Raihan Abdurahman. Sebagai anak pertama tentu kehadirannya sangat diharapkan oleh kedua orang tuanya. Terlebih lagi jauh sebelum Raihan lahir, Pak Ikhsan dan Bu Nani menginginkan anak pertamanya seorang laki-laki. Seperti kebanyakan anak-anak pada umumnya, Raihan sewaktu kecil sangat nakal dan suka bermain. Ada satu kejadian konyol yang membuat warga satu dusun shock.
Saat berumur 5 tahun dirinya pernah hilang hampir seharian. Awalnya Raihan kecil bermain dengan teman-temannya, tanpa sengaja ia pun terjatuh ke dalam got yang airnya hitam keruh dan bau. Kuatir dimarahi oleh sang ibu maka Raihan kecil tidak berani untuk pulang ke rumah. Ia pun berinisiatif mandi dan membersihkan seluruh pakaiannya yang kotor di tempat wudhu masjid__saat itu sepi. Seluruh tubuhnya basah dan mulai terasa dingin. Raihan kecil mengambil kain sarung yang ada di gudang masjid dan menutupi tubuhnya dengan sarung terus bersembunyi, kemudian ia tertidur.
Duh, kok malah dingin ya? keluhnya dalam hati, coba masuk ah, siapa tahu ada sarung yang bisa dipake, hatinya kembali menerka sambil melangkahkan kakinya masuk ke masjid, kok, gak ada ya? Ah, mungkin ada di ruang ini! masuklah Raihan ke dalam gudang masjid. Orang tua, tetangga, dan warga kuatir. Orang-orang spontan langsung mencari Raihan setelah ada pengumuman berita kehilangan di speaker masjid. Sampai petang Raihan kecil belum ditemukan juga. Ibu Nani terus-terusan menangis. Ketika bada magrib kebetulan salah seorang pengurus masjid hendak mengambil kotak kencleng jariah di gudang. Sontak ia pun terkaget dan langsung berteriak memberitahu jemaah, bahwa ada Raihan sedang tertidur pulas di dalam gudang.
“Pak, Bu iku ana Raihan ning jero gudang!! Pak, Bu ana Raihaaaan!!! Raihaaan!!” Sambil mengarahkan telunjuknya ke arah gudang. Kejadian itu telah berlangsung 12 tahun yang lalu. Kini Raihan sudah menjadi anak pemberani. Usianya kini menginjak 17 tahun, dan duduk di bangku kelas XII SMA. Ia pun tergolong siswa yang pintar dan berprestasi. Karena itulah biaya SMP dan SMA-nya dibantu pemerintah dan sekolah. Sepeninggalan almarhum bapaknya ia merasa peka dan prihatin dengan keadaan keluarganya, sehingga ia harus berjuang melawan kerasnya hidup untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Ketidakberdayaan umurnya dipaksa berkembang dewasa oleh badai-badai masalah dan ujian keistiqomahan imannya.
+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++
Ketidakberdayaan umurnya dipaksa berkembang dewasa
oleh badai-badai masalah dan ujian keistiqomahan imannya.
+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++
Kini Zidan Syamsul Fajri sudah menginjak usia 14 tahun. Empat bulan yang lalu ia baru saja duduk di kelas IX SMP. Secara fisik, ia hampir mirip dengan kakaknya. Perawakannya tinggi, rambut lurus yang disisir ke arah pinggir, berkulit sawo matang. Namun secara pola pikir dan psikologis kedewasaan jauh sekali dari kakaknya yang hanya berbeda 3 tahun dengan dirinya. Sebelum bapaknya meninggal dunia, Zidan termasuk anak yang penurut. Namun sepeningalan almarhum, tabiat Zidan sedikit berbeda dengan yang dulu. Pernah suatu hari orang tua dari tetangganya mendatangi rumahnya, dengan maksud menegur dan meminta kembali Game Boy yang pernah dicurinya.
“Zidan, cepet balikna game sing duwe Dudi!!” dengan nada sedikit tinggi dan kesal Bu Nani memerintah Zidan.
“Tapi Bu…”
“Cepet gawanen! Balikna ning Dudi!” Tanpa membantah dan berkata lagi, Zidan langsung menuju kamarnya dan mangambil mainan Game Boy milik Dudi. Yang awalnya pernah diambilnya saat bermain di rumah Dudi.