Isyarat Sabda Cinta

Hanang Ujiantoro Putro
Chapter #22

Penyakit Futur

Seharian ini Raihan belum juga keluar kamar. Entah apa yang dilakukannya. Pintu kamar terkunci. Ibu dan kedua adiknya merasa sangat kuatir. Namun mereka tak bisa berbuat apa-apa. Sudah berapa kali ibu dan kedua adiknya mengetuk pintu. Menanyakan keadaan dan menyuruhnya makan. Raihan hanya menjawab dengan satu kalimat yang diulang-ulang saat ditanya dengan pertanyaan yang sama.

“Biarin Raihan sendiri dulu! Raihan belum laper!”

Tadi pagi, sebelum Raihan mengunci diri di dalam kamar. Ia sempat pamit ke ibunya untuk keluar rumah. Dengan wajah yang bahagia dan sarapan pagi yang buru-buru dihabiskan, ia membuat ibu dan kedua adiknya juga bahagia. Bukan karena tanpa alasan apa-apa. Ya, hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh Raihan karena hasil SNMPTN sudah dicetak, diterbitan oleh koran pagi. Seperti biasa Raihan mendatangi Mang Karta, tukang koran yang lapaknya ada di pinggir jalan, depan toko klontong Ko Ahong. Namun wajah murung kini ditampakannya saat ia pulang ke rumah. Namanya kembali, tidak tercantum di deretan nama-nama orang yang lolos. Sesampainya di rumah, ia langsung ditanya oleh Zidan.

“Gimana Mas hasilnya?”

“Belum rezekinya, Zi. Mas belum lolos.”

“Sabar, Mas. Insya Allah Dia akan berikan yang terbaik buat, Mas!” imbuh Zidan menenangkan kakaknya.

Aamiin ya Rabb, ibu belum pulang?”

“Belum, Mas. Ibu masih jualan.”

Tanpa bertanya dan berkomentar lagi, Raihan langsung ke dapur, meminum segelas air putih. Kemudian langsung masuk kamar dan menguncinya.

Jiwanya merasa sangat terguncang. Batinnya merasa amat sakit, melebihi tusukan pisau yang diarahkan ke jantungnya. Kesakitan batinnya menjalar, membuatnya harus kehilangan separuh semangat dan motivasinya. Dirinya diserang penyakit futur. Dalam bahasa Arab futur berasal dari kata fatara-Yafturu-Futurun yang artinya menjadi lemah. Ar-Raghib dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an disebutkan: Al-Futur adalah putus setelah sambung, lembut setelah keras, dan lemah setelah kuat. Maka futur bisa diartikan suatu penyakit yang menyerang sebagian para ahli ibadah, para pendakwah, dan para penuntut ilmu sehingga seseorang menjadi lemah, lamban, dan malas. Bahkan bisa terhenti atau putus asa setelah sebelumnya bersungguh-sungguh, semangat, rajin, dan giat beraktivitas.

Rasa was-was, perasaan bersalah yang amat dalam akan selalu menghampiri orang-orang yang diserang oleh penyakit psikis ini. Jika dibiarkan maka psikis dan mentalnya akan tertekan dan bisa mempengaruhi kesehatan jasmaniahnya. Futur biasanya disebabkan karena seseorang terlalu menggantungkan harapan yang begitu besar pada suatu hal, dan kurangnya keikhlasan pada kehendak Tuhan.

Penyakit futur-nya datang lagi. Ia seperti dejavu, kembali pada dua tahun yang lalu. Tahun di mana dirinya merasakan kesakitan batin yang sama. Tahun di mana dirinya melakukan hal yang sama yaitu memilih untuk sementara menyendiri di dalam kamar. Menenangkan pikiran dan meredam kesedihannya. Begitulah Raihan, jika ia tertimpa masalah atau musibah yang sangat berat. Ia lebih memilih menyendiri terlebih dahulu. Berbicara pada hati dan Tuhannya, berbicara secara privasi tanpa ada seorang pun yang mengganggu. Layaknya jiwa sufi yang menjemput rahmat Tuhan di dalam kesunyian dan kesendirian. Jika sudah dianggapnya sedikit reda, biasanya ia suka berlama-lama itikaf di masjid, kemudian beranjak mendatangi suatu tempat di alam terbuka yang indah, lagi sepi. Baru setelahnya, ia mau membuka diri kepada orang-orang di sekitarnya.

