Isyarat Sabda Cinta

Hanang Ujiantoro Putro
Chapter #8

Diam-Diam Suka

Allahuakbar,,Allahuakbar.......” Suara adzan duhur begitu syahdu seperti menyatu dengan udara yang membubung di langit. Lafadz-lafadz Agung mengumandang penuh kesucian atas nama kebesaran Tuhan. Getaran dawainya mengajak seluruh umat muslim untuk sejenak melaksanakan shalat. Sebagaimana yang sudah diwajibkan di rukun islam kedua bagi umat muslim. Jika sudah masuk waktu duhur begini, otomatis berbarengan dengan jam istirahat sekolah kedua. Murid-murid segera bergegas menuju masjid Al-Iman, masjid satu-satunya yang ada di dalam lingkungan sekolah ini. Untuk sampai cepat di masjid itu, maka murid-murid kelas XI IPA 1, 2, dan 3 harus berjalan melintasi lapangan basket.

“Ti, gimana kepastian ustadjah Mina, sudah kamu follow up lagi?” tanya Ulvi kepada Siti sambil berjalan tepat di tengah lapangan basket.

Alhamdulillah udah Vi, Insya Allah lusa fix ngisi acara keputrian ROHIS!”

Alhamdulillah, berarti tinggal kita konfirmasikan aja ke anak-anak nanti sore pas rapat.”

Saat mereka berdua tengah asyik ngobrol tiba-tiba Amir memanggil.

“Vi, tunggu bentar!!”

Kini mereka berdua berdiri berdekataan. Di samping Amir ada seorang sahabat yang selalu menemaninya yaitu Raihan. Raihan hanya tertunduk. Siti pun tertunduk. Mungkin rasa malu, deg-degan, atau rasa yang tak terdefinisikan tengah hinggap di antara kedua hati muda-mudi itu.

“Iya Mir, ada apa?”

“Tadi Pak Nasir ngamanahin, kalo pulang sekolah kamu suruh menghadap beliau di kantor guru.”

“Pak Nasir? Ada apa ya?

“Aku juga kurang tahu, Vi. Kayaknya penting deh!”

“Ok makasih ya infonya, Mir.”

“Iya sama-sama, Vi.”

“Yaudah yuk! Kita solat duhur dulu!”

Mereka semua langsung menuju masjid.

Harusnya tadi aku ikut ngobrol juga, atau setidaknya menyapa mereka, tapi kenapa kok rasanya sulit banget untuk bicara. Aku kuatir kalau Siti dan Ulvi menganggapku sebagai orang yang sombong, sesal Raihan dalam hati.

Di tempat wudhu masjid..

“Woii!! Tuh air jangan dibuang-buang! Sayang tau mubazir, ngelamun ya?!” sontak Amir, membuyarkan lamunan Raihan.

***

Teeeeeettttt!!! Bel pulang sekolah berbunyi. Wajah-wajah yang tadinya suntuk kini terlihat sedikit sumringah. Ada yang sudah berencana untuk melaksanakan rapat, ada yang sudah terbayang akan ngedate sama pasangannya sepulang sekolah, bahkan ada yang di benaknya sudah membayangkan semangkuk bakso pedas. Seragam mulai dirapikan kembali. Di atas meja sudah bersih, karena buku-buku catatan dan buku paket biologi dimasukan ke dalam tas masing-masing.

“Ti, aku mau ke Pak Nasir dulu ya! Kamu jangan kemana-mana, tunggu aja di ruang ROHIS!” pinta Ulvi kepada Siti.

“Ok Buketu! Eh lama gak?”

“Nggak tau deh! Kan aku juga belum tahu apa yang akan disampein Pak Nasir. Lagipula rapat ROHIS setengah jam lagi kan?”

“iya sih”

Murid-murid berhamburan menuju pintu gerbang sekolah. Namun ada juga beberapa yang baru masuk masjid untuk melaksanakan shalat. Terlihat beberapa guru pun ada yang masih berbincang-bincang di depan kantor guru. Pak Nasir ada di antara beberapa guru tersebut.

