Isyarat Sabda Cinta

Hanang Ujiantoro Putro
Chapter #2

Terima Kasih Bapak

Bapak adalah sosok pahlawan dalam keluarga. Pemimpin yang tulus, gigih, pekerja keras, dan rela melakukan apa saja demi membahagiakan keluarga yang dinaunginya. Ia bagaikan kaki yang ikhlas mengayuh puluhan kilometer untuk mencari nafkah, ia bagaikan mata untuk melihat tujuan akhirat bagi keluarganya, ia memiliki lidah untuk memberikan ajaran nasihat bijak kepada keluarganya, ia memiliki telinga untuk mendengarkan cerita, keluhan, dan curhatan hati tentang hidup, ia memiliki napas untuk senantiasa bertasbih mengabdikan dirinya pada keluarga.

Bapaknya adalah seorang pendengar dan pemberi nasihat yang baik, saat anak-anaknya merasa sedih dan butuh penyejuk hati. Bagi keluarga, sosok bapak bak seorang nakhoda yang selalu siap melindungi kapal juga seluruh awaknya dari guncangan badai-badai kehidupan. Apapun, kapanpun, dan bagaimanapun, selagi Tuhan masih memberikan amanah umur kepada raga-nyawa seorang bapak, maka figurnya akan abadi menjadi pelita. Bersusah payah memberikan yang terbaik bagi keluarga. Apapun caranya selagi masih halal tentu akan ikhlas ia lakukan.

“Pak, tolong kali ini saja...” pintanya lirih.

“Yang kemarin saja belum dibayar! Masa sekarang mau ngutang lagi! Tekor dong saya!”

“Saya sangat butuh sekali buat berobat anak saya. Zidan badannya panas. Nanti kalo ada rezeki pasti secepatnya saya ganti, sekalian yang kemarin juga, Pak….”

“Halaaahh! Udah sana-sana pergi, saya mau keluar!!!”

Tanpa perasaan. Pak Anton lalu melengos menuju mobilnya yang terpakir di halaman rumahnya. Pak Ikhsan dilewatinya tanpa kata salam__kata-kata berpamitan. Raihan kecil yang belum mengerti apa-apa hanya terdiam sembari memegangi pilar atap teras. Matanya kosong seperti menampakan banyak tanda tanya yang belum bisa dijawabnya. Yang ia tahu hanyalah sebatas peristiwa yang tadi tengah dilihatnya saja__bapaknya dimarahi oleh Pak Anton.

“Bapak kenapa kok tadi dimarahin? Bapak nakal ya?” tanya Raihan dengan polosnya.

“Bapak gak apa-apa kok, Nak. Yuk kita pulang!” Pak Ikhsan tersenyum kecil sembari mengusap kepala Raihan.

 Dengan lapang dada Pak Ikhsan mengayuh becaknya kembali pulang ke rumah. Walaupun sudah diperlakukan tidak enak oleh Pak Anton, namun sebisa mungkin Pak Ikhsan bisa mengerti dan sabar. Ia yakin bahwa penolong utama manusia yang sebaik-baiknya hanyalah Allah Subhanahu wa Ta'ala .

“Laa haula wa laa quwwata illa billah,...Laa haula wa laa quwwata illa billah...”

Tidak akan pernah ada takdir-Nya yang membuat susah dan sulit hamba-hamba-Nya. Karena pasti pada saat manusia diuji, Allah sedang mengisyaratkan bahwa Allah rindu akan rintihan permohonan doa hamba-hamba-Nya.

+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++

Apapun, kapanpun, dan bagaimanapun, selagi Tuhan masih

memberikan amanah umur kepada raga-nyawa seorang bapak,

maka figurnya akan abadi menjadi pelita.

+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++

 Sabtu, 13 Juni 2000. Hari itu lain dengan hari-hari biasanya. Pada hari itu ada satu moment menegangkan yang paling ditunggu-tunggu. Hari dimana semua para siswa SDN 1 Melakasari bisa menunjukan hasil dari belajar di sekolah selama satu tahun kemarin. Raport semester genap kali ini akan menentukan apakah para siswa akan naik kelas atau tidak. Tak terkecuali bagi dua anak laki-laki bersaudara yang kini duduk di kelas enam dan kelas tiga.

Raihan Abdurahman dan Zidan Syamsul Fajri. Meskipun Raihan selalu mendapatkan juara kelas dengan peringkat pertama atau biasanya kedua, namun masih saja harap-harap cemas ia rasakan. Kali ini bukan hanya raport saja yang membuatnya cemas, melainkan juga bapaknya. Sampai detik ini belum juga terlihat datang. Kecemasan pun turut dirasakan Zidan. Mereka berdua duduk di kursi panjang. Di depan kelas tiga yang berhadapan langsung dengan arah gerbang sekolah. Kedua pasang mata anak itu menjelajahi setiap arah dengan cemas, berharap pandangan matanya berhasil menangkap sosok bapaknya.

“Mas, bapak kok belum datang juga ya?” tanya Zidan kepada kakaknya.

“Mungkin di jalan lagi macet, Dek. Atau mungkin masih nganter penumpang. Kita tunggu dan doakan saja, moga bapak bisa cepat sampe ke sini.”

“Iya, Mas. Oh ya Mas, kira-kira aku masuk sepuluh besar gak ya?”

“Kalau kemarin kamu ngisi soal ulangannya serius dan gak bandel di kelas, Insya Allah kamu akan masuk sepuluh besar kok, Dek,” jawab Raihan menenangkan adiknya.

Lihat selengkapnya