Kabar dari rumah tentang Zidan sudah sampai diketahui Raihan. Sebagai kakak pertama tentu Raihan merasa memiliki tanggung jawab atas apa yang terjadi pada keluarganya. Akhir minggu ini, sebagai pengurus seharusnya Raihan mengikuti kegiatan Himabio. Namun ia terpaksa tidak bisa mengikuti karena harus pulang dan menyelesaikan masalah tersebut. Seluruh pengurus Himabio lainnya tidak ada yang mengetahui masalah yang menimpa keluarganya. Raihan hanya ijin ada kepentingan keluarga saja. Memang alasan itu terdengar klise, namun apa mau dikata? Ia hanya tak mau masalah keluarganya ini diketahui oleh teman-teman dan sesama aktivis.
Setelah sampai di rumah, Raihan tak menemukan Zidan. Sudah dari 2 hari kemarin Zidan pamit main namun tak kunjung pulang. Sebelum meninggalkan rumah, dirinya sempat ditanya oleh Fatimah.
“Mau kemana, Mas?”
“Main!” Zidan menjawab sekenanya, lalu pergi mengendarai motor bebek yang pernah dibeli oleh hasil jerih payahnya sendiri. Motor bodong, knalpot 2-Tak terdengar sangat bising saat ia menarik gas. Di balik kepulan asap knalpot lalu motornya hilang melaju.
Kepulangan Raihan ke rumah menjadi amfetamin bagi Fatimah. Dirinya merasa tenang jika Masnya itu ada di sampingnya. Dengan sedih bercampur kesal Fatimah menceritakan semuanya yang diketahui mengenai Zidan selama Raihan tidak ada dirumah.
Sebentar lagi sore. Zidan masih belum pulang ke rumahnya. Tanpa pikir panjang Raihan langsung pamit, keluar untuk mencari Zidan. Didatanginya rumah sahabat dan beberapa tempat tongkrongannya, namun Raihan belum berhasil menemukan Zidan. Sahabat-sahabatnya pun tidak tahu Zidan ada di mana. Zidan seperti menghilang ditelan bumi. Akhirnya Wawan, Ipul, Boim, dan Raihan mencari Zidan bersama-sama.
***
Sinar matahari pagi begitu hangat mengenai kulit. Namun, tidak untuk Zidan. Pemuda berjaket dan bercelana jeans itu masih terlelap dalam mimpi-mimpinya. Baginya suhu hangat sudah tak begitu nikmat. Kepekaannya sudah mati. Pola hidupnya sudah kacau. Malam serasa pagi, pagi serasa malam. Tubuhnya masih terbaring lemas di depan emperan sebuah toko. Ia nyaris tak dikenali layaknya orang normal. Gelandangan saja masih beralaskan kardus jika tidur di emperan toko. Zidan tidak. Warna biru jacket jeansnya terlihat luntur, kucel, dan kotor. Entah apa yang sekarang sedang diimpikannya sehingga ia begitu pulas seperti orang mati.
“Mas! Mas! Bangun, Mas!!” seorang lelaki paruh baya mencoba membangunkan pemuda tak dikenalinya yang tertidur pulas di depan tokonya.
“Mas!! Sudah Pagi!! Pindah, Mas!! Saya mau buka toko!! dengan nada agak keras dan tangannya mengoyak pundak pemuda itu.
Zidan sontak langsung membuka matanya dan clingak-clinguk sambil mengumpulkan kesadarannya. Sekuat tenaga tubuhnya mencoba dikuatkan berdiri tegak. Tangan kanannya mencoba untuk mengimbangi dengan memegang dinding tembok toko. Tangan kirinya memegangi kepalanya.
“Duuuhh,, pusing banget nih pala!!”
Ia memaksakan untuk terus berjalan, hingga kesadarannya pun kini telah berkumpul 99%, otaknya kini hampir waras kembali. Tapi perutnya yang keroncongan tak bisa diajak kompromi. Akhirnya otaknya berbisik dalam dirinya dan mendekatkan langkah kakinya pada sebuah tong sampah. Dicarinya sisa-sisa makanan yang masih bisa dimakan. Sesekali tangannya harus mau mengorek lebih dalam isi tong sampah, berharap menemukan apa yang dicarinya.
Setelah perutnya merasa sedikit terganjal. Ia pun sejenak duduk di kursi yang letaknya tak jauh dari tong sampah. Ia tersadar, baru ingat motornya yang semalam sempat ditinggal di sebuah warung remang-remang.
