Hujan di Bandung mendinginkan udara. Menyuguhkan aroma khas tanah yang dibasahinya. Sebuah café nampak anggun dengan nuansa klasiknya. Mereka memilih kursi di bibir lantai yang letaknya sekitar dua meter dari bibir atap teras, sengaja agar pemandangan luar yang sedang di tabur hujan bisa lebih jelas dinikmati bersama sepasang cangkir kopi hangat.
Laras ada di situ, tetapi duduk di kursi lain yang tidak terlalu jauh dari kursi Mutiah dan Raihan. Laras sengaja memisahkan diri. Itu semua karena kebetulan ia bertemu dengan Sinta, Istiqoyah, dan Nia yaitu teman saat SMA-nya dulu. Inisiatifnya sudah mendapatkan persetujuan dari Mutiah, awalnya ia enggan karena kuatir berkhalwat ditinggal berdua dalam satu meja bersama tunangannya, walaupun keadaan cafe saat itu sebenarnya ramai. Laras meyakinkan, ia bergabung dengan teman-temannya tidak akan lama.
Raihan mengeluarkan HP dari saku celananya.
“Astagfirullah!!” ia kaget saat melihat layar Hp-nya.
“Kenapa, Mas?!”
“Aku lupa sekarang ini aku ada janji sama Profesor Helmi!”
“Loh, kok bisa lupa gitu sih, Mas?”
“Maklum, kan cinta itu kadang melupakan segalanya, hehehe...”
“Ih, apaan sih? Gombal! Kirain beneran ada janji,” seraya Mutiah mencoba menahan senyumnya, tapi gagal.
“Ckckckck...kamu kalo senyum tuh ya?”
“Apa? Hayoo?”