Aarline mengamati sisi kiri jalan tol menuju Jakarta Utara. Ini adalah kali pertama gadis itu berada di negara kelahiran ibunya. Siapa tahu bisa menjadi pertimbangan dalam memilih kewarganegaraan, setelah berusia 17 tahun nanti. Hingga saat ini ia memiliki dua kewarganegaraan, karena Raline masih berstatus WNI (Warga Negara Indonesia).
Gadis itu tersentak ketika merasakan genggaman tangan ibunya. Sebuah senyum terukir di wajah cantik khas Indonesia milik Raline.
“Bagaimana?” tanya Raline meminta pendapat anaknya.
Aarline mengembangkan daun tangan di depan wajah dengan ibu jari menyentuh dagu, keempat jari lain kemudian bergerak ditekuk sehingga mengepal.
Indah. Aku suka, kata Aarline tersenyum manis sambil menempelkan tangan di dada kemudian ditarik ke depan. Jempol dan jari tengah menyatu seperti memegang benang.
“Apa katanya, Raline?” Varischa bersuara. Dia duduk di kursi belakang bersama Aarline dan Raline.
“Dia menyukai Jakarta.” Raline menoleh ke samping kanan, tempat kakak iparnya duduk.
“Syukurlah. Sepertinya aku harus belajar bahasa isyarat, agar mengerti apa yang diucapkan Aarline,” komentar wanita berambut merah itu.
Raline menggelengkan kepala. “Sebaiknya Aarline aja yang belajar membaca gerak bibir dan terapi wicara. Biar gampang berkomunikasi juga di sekolah.”
“Untuk sekarang cukup bicara menggunakan bahasa Inggris aja sama Aarline, tapi pelan-pelan biar dia ngerti apa yang dikatakan,” saran Raline sembari membelai rambut pirang putrinya.
“Kayaknya Tante bakal ngerepotin kamu deh, Cleve,” ujar Raline kepada Cleve yang diam sejak tadi.
Remaja berparas tampan itu menoleh ke belakang. Bibir tipisnya semakin menipis ketika tersenyum.
“Sure, Tan,” sahutnya singkat.
Aarline memerhatikan sepupunya itu. Sesaat rasa gundah memudar ketika melihat Cleve tersenyum.
Ternyata dia masih ingat bagaimana tersenyum, kata Aarline dalam hati.
Mobil terus melaju menyusuri jalan tol menuju Jakarta Utara. Berbagai percakapan Raline dan Varischa mengisi perjalanan. Cleve dan Aarline memilih diam sembari melihat pinggir jalan, meski sesekali menanggapi ketika diajak berbicara.
Tiga puluh menit kemudian, mobil berhenti di pekarangan kediaman keluarga Rahardian. Rumah yang pernah ditempati Raline dari kecil hingga dewasa. Tidak banyak yang berubah sejak wanita itu pindah ke London. Hanya tumbuhan yang menghiasi taman tampak lebih beragam dibandingkan dulu.
“Jadi tambah rame nih bunga,” komentar Raline melihat bunga kamboja, mawar, kamelia dan berbagai tumbuhan lain satu per satu.
“Apalagi yang bisa aku kerjakan di rumah selain merawat tumbuhan, Raline?” tanggap Varischa tertawa renyah.
Semenjak menikah dengan Daffa, wanita itu memilih menjadi ibu rumah tangga. Lebih tepatnya dia tidak pernah merasakan bagaimana dunia kerja, karena langsung menikah setelah lulus kuliah.
“Cleve, tolong bawakan koper Tante Raline dan Aarline,” pinta Varischa setelah supir menurunkan barang-barang dari mobil.
“Okay.”
Pemuda itu segera mengambil dua koper berukuran besar berwarna maroon-silver dan satu koper ukuran sedang berwarna biru tua. Ketika akan mengambil koper berukuran sedang, Aarline sudah duluan meraihnya.
Gadis itu tersenyum gugup, kemudian menempelkan telapak tangan di dada. Biar aku saja.
Seakan mengerti dengan apa yang di-isyaratkan Aarline, Cleve mengangguk singkat. Dia beranjak memasuki rumah sambil menggeret dua koper besar. Sementara Aarline menyusul di belakang.
“Langsung bawa ke kamar saja,” suruh Varischa mengerling ke lantai dua.
Cleve mengangguk sambil menurunkan tangkai koper ke bawah, lalu menggenggam handler sebelum mengangkatnya.
“Kuat bawa dua sekaligus, Cleve?” tutur Raline ragu.