Optimism is the faith that leads to achievement. Nothing can be done without hope and confidence.
-Helen Keller-
Beberapa bulan kemudian.
Aarline duduk tidak tenang di taman belakang rumah kediaman Rahardian. Sebentar kakinya naik ke atas kursi, lalu diturunkan kembali. Berkali-kali seperti itu. Pikirannya kalut ketika membayangkan hari pertama mulai sekolah besok.
Ya, akhirnya delapan bulan telah dilewati. Aarline akan memulai hari baru sebagai siswa di sekolah umum dan bergaul dengan murid normal. Selama itu juga, ia benar-benar fokus belajar mengucapkan kata dan membaca gerak bibir.
Bagaimana perkembangannya? Mari kita lihat ketika Aarline bertemu dengan Cleve.
Tiba-tiba Aarline merasakan seseorang menepuk pundaknya. Sontak ia menoleh ke belakang mencari tahu siapa yang usil mengagetkannya. Mata biru itu mendelik nyalang ketika tahu orang itu adalah Cleve. Aarline menepuk lengan sepupunya bertubi-tubi meluapkan rasa kesal, karena terkejut.
“Sorry. Habis dari tadi, kamu gelisah banget,” ucap Cleve cekikikan melihat wajah menggemaskan Aarline ketika marah.
Gadis itu berkacak pinggang dengan mata masih membulat. “Pelan … pelan,” pintanya nyaris berbisik.
Aarline masih belum bisa mengontrol suara, sehingga lebih sering berbicara seperti orang berbisik.
“Sorry lagi deh,” ulang Cleve sambil berusaha menghilangkan tawanya.
“Kenapa sih kayak lagi galau?” Cleve bertanya dengan pelan.
“Ga … apa?” Aarline malah balik bertanya karena ada kata yang tidak dimengerti.
“Galau. G-A-L-A-U,” eja Cleve agar sepupunya tahu abjad kata tersebut.
“Ga … lau?” (Yeay! Aarline sudah bisa mengucapkan huruf L dengan jelas.)
Cleve mengangguk membenarkan. “Galau itu sebutan ketika pikiran kamu tidak tenang,” jelasnya sambil mengetuk pinggir kening sendiri.
Bibir Aarline membulat ketika tahu arti kata galau. “Galau. Cleve … galau,” ledeknya tertawa kecil setelah menunjuk Cleve.
“Bukan aku, tapi kamu,” tunjuk Cleve tepat di wajah sepupunya.
Aarline menarik napas singkat, lalu mengembuskannya dengan keras. Punggung tersandar lesu di bangku taman. Bibirnya berkerut maju ke depan sembari menatap beraneka ragam bunga memperlihatkan kelopak bunga yang mengembang indah tak jauh dari tempatnya duduk.
Senyum tergambar di paras Cleve saat mematut paras cantik sepupunya itu. Tidak ada kata bosan yang pernah terucap ketika bertemu setiap hari dengan Aarline. Dia selalu menikmati kebersamaan yang dilalui dengan gadis itu.
Cleve mencolek pundaknya, membuat Aarline menoleh. “Kamu kenapa? Cerita dong.”
Aarline memerhatikan gerak bibir Cleve dengan saksama, agar bisa mengerti apa yang diucapkannya.
“Aku … takut,” ungkap Aarline jujur sambil meletakkan tangan kanan di atas dada dan tangan kiri di bawah dada. Wajahnya mengekspresikan ketakutan.
“Takut kenapa?” Cleve menaikkan kaki kanan ke atas kursi, agar bisa menghadap sepenuhnya kepada Aarline.
Aarline mengangkat wajah melihat langit Jakarta yang dihiasi awan tipis. Dia kembali membuang napas berat sebelum menjawab pertanyaan Cleve.
“Takut … tidak … diterima. Takut dikucilkan.” Aarline kembali melakukan gerakan bahasa isyarat.
Meski sudah bisa berbicara dengan pelan, namun ia masih menggunakan bahasa isyarat. Menurutnya dengan begitu bisa mengekspresikan apa yang dirasakan kepada lawan bicara.