Sebulan kemudian...
Gumulan bongkahan awan berarak beriringan. Tertiup angin, seakan berbondong –bondong menaiki dataran hijau tertinggi puncak Bogor. Kapas putih itu kini berubah mengabu-abu. Udara pun hampir selesai mengemasi hawa hangatnya. Berganti hawa dingin. Hawa dingin terlalu pecundang untuk berani menyelinap di balik jaket cokelat tebal yang membalut tubuhnya. Tubuh seorang wanita yang bermahkota kerudung anggun. Tubuh wanita yang di sebentuk hatinya pernah tertulis satu nama. Ia masih berdiri di teras bangunan putih itu.
Sengaja wanita itu berlibur dengan menyewa sebuah Villa bersama orang-orang tercintanya. Itu pun setelah dipaksa oleh kedua orang tuanya yang berharap anak semata wayangnya itu bisa sembuh dari luka dukanya. Bulir air merasa bosan bercumbu dengan langit. Hujan pun turun. Tangan halus wanita itu dijuntaikan, ditadahkan. Halusnya rintik kembali mengingatkan pada sosok lelaki pujaannya.
Memorinya kembali kepada semua perihal tentangnya, bersamanya. Termasuk juga ucapannya saat di cafe dulu. Matanya masih berkaca, seperti sorotan mata jendela yang menyampaikan suaranya ke luar hingga lega. Lepas, berharap bahasa perasaannya bisa menggetarkan dan terdengar sampai ke atas sana.
Sekarang aku tahu maksudmu tentang hujan, Mas. Hujan mengajarkan kepadaku bahwa di suatu saat nanti, sehebat apapun kita, sebermanfaat apapun kita, sekuat apapun kita dan sejauh apapun kita mengarungi hidup pastilah waktu itu akan tiba. Waktu dimana kita akan kembali ke atas. Kembali kepada-Nya.