Manekin-manekin nampak cantik berbalut pakaian-pakaian muslim. Penataan ruang kerja yang begitu apik. Ada beberapa foto model hijab terpampang di dinding ruangan ini. Tumpukan map warna merah ada di atas meja. Satu persatu. Fatimah mengecek map berisi arsip laporan itu. Pintu ruangan dibuka.
“Fat! Mbak pamit dulu ya!” kata Mutiah. Dirinya masuk untuk mengambil tas jinjingnya yang tergeletak di kursi.
“Iya Mbak, hati-hati ya! Salam buat Zaskia!”
“Insya Allah, Fat!”
Dirinya pamit untuk menjenguk Zaskia di kontrakannya. Fatimah sudah sering menengok keadaan Zaskia. Kali ini ia tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya yang dikejar deadline. Maka Mutiah pun pergi sendiri. Jarak antara kantor cabang Maqila dengan kontrakan Zaskia tidak terlalu jauh. Sekitar empat puluh menit.
Mutiah sampai di rumah Zaskia. Pintu rumah dibukakan oleh Yanti, tetangga Zaskia. Zidan sudah menitipkan Zaskia pada Yanti sebelum dirinya pergi untuk mengurusi pekerjaannya.
Zaskia sedikit canggung. Mencoba menutupinya dengan bersikap tenang. Namun sikap dinginnya tidak tertutupi secara sempurna. Mutiah merasakan itu.
“Sebentar ya Mbak aku mau bikin minum dulu!” kata Yanti pada Mutiah dan Zaskia.
“Nggak usah repot-repot,Ti!” ujar Mutiah.
“Nggak repot kok. Semuanya sudah ada, tinggal dibikin aja!” sambung Zaskia.
Yanti pun menuju dapur. Meninggalkan mereka berdua di dalam kamar.
“Kamu yakin tidak mau Mbak anter kontrol lagi ke rumah sakit? ” tawar Mutiah.
“Ndak Mbak, terima kasih. Insya Allah cukup diistirahatin aja ntar juga baikan lagi kok!”
“Mbak ganggu ya?”
“Ndak kok Mbak. Malahan aku seneng bisa ditengok, Mbak.”
“Kamu butuh apa? Biar Mbak ambilin.”
Zaskia hanya menggeleng. Tubuhnya didudukan di atas ranjang. Dari perut sampai kakinya diselimuti kain samping bercorak batik. Obrolan memang sedikit kaku. Tak lama Yanti pun kembali dengan membawakan segelas teh hangat untuk Mutiah. Kakinya dikeluarkan dari selimut kain samping. Tubuhnya akan digerakan.
“Mau kemana, Zas?” tanya Mutiah.
“Mau ke air dulu, Mbak”
“Oh, ayo Mbak bantu.”
“Ndak usah Mbak. Biar Yanti aja.”
Dengan sangat hati-hati Yanti menuntut Zaskia. Tubuhnya memang masih terasa lemas. Sementara itu Mutiah sendiri menunggu di dalam kamar. Dirinya melihat segala yang terpajang di kamar. Mungkin itu keluarganya Zaskia, terkanya dalam hati. Mutiah sudah tahu dari Raihan kalau seluruh keluarga Zaskia sudah lama meninggal dunia karena kecelakaan bus. Mutiah mendekati foto itu dan menatapnya baik-baik. Saat ia akan kembali duduk, tak sengaja tangannya menyenggol sebuah buku yang ada di sisi ranjang. Bruukk!! Buku itu terjatuh dan terbuka.
===========================
><><><><><><><><
Kecelakaan ini bukanlah musibah. Di baliknya aku menemukan anugerah. Sketsa lelaki aku temui dalam diri Mas Raihan: Begitu bijak dengan kedewasaannya..Gagah dengan ketawadhuannya..Lembut dengan keluasan hatinya...
><><><><><><><><
Andaikan aku bisa berenang di hatinya yang luas. Tentu aku tidak akan pernah kembali ke tepi. Cintaku telah terbawa ke dalam pusaran sosoknya. Tenggelam ke dalam kebahagiaan..
><><><><><><><><
Tak sengaja Mutiah membaca tulisan di dalam buku itu. Ternyata itu adalah diary Zaskia. Diambilnya diary itu di lantai. Hati dan pikirannya masih dibuat penasaran. Dibukalah lembar-demi lembar buku diary itu.
><><><><><><><><
Aku mencintai seorang diri
Aku merindukan seorang diri
Tidakah ada yang lebih perih dari ini?
Ajaibnya perih ini bisa membuatku tersenyum setiap hari...
><><><><><><><><
Perasaanku adalah tilawah Qur’an yang merdu
Menenangkan, menentramkan, menyejukan
Sama halnya, apabila aku bertemu denganmu
Mas Raihan, bolehkah aku meminjam namamu?
Bukan untuk apa...
Aku hanya ingin,
mendiskusikan namamu bersama Tuhanku
Berharap Tuhanku memberitahu, apakah kamu jodohku?
Kuharap begitu…
><><><><><><><><
Aku tak mau…