Akhirnya pagi itu Zidan pulang ke rumah dengan mengendaai motornya. Raihan yang hafal betul suara knalpot motor Zidan langsung keluar rumah dan menghampiri Zidan. Dengan wajah yang cemas dan hati panas Raihan langsung mengintrogasinya. Zidan hanya bisa pasrah dan diam saat Raihan memarahi dan menasihatinya.
***
Di dalam kamar kosannya, wajah Raihan nampak lesu. Setibanya dari Cirebon ia langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur. Dilepaskan sejenak kepenatan tubuh dan pikirannya. Hingga akhirnya tak sengaja ia pun tertidur.
Suara adzan terdengar hingga masuk ke kamar kosan Raihan. Saat matanya terbuka, ia langsung bangkit dari tempat tidurnya.
Alhamdulillah, sudah subuh lagi, gumamnya dalam hati.
Kemudian ia membuka pintu kamar kosan. Dan terdengar suara televisi dari arah sebelah, kamar temannya.
Tumben, Dewo masih nonton TV sampe subuh gini, lagi hatinya bergumam. Tak lama Dewo pun keluar dari kamarnya kemudian menyapa Raihan.
“Baru bangun, Han? Kayaknya pules banget.” tegur Dewo.
“Eh, iya Wo. Tau nih! Kayaknya tadi badan krasa pegel! Udah shalat subuh, Wo?”
“Hah? Subuh? Orang baru aja jam setengah delapan malem.”
“Loh, jadi tadi adzan isya!!? Kirain adzan subuh!” Raihan agak kaget.
“Yaelahhh,,sadar, sadar woi!!”
“hehehe…” Raihan merasa malu. Menggaruk kepalanya, padahal tidak gatal.
***
Jam setengah dua belas malam. Suasana di sekitaran Taman Monumen Perjuangan Rakyat atau orang-orang sini menyebutnya Monju masih ramai ditongkrongi orang-orang. Letak Monju sangat strategis karena berhadapan dengan Gedung Sate, Lapangan Gasibu dan juga di depan Kampus Universitas Padjadjaran.
Model bangunannya berbentuk bambu runcing yang berpadu dengan gaya arsitektur modern dan pertama kali diresmikan penggunaanya oleh Gubernur Jawa Barat, R. Nuriana pada tanggal 23 Agustus 1995. Jika malam, disekitaran Monju ini banyak di jajaki gerobak-gerobak maupun lapak-lapak dadakan yang menjual aneka makanan rakyat. Ada tukang batagor, nasi goreng, pecel lele, martabak, seblak, baso, mie ayam dan lain-lain, bahkan angkringan lesehan ‘khas Jogja’pun ada. Raihan, Zaki dan Agri masih terjaga ngobrol di angkringan lesehan. Hanya beralaskan terpal lusuh obrolan mereka menyepuh kehangatan persahabatan. Tiga gelas susu jahe, sepiring gorengan tempe, bakwan, dan tahu melengkapi malam minggu mereka.
“Bro, apa aku salah kalo pengen jadi orang kaya?” tanya Agri
“Nggak salah juga sih, kalo kekayaan itu bisa kamu handle dan kelola dengan baik untuk kemaslahatan umat, bukan untuk dinikmati sendiri atau foya-foya. Insya Allah kalo niatnya bener maka harta itu bisa bantuin juga untuk mempermudah ibadah. Kayak sedekah, infaq, naik haji, bangun masjid, bangun sekolah,bangun panti asuhan dan hal lainnya yang manfaat untuk umat deh pokoknya,” jawab Raihan.
“Betul itu! Para sahabat-sahabat nabi pun kaya raya seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaydilah, dan Sa’d bin Abi Waqqash mereka semua pedagang loh, bisnismen sukses dan kaya raya. Bahkan para Asratul Kiraam atau 10 orang yang dijanjikan masuk surga, hampir semuanya adalah pedagang. Sayangnya, para penceramah jarang membahas fakta ini. Padahal ini motivasi untuk umat islam,” imbuh Zaki semangat.
“Jadi intinya orang muslim itu selain soleh, juga harus berlimpah harta, berdaya juang dan bermanfaat bagi sesama ya? Simpul Agri. Sementara Raihan dan Zaki mengangguk sepakat.
“Tapi aku merasa aneh loh, kok orang-orang non islam pada kaya-kaya? Padahal sudah jelas tauhidnya berbeda,” Agri melanjutkan diskusi.
“Wallahu a'lam, bisa aja itu istidraj!”
“Istidraj? Apa itu?”