“Perkenalkan nama saya Hendra, Bu Raline,” ucap Bapak Kepala Sekolah memperkenalkan diri.
Aarline memusatkan perhatian melihat gerak bibir kepala sekolah. Meski tidak mengerti beberapa kata yang diucapkan, tapi ia tahu sekarang pria paruh baya itu memperkenalkan diri.
“Raline Rahardian dan ini putri saya Aarline Brown, Pak,” balas Raline sambil menyambut uluran tangan kepala sekolah.
Kepala sekolah menganggukkan kepala, kemudian menarik kursi. Dia mempersilakan ketiga tamunya duduk.
“Santai saja, Bu. Saya boleh ngobrol dengan Aarline dulu?” izin Pak Hendra mengerling kepada gadis berambut pirang tersebut.
“Silakan, Pak. Tapi untuk saat ini jika berkenan Bapak berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris terlebih dahulu, karena Aarline belum belajar membaca gerak mulut dalam bahasa Indonesia,” pinta Raline.
“Oh, tidak masalah, Bu. Aarline masih punya banyak waktu untuk belajar.”
Raline memegang tangan putrinya, sehingga membuat kepala gadis itu kembali tegak. Tampak raut gelisah di parasnya ketika tahu kinilah saatnya untuk berbicara dengan kepala sekolah.
“Your turn, Darling,” bisik Raline dengan membuka lebar mulutnya.
Gadis itu menganggukkan kepala, lalu mengambil napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Aarline tersenyum ragu melihat kepala sekolah.
“Relaxed, Aarline. Jangan gugup, kita tidak sedang ujian. Aku hanya ingin berbincang denganmu,” hibur Pak Hendra mengetahui calon siswanya mulai gelisah.
Aarline kembali tersenyum samar sambil mengusap-usap telapak tangan di atas kedua paha. Matanya terpejam beberapa saat ketika berusaha menenangkan diri.
“Sejak tahu dari Pamanmu, aku jadi penasaran apa yang memotivasi kamu bersekolah di sekolah umum? Kenapa tidak melanjutkan belajar di sekolah sebelumnya atau memilih sekolah inklusi?” tanya Pak Hendra pelan.
Kening Aarline mulai berkeringat ketika berusaha keras membaca gerak bibir Pak Hendra yang dianggapnya terlalu cepat. Beruntung dia mengerti poin penting dari pertanyaan tersebut.
“He-e … E-ea,” jawabnya singkat sambil menggerakkan jari membentuk abjad Helen Keller.
Pak Hendra menatap bingung gadis itu, karena tidak mengerti dengan apa yang diucapkan dan juga tidak mengetahui bahasa Isyarat.
“Helen Keller, Pak,” ujar Raline ketika tahu arti sorot mata pria itu.
“Helen Keller? Interesting!” seru Pak Hendra membuat bunyi sekali tepukan tangan. “Jadi kamu ingin lulus di universitas ternama seperti Helen Keller?”
Aarline menganggukkan kepala. “A-u … i-i … u-juk-a … pada … du-ia. E-ua-a, i-ak me-am-bat im-pi-a (Aku ingin menunjukkan kepada dunia, kekurangan tidak menjadi hambatan dalam menggapai impian).”
“Maksudnya kamu ingin membuktikan kekurangan bukan masalah dalam meraih impian?” Pak Hendra memastikan apa yang didengarkan tidak salah.