Isyarat Sabda Cinta

Hanang Ujiantoro Putro
Chapter #23

Bumi Dipijak Langit Dijunjung

Yang namanya keinginan itu tidak memiliki batas toleransi, setiap manusia bebas memiliki keinginan apa saja. Selebihnya, baru sedikit manusia yang sadar bahwa tidak semua keinginan itu harus dipenuhi oleh Tuhan, karena Tuhan hanya memenuhi segala kebutuhan kita, bukan keinginan kita. Ada Yang Maha Tahu dari sekedar kita ‘manusia’ makhluk yang sok tahu. Ada sebuah kebenaran hakiki daripada sekedar pembenaran alibi. Pembenaran yang dianggapnya paling benar dengan sejuta alasan-alasan. Itu wajar, karena kita hanya manusia biasa. Allah SWT berfiman dalam surat Al-Baqoroh, ayat 216:

”…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Manusia yang sadar pasti akan senantiasa selalu memantaskan dan memasrahkan segala ketentuan yang diberikan Tuhan, tentu setelah proses ikhtiar dilakukan. Itulah yang namanya perjuangan.

 Raihan tidak mengijinkan dirinya terlalu lama dalam keadaan tidak bahagia. Bahagia itu dibuat, bukan dicari. Setelah kedatangan Ustadz Muzib dan sahabat-sahabat dari pondok, kini diri Raihan seperti berenergi. Hatinya diberi pencerahan yang bisa mengalirkan terang ke matanya, sehingga ia bisa melihat ada peluang lain yang akan diambilnya. Abah Kyayi pernah berkata, “Berpositiflah, maka matamu akan bisa melihat semua nikmat-Nya.” Ya, sebuah keinginan baru yang harus diwujudkannya yaitu bisa berkuliah di Universitas Pasundan, mengambil Program Studi Pendidikan Biologi. Tawaran bantuan yang diberikan oleh pondok semakin membuat dirinya percaya, bahwa inilah jalan Tuhan yang diberikan kepadanya.

+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++

Ada Yang Maha Tahu dari sekedar kita ‘manusia’ makhluk yang sok tahu.

+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++

“Bismillahirahmanirrohim!

Segala kebutuhan dan perlengkapan disiapkannya. Ibunya yang melihat Raihan bekemas-kemas hanya bisa tersenyum sekaligus merasa sedih karena beberapa tahun ke depan anak pertamanya ini akan hidup di kota orang lain sebagai mahasiswa. Jarak antara kota Bandung dan Cirebon memang tidak terlalu jauh, namun ibu manakah yang tidak merasa haru saat matanya tak bisa menembus jarak pandangnya. Pandangan penuh cinta, tatapan seorang ibu harus terpisah sementara waktu dari sosok anak yang pernah diasuhnya bersama almarhum suaminya tercinta.

“Mas, ini kardusnya udah ditaliin. Mau taruh di mana?” tanya Zidan.

“Tolong taruh di deket lemari aja!” timpal Raihan.

Dua buah kardus bekas mie instan itu berisikan barang-barang yang di butuhkan Raihan untuk pergi ke Bandung besok pagi. Tidak banyak yang dibawa, hanya pakaian, buku-buku, beras, dan segala perlengkapan kecil lainnya.

Matahari pagi esok akan menjadi saksi hijrah, sekaligus lembar baru Raihan yang akan kembali berjuang mengejar impian barunya. Kota Bandung, Kampus UNPAS, dan Program Studi yang sebelumnya tidak terbesit di dalam benaknya, akan menjadi ‘medan jihadnya’ ke depan. Jalan dari Allah termasuk juga rezeki. Tak diprediksi, tiba-tiba jalan itu terbentang terang di hadapan seorang hamba yang istiqomah berikhtiar tanpa melepaskan tali kasih Allah.

+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++

Berpositiflah, maka matamu akan bisa melihat semua nikmat-Nya.

