Kini Raihan lebih bersemangat dalam menjalani hidup. Perannya sebagai santri sekaligus bantu-bantu di pondok menjadi keuntungan baginya. Ia bisa mendapatkan ilmu sebagai santri dan uang dari upah hasil bantu-bantunya. Ia bisa membuktikan kepada orang-orang yang mempercayainya bahwa ia bisa menjadi santri berprestasi. Di kelas ia menjadi santri yang paling aktif, usai nyantri ia kembali melaksanakan tugasnya seperti biasa membersihkan ruangan-ruangan, mengecek penampungan air, menyapu, membuang sampah ke TPS, menyiram tanaman-tanaman, mengurus kebun singkong dan pisang. Yang berbeda, tugas-tugasnya tersebut dilakukan sambil membaca kitab-kitab dan mengulang-ngulang beberapa hafalan seperti santri-santri lainnya. Ia tak merasa terbebani, karena ia sadar bahwa ini semua adalah karunia Allah sebagai wujud cinta-Nya kepada hamba-hambanya yang sabar dalam berusaha dan berdoa. Karena itulah beberapa santri mungkin menyebut Raihan ‘Abdi Dalem,’ seseorang yang nyantri sekaligus mendapat kepercayaan dari pengurus pondok untuk bantu-bantu mengurusi berbagai hal di pondok. Bahkan, dalam beberapa kegiatan pondok seperti Tabliq Akbar, Muludan, Rajaban, Bakti Sosial dan acara santunan di luar pondok pun Raihan selalu dilibatkan menduduki peran-peran penting. Tak aneh, jika ia disenangi oleh para ustadz dan teman-teman santri lainnya.
Kesibukannya bertambah. Sebelumnya, selama seminggu sekali ia bisa pulang ke rumah selama tiga hari, tetapi sekarang kadang-kadang Raihan hanya bisa menyempatkan dua atau sehari saja di rumah. Bahkan pada saat itu Raihan pernah dalam seminggu tidak pulang karena memang ia dipercaya sebagai Ketua Pelaksana dalam kegiatan Baksos. Ibu dan adiknya bisa mengerti dan memahami keadaan yang ada pada Raihan.
Pak Yunus pun paham dengan keadaan Raihan karena bagi Pak Yunus, Raihan bukan hanya seorang karyawan yang bekerja kepadanya. Lebih dari itu, ia sudah menganggap Raihan seperti keluarganya sendiri. Mengingat almarhum bapaknya dulu adalah teman baik yang sudah banyak juga membantunya. Pernah pada suatu hari Raihan memesan banyak sekali udang-udang dari Pak Yunus untuk keperluan acara di Pondok Pesantren Dar Al- Tauhid. Tentunya ini menjadi keuntungan tersendiri bagi Pak Yunus. Bisa mendapatkan pembeli sekaligus pelanggan tanpa dirinya repot-repot mencari.
Keberkahan kini tengah datang menghampirinya. Seandainya jika waktu itu Raihan memilih menerima tawaran Gian untuk bekerja sebagai sales yang mengharuskannya bekerja full time dan meninggalkan pekerjaannya di pondok dan juga Pak Yunus. Tentu ia takan bisa mendapatkan kesempatan menjadi santri seperti sekarang.
Dengan menjaga kepercayaan maka seseorang bisa mendekati sebuah pintu kesempatan, dan menentukan keputusan adalah kunci agar kita bisa membuka pintu kesempatan tersebut. Keputusan yang baik harus diambil dari hati, bukan dari kelabilan emosi sesaat saja. Karena hanya lewat hatilah Allah akan membisikan jawaban atas segala perkara yang menyertai hamba-hamba-Nya. Allah takan pernah tinggal diam, apalagi meninggalkan hamba-Nya.
+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++
Dengan menjaga kepercayaan maka seseorang bisa mendekati sebuah pintu kesempatan, dan menentukan keputusan adalah kunci agar kita bisa membuka pintu kesempatan tersebut.
+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++
***
“Bangun! Bangun! Bangun!!” Sabetan sarung Ustadz Nu’man mengenai badan dan kaki para santri yang tengah tertidur lelap.
“Iya, Stad.” Seorang santri menjawab dengan pelan karena masih mengantuk. Sejurus bangun dari tidurnya.
Santri yang lainnya pun terbangun dan bergegas untuk siap-siap melaksanakan shalat tahajjud. Ini adalah agenda rutin yang harus dilaksanakan oleh semua santri. Meskipun ini adalah ibadah sunah, tetapi aturan pondok mengharuskan para santrinya untuk shalat tahajjud. Ini semua adalah cara untuk melatih para santri agar tidak berat dan tidak menyepelekan ibadah-ibadah sunah. Biasanya setelah shalat tahajjud, para santri melanjutkannya dengan zikir atau membaca Qur’an atau ada juga yang mengasah hafalannya dengan bermuroja’ah sambil menunggu adzan subuh.
Santri yang bangun terakhir harus ikhlas jika sendalnya raib. Dipinjam tanpa ijin, kadang dikembalikan bukan di tempat asalnya. Para santri menyebutnya gosab. Kebiasaan buruk santri menggunakan sendal siapa saja yang tergeletak di depan kamar sudah tidak aneh lagi. Jika begini, santri terakhir harus nyeker menuju masjid. Kali ini Ogi yang kebagian apes, “Huh, awas kalian! Balik dari masjid nanti, ana gosab tuh sendal yang paling bagus!”
Ramai-ramai para santri mendatangi masjid. Macam-macam ekspresi wajah menghiasi langkah mereka. Ada yang wajahnya masih terlihat ngantuk, tapi banyak juga yang terlihat segar.
“Duh, lagi enak-enak mimpiin Zaskia Adya Mecca malah kacau deh ah!” gerutu seorang santri sambil berjalan ke tempat wudhu.