Sudah setahun ini Raihan meneruskan kuliah S2 Magisternya di Universitas Indonesia, mengambil Program Studi Ilmu Biomedik. Apa yang dicita-citakannya untuk bisa berkuliah di universitas negeri akhirnya terwujud. Baginya pendidikan itu penting. Itulah yang sering dikatakan oleh almarhum bapaknya dulu. Kesuksesan yang terngiang dalam benaknya selalu menjadi tenaga untuk bisa menghadapi segala situasi yang dilalui dan dihadapinya. Ia tak gentar. Ia percaya jika Allah selalu bersama dengan orang-orang yang selalu berjuang lagi sabar.
Zidan pun usai lulus kuliah mendapatkan tawaran dari Mutiah. Untuk menjadi Manager IT Marketing. Selain itu, sudah tiga bulan ini juga ia memiliki usaha warnet. Beberapa temannya ada yang dipercaya Zidan untuk menjadi admin dan membantu untuk menjaga warnetnya. Kini dirinya sudah bisa lebih bertanggungjawab pada mimpi-mimpinya sendiri. Hal itu dibuktikan dengan kinerjanya yang bagus di Maqila. Bisnis warnetnya pun selalu ramai dikunjungi oleh orang-orang. Bahkan di antaranya ada yang sudah menjadi pelanggan.
Pakaian muslim masih dipegangnya. Pakaian yang dipegangnya dipandangi dengan tatapan kosong. Sebenarnya pikirannya bukan pada pakaian itu. Pikirannya tertuju pada almarhum ibunya. Ibunya yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu sebelum ia sempat memberikan pakaian muslim yang dibuat oleh tangannya sendiri. Kado terindah yang tak pernah sampai diberikan hingga ujung hayat ibunya. Fatimah merasa sedih. Tak sadar bulir air matanya meleleh. Ia duduk di samping kakaknya.
“Sudahlah Dek, jangan terus-terusan seperti ini. Ibu sudah tenang bersama bapak di sana,” Zidan menenangkan adiknya. Fatimah menyandarkan kepalanya di bahu Zidan.
Raihan masih berada di kamarnya. Ia masih berkutat dengan laptopnya. Fatimah dan Zidan menghampirinya. Mereka bertiga dalam satu kamar. Mencoba saling mengisi dan melengkapi.
“Mas?” ujar Fatimah.
“Iya, Dek?”
“Udah setahun ibu meninggalkan kita. Dulu, sehari sebelum meninggal, ibu pernah bilang ke Fatimah kalo ibu ingin melihat Mas menikah.”
“Menikah?”
“Iya, mungkin sekarang waktunya, Mas harus memikirkan kebahagiaan untuk diri Mas sendiri.”
Zidan yang duduk di samping Raihan hanya pasif. Hati kecilnya berharap bukan nama ‘Zaskia’ yang disebut oleh kakaknya sebagai calon istri. Tapi keegoisan hatinya itu sedang berusaha ia kalahkan. Mungkin, dengan cara mengalah setidaknya ia bisa membalas budi dan menghormati kakaknya yang sudah terlalu banyak berkorban.
Raihan pun tahu jika Zidan memiliki rasa terhadap Zaskia. Ia sadar pertanyaan Fatimah menyudutkannya. Namun, bukan Raihan namanya jika ia tidak bisa memberikan jawaban secara bijak.
“Biarkan Allah yang menjawab di atas waktu-Nya. Jika lahiriyah dan batiniyah Mas sudah siap, Insya Allah maka Allah pun akan mendekatkan jodoh pilihan-Nya. Sementara ini Mas ingin fokus S2 dulu. Alhamdulillah, Mas ditawari dosen untuk jadi asistennya!” katanya bangga.
Zidan masih bernapas lega. Kakaknya belum mengucapkan satu nama sebagai calon istrinya. Meskipun pikirannya masih penasaran dan ada kecemasan tersendiri. Ia mencoba bersikap tenang dan belajar untuk ikhlas. Kabar dari Raihan yang ditawari menjadi asisten dosen membuat Zidan dan Fatimah merasa senang dan bangga.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar!” suara Adzan terdengar mengagungkan kebesaran nama-Nya. Mereka bertiga pun langsung bersiap-siap melaksanakan shalat isya berjamaah. Mereka bertiga merasa sangat bersyukur pernah dilahirkan dari rahim seorang ibu yang sangat dicintainya, pernah dididik oleh seorang bapak yang sangat disayanginya. Mereka merasakan kerinduan terhadap mendiang kedua orang tuanya yang sudah membesarkan dan mendidiknya penuh kasih sayang. Mereka berharap mendiang kedua orang tuanya bisa tersenyum di alam sana melihat anak-anaknya bisa tumbuh sesuai dengan apa yang diharapkannya.
+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++
Dengan cara mengalah setidaknya ia bisa membalas budi
dan menghormati kakaknya yang sudah terlalu banyak berkorban.
+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++===+++
***
Setahun kemudian…