+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++

Layaknya jiwa sufi yang menjemput rahmat Tuhan di dalam kesunyian dan kesendirian.

+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++

***

Ibunya merasa sangat kuatir dengan keadaan anaknya. Ia merasa tak tega. Terlebih lagi, selama ini Raihan sudah terlalu banyak mengalah dan berjuang untuk keluarga. Di antara anak-anaknya yang lain, sedari kecil Raihan memang jarang sekali meminta sesuatu kepada orang tuanya. Jika dikasih dia terima, tapi jika tidak ya tidak apa-apa. Ia jarang sekali rewel, apalagi protes.

Pagi itu Bu Nani main ke rumah tetangganya, yaitu Bu Saroh. Mereka berdua mengobrolkan tentang Raihan. Bu Saroh adalah tetangga yang baik. Apabila Bu Nani butuh teman ngobrol, biasanya ia mendatangi Bu Saroh, begitupun sebaliknya. Hubungan tetangga ini layaknya keluarga yang bisa saling melengkapi dan memahami. Mungkin karena umur mereka sama, atau peran mereka yang sama sebagai seorang ibu. Entahlah yang pasti hanya mereka dan Tuhan yang tahu.

Bu Saroh pun merasa kasihan pada Raihan usai diceritakan perihal tentangnya oleh Bu Nani. Kebetulan Bu Saroh baru ingat, bahwa Gilang, anaknya Pak Anton yang kuliah kedokteran di Universitas Malahayati Lampung, beberapa hari yang lalu baru pulang untuk liburan semester di rumah. Orang-orang di kampung sini, terutama ibu-ibu sudah pada tahu. Secara setiap pagi Gilang  rajin lari pagi dan menyapa ibu-ibu yang berbelanja sayur. Sikap Gilang memang berbeda sekali dengan ayahnya. Pak Anton jarang sekali menyapa atau menegur para tetangga, kecuali jika orang yang dijumpainya itu ‘susah’, baru ia bersikap ramah. Namun, ramahnya tidak tulus. Di balik itu semua ia menawarkan jasa pinjaman uang dengan bunga yang cukup besar. Ya, katakanlah rentenir, si lintah darat yang haus darah alias harta.

 Pak Anton itu adalah seorang duda. Tiga tahun yang lalu istrinya meninggal karena sakit kanker. Tapi usut punya usut, entah kabar darimana yang jelas kampung ini pernah geger sebelum istrinya meninggal, Pak Anton sudah punya istri simpanan di desa sebelah. Sebagai anak, tentu Gilang merasa terganggu dan malu atas gosip tersebut. Gilang pun tidak mau kalau posisi ibunya digantikan oleh ibu tiri. Jadi Pak Anton sampai sekarang statusnya tidak jelas. Meskipun terkadang sempat beberapa kali ada warga yang melihat mobil Pak Anton terpakir di depan rumah seorang janda muda di desa sebelah.

Mungkin Gilang, menurunkan sifat dari almarhum ibunya yaitu Bu Lilis. Ibunya terkenal baik di desa ini. Bahkan dulu saat masih hidup, ia suka menolong dengan memberikan uang kepada warga yang sakit tanpa sepengetahuan suaminya. Kasihan betul almarhum.

“Begini saja, Bu! Besok pagi kalau aku bertemu dengan Gilang. Insya Allah aku akan tanyakan mengenai kuliah kedokterannya. Siapa tahu ada informasi untuk Raihan!” ujar Bu Saroh.

Bu Nani hanya mengangguk dan meng-iyakan saran dari Bu Saroh.

***

Dua hari kemudian….

Lihat selengkapnya