ISYARAT YANG TERJAWAB

Rizal Azmi
Chapter #3

BAB 3 PERDAMAIAN HATI

Di dalam organ tubuh, kita memiliki dua buah perangkat yang tidak pernah bisa berbohong. Saat organ yang lain berani melakukan, mata dan hati merupakan ciptaan Allah yang tak bisa berdusta. Meskipun, secara kasat mata, tampak tak berbeda dengan lainnya. Lidah dengan mudah menggunjing orang lain, mencaci penuh kebanggaan, berdusta dan memprovokasi, bak santapan nutrisi jiwa. Begitu juga, dengan telinga. Lebih memilih mendengarkan gosip-gosip murahan, tidak ada bukti konkret yang bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga, atas dasar itu, kita sering menjadi hakim atas permasalahan orang lain. Ikut berkoar-koar di media sosial. Berbagai status dipajang sebagai pemberitahuan. Seakan-akan, itu benar adanya. Mengapa kita tidak berusaha menjadi jembatan penghubung tatkala sungai telah memisahkan dua daratan? Menghubungkan jarak yang terpisah, memperdekat yang jauh, dan mempermudah segalanya. Allah telah mengajarkan kita lewat caranya, alam. Renungkanlah sejenak. Bukankah itu contoh nyata yang Allah perlihatkan kepada kita? Untuk saling berhubungkan satu sama lain.

“Kak, hari ini mau ke mana? Kita ke tempat papa,yuk!” ajak Tashya tiba-tiba menghampirinya.

Raka melirik sekilas sang adik yang duduk dikursi, menemaninya main game. “Aku malas keluar rumah, Dik. Lagian, hari ini Yoga mau ke sini. Kami mau main game. Lama tidak bermain game. Jadi, kalau mau, kesana sendiri saja, ya, atau sama Mbok Rus,” ujar Raka, masih tampak sibuk dengan dunianya sendiri.

Tashya mengangguk kecil, mendengar jawaban dari kakaknya. Dihampiri Raka sembari menjulurkan tangan, meminta uang buat membeli bensin. “Uangku sudah sekarat, Kak. Nanti, setelah balik dari rumah Papa, akan kuganti.”

“Hmmm… ambil saja ditas Kakak, Dik! Lima puluh ribu saja, jangan lebih! Ini masih tanggal tua,” jawab Raka.

Tashya langsung berlari ke lantai atas menuju kamar Raka. “Lumayan, bisa mendapatkan uang lima puluh ribu. Sisanya, bisa meminum es kelapa di taman dengan Si Mbok,” gumam Tashya, riang.

Tashya kembali turun. Berlari ke arah dapur sambil berteriak-teriak, memanggil Mbok Rus. “Mbok…! Mbok…! Mbok di mana?!” teriak Tashya.

Tashya mempercepat larinya. Ia langsung menepuk bahu Mbok Rus ketika melihatnya sedang cuci piring, menarik tangan wanita yang selama ini dengan setia, menjaganya.

“Ada apa, Nduk?” omel Mbok Rus, tergopoh-gopoh, mengikuti jalannya Tashya.

Tashya hanya tersenyum. Memperlambat jalan seraya menggandeng tangan Mbok Rus dengan kuat.

Raka hanya menggeleng-gelengkan kepala, melihat tingkah adiknya yang terkadang berlebihan. “Tidak kasihan apa kamu pada Mbok Rus, Dik?” tegur Raka pada sang adik. “Coba lihat Si Mbok!” Raka menunjuk ke arah Mbok Rus yang terlihat tersengal-sengal, mengatur napas.

Tashya berhenti, menatap Mbok Rus yang berdiri di sampingnya sebelum mencium tangan Si Mbok. “Maafkan aku, Mbok! Aku hanya ingin mengajak Mbok ke rumah Papa sebentar. Sepulang dari sana, nanti kita mampir ke taman dulu, meminum es kelapa, kesukaan Mbok,” kata Tashya, lirih.

“Coba tadi memberitahu Mbok terlebih dulu! Jadi, Mbok bisa bersiap-siap, Nduk. Mbok bisa berpakaian lebih rapi sedikit,” kata Mbok Rus, menasihati.

“Sudah kebiasannya, Mbok! Kalau sudah ada maunya, selalu tergesa-gesa. Tidak mau memberitahu terlebih dulu,” sahut Raka.

“Apa kita harus kesana sekarang?” tanya Mbok Rus, dengan ekspresi bingung.

“Ya, Mbok. Tadi aku sudah menelepon Papa. Papa mau makan siang bersama. Namun, Kakak tidak mau ikut,” ujar Tashya, singkat.

Lihat selengkapnya