Sudah hampir tiga bulan Raihan ikut bantu-bantu di pesantren. Ia semakin kerasan, betah. Orang-orang di sini sangat ramah dan baik, bahkan rasa kekeluargaannya begitu sangat kental. Bukan hanya dari pengurusnya saja, santri-santrinya pun begitu. Beberapa santri memang ada yang amat dekat dengan Raihan. Saat Raihan istirahat dari pekerjaannya, teman mengobrol menjadi obat yang manjur. Stres dan capek pun hilang. Apalagi jika ada suguhan kopi atau kue-kue kecil. Raihan tidak dianggap sebagai budak atau kacung di pesantren, malah beberapa santri merasa nyaman jika curhat dengannya. Raihan pun merasa senang jika ada santri yang mau berbagi ilmu dan pengalaman bersamanya. Misalnya Wahid, Syamil, Afnan, dan Shaka. Mereka berempat adalah santri yang lebih sering ngobrol dan berbagi cerita dengan Raihan.
Membersihkan ruangan-ruangan, mengecek penampungan air, menyapu, membuang sampah ke Tempat Pembuangan Sampah, menyiram tanaman-tanaman, mengurus kebun singkong dan pisang dan pekerjaan apapun yang disuruh oleh para ustadz juga Abah Kyayi dilakukannya dengan senang hati.
Apabila malam telah tiba, tidak serta merta dirinya bisa santai dengan leluasa. Karena saat tengah malam ia juga membantu mengecek keamanan lingkungan pesantren. Mengontrol dan memastikan keadaan aman. Memang hiburan elektronik satu-satunya yang menemani Raihan cuma radio kecil milik pesantren. Itupun hanya boleh dihidupkan apabila malam saja dengan volume yang tidak terlalu keras.
Wahid, Syamil, Afnan, dan Shaka kecipratan hiburan juga dengan adanya radio itu. Sudah menjadi aturan di pondok ini, tidak boleh ada hiburan nonton TV, mendengarkan radio, apalagi HP. Wahid lebih suka mendengarkan ceramah-ceramah KH.Zainudin MZ atau Aa Gym, Syamil dan Afnan lebih suka mendengarkan berita-berita terupdate, sedangkan Shaka lebih suka mendengarkan musik. Tak, aneh jika mereka berlima ngobrol, suka berebut gonta-ganti saluran radio. Raihan pun yang melihatnya hanya bisa mengalah saja. Ia paham betul, jika para santri di sini butuh sedikit hiburan dari rutinitas dan kegiatan wajib mereka untuk menghafal kitab-kitab, menghafal Al-Qur’an dan hadits. Namun apabila mereka melihat ustadz atau Abah Kyayi lewat, Raihan langsung cepat-cepat dan mematikan kemudian menyembunyikan radionya di balik sarung.
***
Malam yang dingin. Teras depan kamar Raihan…
“Han, ana pusing nih?” curhat Wahid pada Raihan.
“Pusing kenapa, Hid? Belum dapet kiriman dari orang tua?”
“Bukan itu.”
“Lalu, kenapa? Atau Ustadz Ghofar suruh ngulang hafalan Qur’anmu? Ah, tapi masa? Hafalan kamu kan paling bagus dibandingkan yang lain.”
“Ini loh, ada tugas bahasa Inggris dari Ustadz Mizan. Aku kan kalo bahasa Inggris kurang begitu paham. Di kelas tiap santri disuruh buat essay dengan judul yang berbeda-beda. Nah, aku kebagian judul ‘Hubungan Islam dan Politik di Indonesia.’ Mana besok pagi harus dikumpulkan lagi.”
“Syamil, Afnan, dan Shaka gimana?”
“Ya mereka udah beres, kan beda judul. Mereka juga gak terlalu paham. Mereka bilang ngasal dulu juga nggak apa-apa, yang penting beres tugasnya! Toh namanya juga belajar.”
“Apa yang dibilang mereka itu betul, Hid. Yang namanya tugas itu sebagai bahan latihan. Kerjakan sendiri dulu semaksimal mungkin. Urusan benar atau salah itu belakangan. Seiring berjalannya waktu kita akan lebih paham dan mengerti.”
Duh, gimana ya? Soalnya sudah tiga kali nilai tugas bahasa Inggrisku jeblok. Apalagi ulangan kemarin. Nilai Inggrisku paling jeblok sekelas. Kamu kan bahasa Inggrisnya jago. Tolong bantu akulah,” keluh Wahid.
Raihan pun merasa tak tega melihat Wahid yang wajahnya nampak bingung dan murung..
“Ya sudah, aku coba bantu. Sekarang kamu bikin dulu essaynya dalam bahasa Indonesia, nanti kita sama-sama translate ke dalam bahasa Inggris,” ujar Raihan, sambil menepuk pundak Wahid.