Assalamu’alaikum, Pak!” Ulvi mengucap salam, langsung menyalami tangan guru-guru yang ada di situ.

Wa’alaikumsalam

“Pak, tadi istirahat kata Amir, bapak manggil saya?”

“Iya Vi, ada yang mesti bapak sampaikan.”

“Tentang apa, Pak?”

“Akan ada kegiatan lagi untuk ROHIS. Sebentar bapak ke dalam dulu mau ambil suratnya.”

Ulvi dibuatnya penasaran. Ia duduk menunggu di kursi yang ada di depan kantor guru.

“Vi, ibu pulang duluan ya!” sapa Bu Aniyah.

“iya Bu, hati-hati.”

Pamitnya Bu Aniyah diikuti oleh Bu Mima, Pak Sakri, dan Pak Dudin yang kebetulan tadi tengah berbincang bersama.

***

Empat hari setelah kebimbangan itu merasuki hati Raihan, masih saja sampai sekarang ia belum mendapatkan uang yang cukup untuk membayar SPP Fatimah sebesar 25%. Terlebih lagi membelikan sebuah sepeda motor seken untuk Zidan, tentu itu masih sangat jauh dari kata cukup. Mungkin masuk kategori menghayal. Hasil jerih payahnya selama mengajar les privat anak-anak SD belum cair. Alasannya karena sang orang tua sedang banyak pengeluaran di bulan ini, jadi belum sepenuhnya bisa membayar uang les anaknya. Andaikata jika uang les bulan ini dibayarkan penuh tentu paling tidaknya ia harus bisa mencarikan uang pinjaman tambahan lagi untuk menggenapkan jumlahnya.

Diambilah dompet kulit di saku belakang celananya. Dompet berwarna hitam itu sudah usang dan sedikit terdapat robekan di bagian tengahnya. Ya, dompet usang itu adalah dompet yang dulu pernah dipakai oleh almarhum bapaknya. Ia sengaja ingin menggunakan kembali dompet itu agar selalu ingat bahwa  jihadnya seorang bapak untuk mengisi dompet dengan selembaran-selembaran uang memang tidaklah mudah. Itulah Hadits Rasulullah yang pernah diriwayatkan oleh Ahmad:

Barang siapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza Wajalla.”

Astagfirullah Al’adziem, cuma ada tigapuluh ribu, Raihan mengeluh dalam batinnya.

Sambil berdoa dalam hati, Allahumma a’inni ‘alaa dzikrika wasyukrika wahusni ‘ibaadatika, Raihan langsung mengalihkan pandangannya ke arah depan atas, tepat tertuju pada sebuah tulisan lafadz Allah. Ya Allah, tolonglah aku agar dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan membaguskan ibadah kepada-Mu. Kuatkan dan bantulah hamba agar hamba bisa memberikan yang terbaik untuk keluarga hamba. Batinnya mengharap,“Ya Fattah Ya Razzaq,...Ya Fattah Ya Razzaq,..Ya Fattah Ya Razzaq,...”

Suasana menjadi hening. Hanya ada Raihan seorang diri di dalam masjid. Setelah tadi ia melakukan shalat dan berdoa. Kini pikirannya menjadi lebih segar untuk mencari solusi dan usaha lainnya agar bisa mendapatkan uang tambahan.

Audzubillah himinnas syaitonirhozim, Bismillahirohmanirrahim. Ar-Rahman Allamal quran Khalaqal insaan Allamahul bayaan Asy syamsu wal qamaru bihusbaan_”

Sepertinya saya kenal suara wanita yang sedang tadarus itu, terkanya dalam hati.

Sengaja Raihan tidak langsung beranjak dari tempatnya. Hatinya semakin tenang. Suara wanita yang sedang mengaji tersebut masih belum ia kenali karena memang shaf wanita ditutupi tirai berwarna hijau di belakang ruangan masjid. Ayat demi ayat terdengar begitu sangat indah dengan tartil dan qiroah. Membuat siapa saja orang yang mendengarkannya menjadi betah. Hingga sampai ayat terakhir, Raihan masih saja berada di tempatnya semula.

“...Shodaqollahul adziem

Lihat selengkapnya