+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++

Beberapa mahasiswa dan mahasiswi nampak seliweran di selasar gedung Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Obrolan-obrolan dengan bahasa Sunda lebih dominan mengusik telinga seorang lelaki asal Cirebon. Baginya, ini merupakan pelajaran dasar agar bisa berkomunikasi dan bersosialisasi bersama kawan-kawan barunya. Baru sedikit kosa kata yang ia mengerti, agar tak terkesan ngasal dirinya lebih nyaman berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.

Mading terpajang begitu menarik. Hiasan dan ornament-ornamennya begitu kreatif. Origami, pita, gambar kartun karikatur, dan guntingan kertas warna-warni memperindah bingkai dan backroundnya. Di setiap pojok mading nampak jelas ada gambar berbentuk hexagonal warna biru tua, di tengah hexagonal itu terdapat gambar lebah ‘Apis Indica’. Jelas, itu adalah lambang HIMABIO (Himpunan Mahasiswa Biologi). Mading kreasi para aktivis Himabio ini membuat mahasiswa yang melintas di selasar ini merasa ingin melirik, bahkan menahan langkah kaki untuk sekedar membaca isi dan berita terupdate.

“Han, ayo katanya mau ikut belajar bahasa Sunda!? Kang Nendra sama yang laen udah nunggu di plaza,” ajak Zaki.

“Iya, duluan aja deh, nanti ana nyusul. Nanggung nih lagi baca poster!” ujar Raihan. Wah, bagus juga nih acara seminar tentang Lingkungan Hidup, speakernya Ridwan Kamil. Arsitek dan penggiat lingkungan hidup calibre internasional. Hmm..boleh juga. Lumayan ngisi waktu luang plus dapet ilmu gratis,”imbuhnya dalam hati.

Semester awal bisa dikatakan adalah masa dimana setiap mahasiswa harus bisa beradaptasi. Beradaptasi dengan kawan-kawan baru, dosen, lingkungan kampus, lingkungan kota, lingkungan kos-kosan, dan sebagainya. Tak lupa adaptasi juga dengan seabrek tugas-tugas kampus yang diberikan dosen. Mungkin bagi beberapa orang adaptasi kemandirian hidup adalah yang paling berat. Namun bagi Raihan sudah menjadi hal yang biasa.

Di masa-masa Ospek kemarin Raihan sempat dinobatkan sebagai peserta dan leadership terbaik, baik di Ospek tingkat Fakultas maupun Program Studi. Dirinya adalah pemberontak ulung yang selalu membantah perintah konyol para Panitia Ospek. Argumentasi dan debat yang tajam menjadi tameng untuk membela diri beserta kawan-kawan seangkatannya. Bahkan retorika yang meyakinkan bisa mempengaruhi dan menularkan energi semangat, terlebih dibarengi kepalan tangan yang diangkat ke atas sambil berteriak ‘HIDUP MAHASISWA!!!’ Itulah singa yang ada dalam diri Raihan. Singa yang sudah terlatih sejak dirinya aktif di Organisasi–organisasi ekstrakulikuler sekolah dulu. Singa yang bersurvivel di tengah belantara kehidupan yang kejam. Singa yang bernaung di dalam dirinya seakan lapar dan siap menerkam siapa saja yang berani mengusiknya.

+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++

Jalan dari Allah termasuk juga rezeki.

+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++

***

           

Musik instrumental yang nyaman di telinga. Raihan tahu alunan indah nan klasik yang sedang diputar ini berjudul Ballade Pour Adeline, dimainkan oleh Richard Clayderman yaitu pianis asal Perancis, sebetulnya lagu ini adalah gubahan dari musisi sekaligus produser Delphine Production yang sama-sama berkebangsaan Perancis yaitu Paul de Senneville dan Olivier Toussaint pada tahun 1976. Darah musik Clayderman turun dari ayahnya yang seorang guru piano, namun Chopin, Bach, Schumann dan Beethoven juga merupakan penginspirasi karya-karyanya hingga ia menjadi seorang musisi profesional di kancah internasional.

