Sesampainya digerbang panti asuhan, Tashya langsung disambut Bunda Ismi.
Bunda Ismi memeluknya erat. Pelukan Bunda Ismi mengantarkan Tashya pada kesadaran bahwa bagaimana pun juga, merekalah selama ini yang secara tidak langsung berjasa dalam memberi dukungan tujuh tahun silam saat peristiwa itu bermula.
Hidup harus memiliki tujuan tentang mau dibawa ke mana arah masa depan. Masalah tercapai atau tidak, itu hak prerogatif Allah dalam menentukan. Setidaknya, kita sudah berusaha dan berdoa. Namun, hanya mereka yang memahami hidup secara penuh yang mengerti mengenai hal ini. Yaitu, andai mereka gagal, bukan karena kesalahan mereka, melainkan sebagai peringatan dari Allah untuk menjadi lebih baik lagi. Peringatan Allah bukanlah ujian, melainkan kasih sayang sebagai Tuhan kepada makhluk-Nya.
Tashya kembali teringat potret perjalanan hidup. Semua terbuka jelas di hadapan. Tashya yang melihat perkelahian demi perkelahian papa dan mamanya hampir setiap saat. Namun, semua tak bisa didamaikan dan kandas, akibat ego masing-masing.
“Benar apa yang dikatakan bunda Halimah dulu, ibumu Ren! Allah telah mewarnai setiap perjalanan hidup. Namun, Allah lebih menyukai orang yang memahami warna itu,” gumam Tashya pelan.
“Tashya!”
“Apa kabar,Sayang?”
Dinda memeluk Tashya dengan senang. “Lama kita tidak bertemu. Sudah hampir empat tahun lebih semenjak berbeda sekolah. Dengan siapa kesini?” tanyaDinda.
Tashya hanya tersenyum samar, sendirian,“Sekolah di mana, Din?” tanya Tashya.
“Harapan Bangsa,”sahut Dinda.
“Satu sekolah dengan Rendy dan Rita?”
“Ya. Satu kelas lagi dengan mereka!” kata Dinda. “Kangen dengan mereka, Shya?”
Tashya kembali tersenyum.
“Nanti, kapan-kapan main ke rumah Rendy, ya?! Reuni.”
Tashya mengangguk-angguk. Ia sebenarnya iri dengan Rendy, lantaran keutuhan dan keharmonisan yang terjalin di keluarga Rendy. Tidak sepertinya, akibat perpisahan, beban hidup terasa semakin berat.Terutama, dari segi masa depan, sangat sulit untuk dicapai sesuai dengan harapan yang diinginkan sejak lama.
Suasana panti asuhan terlihat sepi. Karena, anak-anak panti telah dijemput, menghadiri acara peringatan Isra Mi’raj di Masjid Al-Falah. Hanya beberapa orang saja yang terlihat, karena tidak ikut serta.
Anak-anak bersemangat menghadiri, karena yang mengisi tausyiah adalah Ustadz Abdul Somad dari Riau. Sedangkan Dinda, tidak bisa ikut, karena terkena giliran piket menjaga kantor, ditambah ada Tashya yang berkunjung.
“Tashya, apa kabar dengan papa dan mamamu?”tanyaDinda.
Tashya diam. Raut mukanya mendadak berubah.
Dinda pun ikut terdiam beberapa menit, melihat perubahan pada Tashya sebelum berucap, “Maaf, Shya, jika pertanyaanku menyakitimu! Mohon maaf sekali lagi, Shya, jika aku bertanya terlalu jauh yang bersifat pribadi!”
“Tidak, Din! Itu tidak jadi masalah. Kamu sudah tahu semuanya sejak awal. Bukankah itu pertanyaan yang wajar?”
Tashya berdiri, berjalan ke arah deretan bunga anggrek yang tertata rapi di pojok kanan teras. Segera dicium bunga anggrek berwarna ungu yang menjuntai indah sebelum beranjak, berpindah mencium anggrek putih yang tak jauh dari situ. Satu persatu, dicium deretan anggrek, hingga dipenghujung pot yang berisi bunga mawar yang berbunga tiga tangkai.
“Lalu, ada apa denganmu? Kok, setelah aku bertanya hal itu, tiba-tiba berubah ekspresi?” tanya Dinda lagi.
Tashya diam. Yaa Rabb,sungguh sangat berat bagi bibirku untuk melontarkannya! Menyakitkan menjadi korban pertikaian rumah tangga, sepertiku! Siapa yang ingin menyaksikan hal seperti itu, wahai Tuhan? Apalagi, ketika mereka memiliki jalan masing-masing. Kami sebagai anak kandung, merasa terabaikan. Bisakah ini terobati, ya Allah? Jujur, ada perasaan dengki dijiwa ketika melihat keharmonisan keluarga mereka yang berbahagia. Namun, Tuhan, apakah berdosa jika aku mencemburuinya? Kenapa terkadang rasa tak rela itu bisa muncul begitu saja? Tujuh tahun sudah, hal itu berlalu! Namun, bertolak belakang dengan janji yang diucapkan kedua orang tua. Bolehkah aku marah pada mereka?
“Tashya….”
Tashya tersentak kaget.
“Kok, malah melamun? Maaf, jika pertanyaanku tadi membuatmu menjadi tak enak hati!”
“Papaku menikah lagi. Begitu juga, dengan Mama. Mereka sudah mempunyai anak dari pernikahan yang baru, masing-masing satu. Laki-laki semua,” jawab Tashya, datar.
“Selamat, Shya! Kamu memiliki adik! Dua sekaligus, lagi!” ucap Dinda, langsung memeluk Tashya dari belakang.
“Tak pantas, kamu memberi ucapan selamat padaku, Din! Aku sama sekali tak berbahagia atas kehadiran kedua adik beda ayah atau mama. Mereka bukan saudara kandungku yang satu papa dan mama, melainkan hanya satu diantara keduanya! Lagipula, Din, kedua orang tuaku tetap melakukan perang dingin. Tak pernah lagi bertegur sapa! Aku dan Kak Raka tidak tinggal dengan mereka. Kami memilih untuk tetap tinggal di rumah yang dulu, ditemani Mbok Rus. Papa membeli rumah lagi. Begitu juga, dengan Mama. Ia tak mau kalah. Sepertinya, mereka saling memamerkan harta kekayaan. Kami sebagai anak kandung, dilupakan. Kak Raka sendiri sekarang sudah bekerja di imigrasi. Karena, tak berguna sama sekali, mengharapkan uang pemberian Papa dan Mama yang sering terlambat!”