Isyarat Sabda Cinta

Hanang Ujiantoro Putro
Chapter #9

Berkah Tak Terbaca

Langit berganti warna menjadi jingga. Keteduhan warna keemasan yang seakan menjadi simbol kesederhanaan dalam cinta dan kesuksesan. Sang mentari pun sebentar lagi akan tenggelam di ufuk barat, dimana tempat bersemayamnya. Jalanan-jalanan seperti biasanya dipadati oleh mobil-mobil, motor, becak dan kendaraan lainnya yang saling beradu bunyi klakson karena merasa kendaraannya tak bisa bergerak cepat alias macet. Ya, itu memang sudah menjadi pemandangan sore hari yang biasa. Di saat hampir semua orang-orang sudah selesai bekerja. Bertarung melawan hidup dari pagi sampai sore dan kini saatnya kembali ke rumahnya masing-masing, bertemu dengan sanak keluarga. Melepas lelah, berwarna canda dan tawa. Namun kelepasan hati itu tidak dirasakan oleh Raihan.

Seharian ini pikiran dan hatinya naik turun, entah suasana hati seperti apa yang dominan, yang pasti kini ia kembali ke rumahnya belum mendapatkan sejumlah uang yang diinginkan adiknya, untuk keperluan bayar SPP sekolah. Tetapi dalam otaknya kini tengah menyusun rencana untuk besok pas istirahat sekolah ia akan ke sekolahan Fatimah, meminta kebijaksanaan kelonggaran pembayaran SPP. Mungkin jalan ini adalah jalan yang harus dilakukannya. Paling tidak ia bisa melihat adiknya senang dan bisa ikut UTS. 

 Ketika sampai dirumahnya, Raihan tak menemui sosok Fatimah. Hanya ada ibunya saja sedang terlihat mencuci piring di dapur.

“Bu, ibukan lagi sakit. Kenapa malah nyuci piring? Sini sama Raihan aja dilanjutinnya,” tawar Raihan karena mengerti keadaan ibunya.

“Gak papa kok Han, orang ibu sehat sehat-sehat aja!”

“Uhuk! Uhuk!!” Bu Nani seraya menutupi mulutnya yang terbatuk.

“Tuh! Tuh! Kan, ibu itu lagi sakit. Sini Bu! Raihan pegangin ke kamar.”

Dengan penuh kasih sayang, Raihan menuntun ibunya menuju kamar dan membaringkannya di tempat tidur. Tempat tidur yang memang sebenarnya sudah tidak layak lagi karena kasurnya pun sudah bodol, kapuk-kapuknya sudah menipis, bahkan ada yang terlihat menyembul keluar dari kain kasur. Meskipun kasur itu sudah dijahit beberapa kali, tetap saja rusak lagi. Mau bagaimana lagi. Bagi Bu Nani, untuk makan dan memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya jauh lebih utama dari pada harus membeli kasur baru.

“Eh, Masku yang guanteng udah pulang!” sambil memuji kakanya. Fatimah pun mencium tangan Raihan.

“Iya donk ganteng! Kan adiknya juga cuaantiikk! hehehe..dari mana kamu, Dek?”

“Ih Mas nyebelin,, ini Mas tadi abis dari warung beli gula sama kopi kesenengannya, Mas”

“Wuih,,Alhamdulillah rezekinya, Mas! Oh ya Mas mau ngobrol sama kamu, Dek.”

“Imah juga ada yang ingin diobrolkan sama Mas. Ya udah, imah ke dapur dulu ya Mas sekalian mau buatin kopinya. Mas tunggu di teras aja.”

“Ok deh!” Raihan meng-iyakan sambil mencubit pipi Fatimah.

“Ih, Mas ganjen!!”

Lihat selengkapnya