ISYARAT

LeeNaGie
Chapter #9

BAB 9: Pengakuan Aarline

Cleve menarik napas singkat ketika melihat Aarline masih bergeming. Dia mengangkat tangan, lalu memantik ibu jari dan telunjuk tepat di depan wajah gadis itu. Sontak Aarline memundurkan kepala dengan mata berkedip.

“Mau pergi nggak?” Dia melirik dengan ekor mata ke jok belakang motor.

Pandangan Aarline kembali beralih ke jok motor yang menurutnya terlalu tinggi. Dia mendesah pelan sebelum menaikinya. Tangan kiri gadis itu kini memegang bagian belakang, sementara kaki kanan menginjak footstep. Aarline mencoba naik, namun tidak biasa.

Uuh! Kenapa susah sekali? keluhnya dengan wajah memberengut.

Cleve menoleh ke belakang, lalu menepuk pundak memberi tanda Aarline bisa berpegangan di bahunya untuk bisa naik kendaraan itu.

Aarline membuang napas lesu. Dia melakukan apa yang dikatakan Cleve, agar bisa duduk di jok yang cukup tinggi.

Setelah memastikan Aarline telah duduk dengan benar, Cleve mulai menyalakan motor. Sebelum kendaraan roda dua benar-benar bergerak maju, gadis itu mencari tempat untuk berpegangan. Jantungnya sekarang berdetak cepat merespons rasa khawatir yang perlahan menjalar di sekujur tubuh.

Cleve lagi-lagi menarik napas singkat, kemudian menarik kedua pergelangan tangan Aarline ke samping tubuhnya.

“Pegangan di sini, biar nggak jatuh,” desisnya meski tahu Aarline tidak bisa mendengar.

Kedua tangan Aarline bergerak kaku di pinggang sepupunya, sebelum benar-benar menyentuhnya. Sementara Cleve mengulum senyum di balik helm full face yang dikenakan.

Pemuda itu mulai menekan kopling, lalu melepasnya perlahan seiringan dengan tarikan gas. Motor perlahan meninggalkan kediaman keluarga Rahardian di perumahan Villa Artha Gading.

Hanya hening yang menemani sepanjang perjalanan mereka menuju kawasan Ancol. Percuma berbincang, karena Aarline tidak bisa mendengarkannya. Cleve semakin menaikkan kecepatan di saat kendaraan lengang.

Apa kalian tahu apa yang terjadi kepada Aarline di belakang? Raut wajahnya tampak begitu tegang. Dia memejamkan mata rapat di balik punggung Cleve saat tubuh yang mulai bergetar. Jika saja helm itu dilepas, maka rona pucat yang menghiasi paras cantiknya sudah pasti terlihat. Bagaimana dengan tangannya? Sudah berpegangan erat di pinggang pemuda itu.

Cleve melirik ke tangan sepupunya yang berpegang erat di samping tubuh. Keningnya berkerut sebentar sebelum pandangan kembali beralih melihat jalan. Dia merasakan ada yang aneh dengan Aarline. Cleve ingin bertanya, namun ditahannya.

Selang lima belas menit kemudian mereka tiba di tempat tujuan. Cleve memarkirkan motor terlebih dahulu tak jauh dari pintu masuk Dufan. Setelah kendaraan terparkir, dia menoleh ke belakang meminta Aarline turun dari motor.

Gadis itu masih bergeming, duduk di atas motor. Tangannya masih berpegangan erat di pinggang Cleve.

Cleve kebingungan melihat sepupunya masih diam. Dia tidak bisa melihat wajah Aarline karena tertutup dengan kaca berwarna pelangi. Cleve melirik ke arah tangan Aarline yang ada pinggang. Sesaat kemudian dia baru menyadari tangan sepupunya gemetar.

Pemuda itu langsung melepaskan helm yang dikenakan, lalu menurunkan standar motor. Tangan Aarline terasa dingin ketika Cleve berusaha melepaskannya dari pinggang. Dia langsung turun dari motor dan membuka kaca helm. Mata hijau gelap miliknya terbelalak melihat wajah Aarline memucat.

“Aarline, kamu nggak pa-pa?” tanya Cleve melepaskan helm dari kepala sepupunya.

Gadis itu bergeming dengan tangan mengepal erat. Dia masih duduk di atas motor meski Cleve sudah turun sejak dua menit yang lalu.

“Aarline,” panggil Cleve menepuk pundaknya.

Lihat selengkapnya