Nada-nada alpha mengalirkan ketenangan seperti aroma terapi, harumnya menyegarkan seisi ruangan. Ruangan luas bernuansa modern itu disekati oleh rak-rak buku. Buku-buku berjejer rapih di rak sesuai dengan isi tema buku. Di lantai dua ini lebih banyak dijumpai koleksi buku yang bertemakan agama dan sastra. Ini adalah salah satu tempat favorit Raihan. Apabila dirinya merasa jenuh atau butuh hiburan, ia akan menghabiskan waktu membaca buku di Toko Buku Gramedia. Biasanya ia lebih suka bersendiri ke tempat ini. Ia tak mau menyiksa kawannya menunggu berlama-lama di toko buku. Sebab apabila Raihan sudah berada di sini ia akan lama keluar dari toko, bahkan saat membaca buku dirinya berubah jadi ‘autis’, asik dengan dunianya sendiri. Kawannya merasa terabaikan, dan Raihan tak mau itu terjadi. Kecuali, jika kawannya memiliki hobi ’membaca’ juga. Itu lain cerita. Tentu dengan senang hati ia akan mengajaknya. Namun kali ini posisi Raihan adalah yang diajak jadi hasrat membacanya kurang terpuaskan.

“Han! Mau baca buku sampe tamat?” sindir Rafi.

“Iya nih, dari tadi autis banget!” imbuh Agri.

“Cus yuk!! Kita hijrah ke BIP!” ajakan Zaki menjadi penutup sindiran Rafi dan Agri. Kemudian empat sekawan itu menuju Bandung Indah Plaza atau orang-orang sini biasa menyebutnya BIP yang kebetulan letaknya bersebelahan dengan Gramedia dan Bandung Electronic Center. Raihan sudah kesekian kali masuk ke Toko Buku Gramedia, namun belum pernah memasuki BIP. Baru kali ini saja ia diajak kawan-kawannya dan masuk ke BIP.

   Oh, ini toh dalemnya BIP, apik tenan! Cuman harga barang-barangnya kok mahal yak? Kalo di Pasar Tegal Gubuk Cirebon mungkin gak separah ini harganya. Masa kemeja harganya nyampe dua ratus ribu?! Gilaa!! Bisa buat makan sebulan itu. Astagfirullah!! cewek-cewek Bandung pada bening-bening gini..kayak artis kabeh ngapa yak? Jadi ngilu liatnya..Ampuun deh seksi-seksi amat pakaiannya! Modis abis!! Gak takut masuk angin kali ya?! Haduuuhh!!Tobaaaat!.tobaat! Pusing nih pala..!!

Setelah berkeliling di dalam BIP, akhirnya empat sekawan itu memasuki gedung Bioskop. Baginya, menonton film di Bioskop adalah kali pertama. Kebetulan film yang sedang diputar yaitu Spiderman. Superhero science fiction yang disukai Raihan. Salah satu produksi Marvells yang bagus dan menarik. Ditunjang oleh unsur intrinsik cerita, kualitas animasi editing dan audio visual yang tidak mengecewakan. 

***

 

Jalanan Bandung dipadati kendaraan-kendaraan mewah yang melintas. Pemilik kendaraan berlomba-lomba menyumbangkan gas Karbon dioksida. Membuat udara sedikit pengap. Jalan Asia Afrika ini merupakan jalan yang sarat akan sejarahnya. Pada tahun 1955 pernah diselenggarakan Konferensi Asia Afrika yang diikuti oleh 5 negara di antaranya Myanmar, Sri Lanka, India, Pakistan dan Indonesia. Acara yang di ketuai oleh Ali Sastroamijoyo ini menghasilkan Dasasila Bandung. KAA ini jugalah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Gerakan Non Blok atau GNB tahun 1961, wujud penegasan netralisme di antara konfrontasi ideologi Barat-Timur.

Pepohonan pun jumlahnya tidak banyak. Julukan kota kembang yang seharusnya dibayangkan indah penuh tanaman berbeda dengan realita. Kesadaran masyarakat akan lingkungan masih sangat minim, terlebih di kota-kota besar. Sungai Cikapundung, konon kata warga asli sini dulu itu airnya bening, tapi sekarang coklat keruh. Sampah-sampah masih banyak yang mengapung di atas alirannya. Mata Raihan masih menatap ke bawah aliran sungai. Hatinya bersenandika, berbicara dengan hatinya sendiri di atas jembatan.

