Setelah waktu lalu Allah mempertemukannya dengan Pak Muzib di jalan, akhirnya Raihan pun menerima tawaran itu. Ibunya pun memberikan ijin. Dengan berbekal doa, hari ini Raihan pamit mencari alamat Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid yang tertulis di sepotong kertas. Tidak begitu sulit mencari alamat tersebut, karena Pondok yang dicarinya adalah salah satu pondok yang cukup terkenal di Cirebon. Dengan naik angkot dan disambung ojek akhirnya Raihan sampai di tempat tujuan.
Alhamdulillah, sampai juga, katanya dalam hati saat melihat gerbang gapura pondok yang tinggi, bertuliskan “Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid.”
“Assalamu’alaikum, Pak kenalkan saya Raihan. Maaf, Pak Muzibnya ada?” tanya Raihan kepada seseorang bersarung di hadapannya.
“Wa’alaikumsalam, oh ustadz Muzib Al Habsyi. Ada Mas! Mari saya antar bertemu beliau.”
Diikutinyalah lelaki itu. Sesekali disambung obrolan kecil. Raihan melihat keadaan dan suasana pesantren. Banyak para santri yang berlalu lalang. Ada yang terlihat mulutnya komat-kamit menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, Ada yang mengaji kitab sambil berjalan, ada yang berkumpul di depan kelas, entah ngobrol tentang uang kiriman orang tua yang tak kunjung datang, ngobrol agama atau politik di negeri ini, bahkan ada juga yang mengangkut tiga ember air dengan memasang kayu panjang di tengah pegangan embernya, pada kedua ujung kayu ada dua santri yang mengangkutnya. Mungkin santri itu dapet jatah piket.
Setelah melewati halaman di depan kelas-kelas yang terlihat banyak para santri, kini Raihan memasuki sebuah ruangan yang ternyata tembus ke halaman samping namun agak belakang. Suasana di sini terlihat lebih asri dan unsur alamnya terasa. Memang di sini dijumpai lebih banyak pepohonan dibandingkan dengan halaman depan kelas para santri tadi. Kemudian langkah mereka berhenti di salah satu daun pintu kayu berwarna coklat.
Tok,tok,tok!! “Assalamuallaikum,” salam lelaki itu kepada seseorang yang ada di dalam ruangan. Entah siapa yang disalaminya. Raihan hanya manut. Berdiam diri di belakang tubuh lelaki itu. Tak lama terdengar suara dari dalam.
“Wa’alaikumsalam Warohmatullahi Wabarokatuh.”
Ketika pintu dibuka ternyata sosok yang dilihatnya sudah tidak asing lagi. Ya, sosok itu adalah Pak Muzib. Dengan sigap lelaki yang mengantarkan Raihan itu langsung meraih dan mencium tangan Pak Muzib. Tanpa instruksi Raihan pun melakukan hal yang sama.
“Eh, ini Nak Raihan kan?”
“Alhamdulillah ustadz masih ingat, iya Stad saya Raihan.”
“Mbok to panggil saja bapak.”
“Wah, saya ngga enak manggilnya. Lagipula semua orang di pondok ini manggilnya ustadz. Masa saya beda sendiri, Stad?” imbuh Raihan. Sedikit canggung menunduk.
“Yo wis, sak penake bae. Mari masuk, Nak!” ujar Pak Muzib dengan tersenyum.
Saat masuk ruangan. Tidak begitu luas memang. sederhana. Di samping kursi ada sebuah bufet atau almari kaca yang berisi banyak sekali deretan kitab-kitab. Seakan ruangan ini adalah surga ilmu. Tepat, di depannya ada sebuah meja dan kursi kerja yang hanya untuk satu orang. Mungkin ini semacam ruangan pribadi. Kalo iya, berarti Ustadz Muzib bukan orang sembarangan di sini, gumamnya dalam hati.
“Gimana kabarmu dan ibumu, Nak?”