Daun mangga terlihat banyak sekali yang kering. Menggantung di ranting-ranting yang menjulur tak tentu arah, bahkan rantingnya pun bagaikan sekumpulan ular yang menjulur kesana-kemari. Kabel listrik hitam membentang di sepanjang jalan Gang Anggrek, seakan menembus rimbunan dedaunan dan ranting-ranting pohon mangga tersebut. Buahnya memang belum ada. Mungkin karena sekarang lagi musim kemarau, jadi pertumbuhan pohon terganggu dan belum menghasilkan buah. Daun-daunnya pun tampak cokelat memucat kering, seperti tak punya tenaga lagi untuk menggantung lebih lama pada sang ranting. Hingga satu persatu daunnya ranggas. Terbawa angin mengotori atap genting sebuah warung rumahan yang menjual beberapa makanan dan minuman ringan. Tak sampai di situ, meskipun anginnya semilir tetapi cukup bisa mengoyakan pohon mangga hingga daun-daun dan ranting-ranting keringnya juga jatuh berserakan di depan halaman warung.
Halaman warung yang selalu dijadikan lahan parkir tempat penitipan sepeda motor anak-anak SMP. Pak Gino pemilik warung pun suka diberikan tips dari anak-anak sekolah yang menitipkan motornya. Sebenarnya di dalam sekolah pun sudah tersedia tempat parkir yang cukup luas, hanya saja anak-anak tidak pada mau memarkirkan motornya di sana. Alasannya agar saat istirahat mereka bisa bolos dan kabur dari sekolah dengan aman, tanpa harus repot-repot membawa motor mereka keluar lewat pintu gerbang. Wong gerbang depannya juga pasti ditutup pas lagi istirahat.
“Mang, rokoke sing biasa siji!” pinta Zidan kepada Pak Gino.
“Wah, sira kok ora solider Zi, kanggo kita sekalian jeh!”
“Iyee,,iyee bos, nih!” Zidan memberikan sebatang rokok kepada Hasbi.
“Huft, gila, gila gillaa…! Butek Bro otak gue kalo udah liat angka! Apalagi Bu Lusi kalo udah ngambek galaknya minta ampun deh!” keluh Boim kepada empat kawannya.
“Iya sama. Gue juga sebenernya udah males banget! Pengennya cepet-cepet bel istirahaaat…!” tambah Ipul mengeluh.