Astagfiirullah! Di mana-mana hampir sama aja. Sungai-sungai kotor. Apa jadinya ikan-ikan yang hidup di dalamnya. Kasihan, selain harus bergelut dengan arus, ia juga harus kesulitan untuk mengambil oksigen. Limbah-limbah melarut, mengancam habitat dan kelangsungan hidupnya. Huftt..ikan saja harus berjuang agar bisa bertahan hidup, hehehe..apalagi manusia?

Dibalikan tubuhnya kembali menghadap jalanan. Saat menoleh ke arah kiri, matanya menangkap sosok yang sepertinya pernah ia kenal. Dari jauh ia mencermati, mengecilkan pupil matanya dengan daya akomodasi hingga pandangannya tajam dan jelas.

Apa itu Flora ya? benaknya menerka.

Perlahan sosok itu berjalan melintas di hadapannya. Dan ternyata benar itu adalah Flora. Temannya semasa SMP dulu. Ia tambah yakin saat menegur perempuan berambut panjang itu.

“Flora!? Ini Flora alumni SMPN 1 Cirebon kan?”

Pertemuan yang tak terencana itu berlanjut menjadi obrolan. Dulu memang Raihan dan Flora sempat dekat karena sama-sama menjadi perwakilan sekolah dalam Olimpiade Biologi. Namun setelah lulus SMP, kabar tentang dirinya sudah tidak terdengar lagi. Perempuan yang sempat menjabat sebagai Wakil Ketua OSIS itu harus melanjutkan sekolahnya ke Jakarta, lantaran ayahnya pindah tempat bekerja. Ia baru tahu, ternyata dirinya kini berkuliah di Trisakti Jakarta, mengambil fakultas kedokteran. Sengaja akhir minggu ini dirinya berlibur ke Bandung sekalian mendatangi Endara, pacarnya yang kuliah di Unpad.

“Wah, klop ya sama-sama calon dokter pacarnya! Hehehe,” sanjung Raihan di tengah obrolan.     

***

 “FATIMAAAH!!!”

Teriakan Raihan menghentakan tubuhnya sendiri hingga terbangun dari mimpi buruknya. Mimpi dimana adik kecilnya terbaring di pangkuan sang ibu. Adiknya bersusah payah untuk bernapas. Asma yang diderita adiknya begitu amat mengkhwatirkan dan membuat Raihan tak tega melihatnya.

“Astagfirullah!! A’ūdzu billāhi minas-syaitānir-rajīm,... Hufft! Cuma mimpi,” lirih Raihan. Pikirannya mendadak kacau, Mungkin gara-gara lupa doa jadi mimpi buruk gini. Ya Allah, lindungi dan berikanlah kesehatan kepada keluarga hamba, “Allaahumma Innii A’uudzu Bika Min ‘Amalisy Syaithaani, Wasayyi-Aatil Ahlaam.” 

Kegalauan semakin mengganggu pikiran dan hatinya. Pertemuan dengan Flora siang tadi memunculkan hasratnya lagi yang dulu pernah ingin berkuliah di fakultas kedokteran. Hasrat bisa berkuliah di kampus negeri mengambil fakultas kedokteran kini telah berubah haluan menjadi kuliah di kampus swasta, Fakultas Keguruan, Prodi Pendidikan Biologi. Jiwanya terkoyak, kembali melabil. Alam bawah sadarnya ternyata masih belum bisa menerima sepenuhnya akan jalan yang diberi Tuhan. ‘I-K-H-L-A-S’ Enam huruf yang membentuk kata ‘ikhlas’ memang terlihat sederhana tapi tidak sesederhana dan semudah untuk menjalaninya.

Usai melaksanakan shalat tahajjud, Raihan sengaja menulis surat untuk ibunya. Di atas secarik kertas yang tersorot lampu meja ia menumpahkan kerinduan hatinya lewat tulisan.

Bandung, 28 November 2008

Lihat selengkapnya