adalah kepala dan wajahnya menghadap ke belakang.
"Mbah kok wajahnya ngadap kebel—"
"Ssstttt" demit itu mendengarkan. Tuyul itu menyentuh kepalanya lalu pelan-pelan memutarnya 180 derajat sampai akhirnya bertatap dengan Zaenab yang gemetar melihatnya. "CILUK BA!" bentaknya dengan suara yang serak. Dia memperlihatkan wajahnya : matanya putih pucat, dan kulit pipinya sobek, rahang dan giginya terlihat dengan jelas dari kulit luarnya yang terkoyak. Senyumnya jahat sekali.
"Aaargh!" Zaenab menjerit histeris.
"Fuh!" Sang Tuyul menghembuskan nafas dileher Maya. Buku-bulu halusnya berdiri tegak, berbaris rapi bak seorang tentara yang hendak mati di medan perang. Pupil matanya yang putih menerawang kulit eksotis Maya lekat-lekat. Dia tercekam kengerian.
"Wah, barang bagus, cocok tuk ditumbalkan." Betapa santainya Sang Tuyul berkata. Dia bertanya, "ada perlu apa Jarwo, kamu pergi ke alamku?"
"Antarkan kami ke Goa Hitam."
"Kamu tahu kan, jasaku tidaklah gratis." Lagi-lagi Tuyul Kekar tersenyum. Matanya melirik ke arah Maya dan Zaenab. "Kira-kira mana ya, yang rasanya enak?" Dash! Dengan secepat kilat, wajahnya didekatkan pada Maya dan Zaenab erat-erat. Mereka hanya membatu melihat Tuyul Kekar menatapnya bulat-bulat. Pelan-pelan dia menjilat pipi Maya sampai basah. Liurnya yang lengket dan bau menempel diwajahnya. Ngeri.
"Cih, berhentilah basa-basi." Jarwo menatapnya lekat-lekat. "Bilang saja kalau kamu lapar kan?"
Tuyul Kekar tersenyum jahat, tangannya mengemis ke arah Jarwo.
Syung! Mbah Jarwo melempar satu ruas jari yang terlihat seperti lengkuas. Warnanya sedikit pucat kebiru-biruan dan baunya agak amis-amis ikan busuk. Bola mata Maya dan Zaenab melirik ke arah Mbah Jarwo dengan getir, bertanya batang apakah yang terkapar di tanah sana.
"Itu jari anak-anak. Jari jempol tepatnya. "
Mendengar kata itu, Zaenab langsung mual-mual.
"Tenang saja kok bukan jari manusia," Jarwo menenangkan. "Jari anak jin yang meninggal karena kecelakaan. Masih fresh, from the oven."
Jarwo bercerita bahwasanya di hutan rimba banyak anak-anak jin nakal yang tak sengaja tergilas truk-truk besar yang baru lewat. Itu karena manusia tak bisa melihat mahluk transparan — walau suka dengan yang "transparan". Orang barat memanggilnya Black Eyed Children's, anak bermata hitam. Bagi Mbah mereka hanyalah demit kelas menengah yang hobi menjaili manusia. Mereka sering menghentrikan truk yang lewat dan mengetuk pintu rumah orang di malam yang pekat — untuk bersenang-senang.
"Hahahaha, Jarwo oh Jarwo!" Tuyul Kekar terbahak. Suaranya terdengar bersisik, serak-serak penuh dahak. Dia memulung jari malang itu lalu lidahnya yang berwarna hitam kelam mulai memelet-melet , melumatnya perlahan-lahan. "Ah mantap. " Matanya merem melek menikmati sensasinya. Setelahnya dia memasukkan ke dalam kancut hitamnya. "Buat nanti nonton 'bola', " celotoh Raja Tuyul. Bola sepak kepala buntung.
"Uhuwek." Maya muntah seketika, cairan hijau bercucuran di tanah basah. Secara ghaib muntahan-muntahan itu merembas ke dalam tanah, raib tak tersisa.
"Hey, tenang saja sayang," tukas Mbah Jarwo. "Tuyul kekar ini itu tuyul yang sholeh. Dia takkan makan manusia— menumbalkan pengecualian— si gundul pacul ini hanya makan sesamanya. Kanibal."
"Sholeh gundulmu, " batin Zaenab dalam hati. Sudah seram, jelek, kanibal lagi. Paket komplit.
"Jadi gimana, apa belum cukup 'tumbalnya'?" sindir Mbah Jarwo.