Wajah Wahid berubah tenang. Setelah dirinya mengambil buku dan alat tulisnya. Akhirnya ia langsung membuat essay dalam bentuk bahasa Indonesia. Namun baru satu setengah paragraph saja, tiba-tiba Wahid sudah tertidur pulas.
Mungkin dia terlalu capek oleh kegiatan dan kecemasan pikirannya hari ini. Kasihan sekali, hati Raihan menerka-nerka. Wajah Wahid diamatinya dengan rasa iba.
Diambilah buku Wahid yang tertutup oleh sebelah tangannya. Mau tak mau Raihan kini harus mengerjakan tugas Wahid. Meskipun niat awalnya hanya membantu mentransletkan bersama-sama. Begitulah Raihan, dalam menjalani hidup. Ia selalu tak tega jika melihat orang lain sengsara tetapi dirinya bisa cukup tega terhadap dirinya sendiri, bahkan cenderung menutup-nutupi duka dan perih kehidupan yang dilaluinya. Dirinya tidak mau kalau ada orang lain yang mengasihaninya. Apapun, selama ia masih bisa mengusahakan dengan tangannya sendiri. Maka akan ia lakukan, terlebih lagi untuk orang-orang yang dia sayangi. Begitulah prinsipnya.
+++===++++++===+++===+++===+++===+++===+++===+++
Yang namanya tugas itu sebagai bahan latihan. Kerjakan sendiri dulu semaksimal mungkin. Urusan benar atau salah itu belakangan. Seiring berjalannya waktu kita akan lebih paham dan mengerti.
+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++
Pagi tiba, kelas pun dimulai. Ustadz Mizan, mengabsen murid-muridnya berdasarkan abjad. Namun pengabsenan hari ini tidaklah seperti mengabsen biasanya.
“Yang namanya bapak sebut, silahkan ke depan. Bacakan dan jelaskan gagasan kalian terkait isi dari essay yang kalian buat!”
Satu persatu para santri ke depan kelas untuk membacakan dan menjelaskan tugasnya masing-masing. Parahnya, Ustadz Mizan menyebutkan absennya dari urut belakang. Dia bilang supaya adil dan tidak selalu huruf absen berabjad A itu di awal. Ustadz berdalih, ini adalah analogi alur hidup tak bisa diprediksi secara runut dan pasti. Siap tidak siap, semua makhluk harus siap menghadapi segala ujian dan rintangan. Barang siapa yang berhasil melaluinya dengan baik, tentu Allah akan menaikan derajatnya, bahkan Allah akan memberikan hadiah berupa nikmat dan rizki dari arah yang tak terduga-duga. Maka dari itu kita harus pandai-pandai untuk menyiapkan diri dalam mengarungi hidup ini. Siapkanlah dengan ilmu dan iman. Ilmu dan iman akan menyelamatkan kita di dunia dan akhirat.
Wajah Wahid mendadak berubah pucat pasi. Namanya tercantum di urutan ketiga dalam absen setelah Zulfadli dan Yana. Tangan kanannya memutar-mutar balpen mencoba menenangkan diri. Matanya terus dipantengkan ke arah bukunya. Mencoba membaca lirih dan memahami apa maksud dari tulisan-tulisan yang dibacanya.
“Wahid!” Ustadz Mizan menyebut namanya.
Jantung Wahid terasa semakin kencang degupnya. Kemudian ia berdiri dan mengatur napas. Hufftt..! ”Bismillah,” lirihnya mencoba meyakinkan bahwa ia bisa.
“Wahid, What is the title of your essay?” tanya Ustadz Mizan.
“The relationship of islam and politics in Indonesian, Stad,” jawabnya mantap.
“Oke, Hubungan islam dan politik di Indonesia. Silahkan!”
Wahid mulai membaca apa yang tertulis di bukunya. Matanya menyoroti dari kiri ke kanan buku. Meskipun kata-kata yang dilafalkannya masih blepotan, tapi iya terus saja membaca kata demi kata. Terlalu banyak pelafalan yang salah sampai pada akhirnya Ustadz Mizan membantu untuk melafalkannya. Seketika itu jantung Wahid semakin berdegup kencang, keringatnya mulai membasahi keningnya. Terlebih saat ia usai membacakan essay-nya tiba-tiba ia terhenti. Ia tidak bisa menjelaskan maksud dari apa yang sudah dibacakannya barusan. Para santri yang ada dihadapannya pun terdiam, mengarah ke sosok Wahid yang mungkin bisa dikatakan mematung kebingungan.
“Ok, please explain the purpose you essay!” perintah Ustadz Mizan. Meminta Wahid menjelaskan maksud dari essaynya. Mendadak konsentrasi dan kepercayaan diri Wahid semakin memudar.
“Wahid, ayo!” kembali Ustadz Mizan memerintahkan, “Wahid! Kamu sebenarnya mengerti tidak isi dari essay yang kamu buat?” Ustadz Mizan, bertanya lagi.