Cleve duduk di dalam kelas dengan kaki kanan digoyangkan di atas kaki kiri. Punggungnya bersandar nyaman di kursi. Bola mata bergerak-gerak seperti merenungkan sesuatu. Ada yang bisa menebak?
Yup! Pemuda itu menjadi tidak tenang, karena memikirkan bagaimana Aarline di lapangan. Apakah gadis itu masih gugup? Atau apakah dia sudah menemukan teman?
“Kenapa sih dari tadi gue perhatikan lo gelisah terus?” tanya teman sebangkunya.
Saat ini mereka masih gabut alias tidak ada kegiatan, setelah walikelas meninggalkan ruangan sepuluh menit yang lalu.
“Kepikiran Aarline gue,” jawab Cleve jujur.
“Sepupu l—”
Cleve membekap mulut temannya. “Jangan bilang gitu, Mik. Entar orang-orang tahu kalau dia sepupu gue,” bisiknya super pelan.
Miko-salah satu sahabat Cleve-memberontak berusaha menyingkirkan tangannya. “Kampret lo! Hampir aja sesak napas,” sungut lelaki itu ngos-ngosan.
“Ya habis lo ngomongnya kekencengan.”
“Sorry deh. Keceplosan gue.”
Setelah bertemu dengan Mutia di Dufan, Cleve mendapatkan ide agar bisa lepas dari gadis itu dan siswi lain yang mengejarnya. Dia sengaja mengatakan sudah memiliki pacar kepada mereka.
“Gue tahunya Aarline sepupu lo, bukan pacar lo.” Miko menekuk wajah.
“Lagian kenapa sih pakai bohong bilang punya pacar segala? Harusnya senang dong banyak cewek-cewek yang deketin lo,” cecar Miko kemudian.
Cleve membuang napas malas, selaras dengan wajahnya. “Nggak ada senang-senangnya dikejar cewek.”
“Lo normal nggak sih, Cleve? Sejak putus dengan Mutia nggak pernah pacaran atau deket lagi sama cewek lain.”
“Sialan! Gue normal tahu! Emang lo pikir gue cowok apaan?” ketus Cleve meninju lengan Miko.
Miko pura-pura mengaduh kesakitan sambil mengusap pelan lengan sendiri.
“Trus kenapa nggak pilih salah satu aja? Yang cantik-cantik ‘kan banyak,” ujar Miko penasaran.
Cleve mengangkat bahu. “Nggak ada yang menarik,” sahutnya singkat.
“Cleve, Cleve. Cewek secantik Mutia aja lo putusin. Emang selera lo yang kayak gimana sih?”
Pemuda itu menurunkan kaki kanan ke bawah, lalu memangku tangan di depan dada. Senyum tergambar di parasnya.
“Cewek yang lugu, tapi garang. Apa adanya dan menjadi diri sendiri.” Senyum Cleve semakin lebar ketika membayangkan wajah seseorang. “Yang jelas mampu bikin gue salah tingkah setiap kali ada di dekatnya.”
Pemuda itu memegang dada kiri. “Dia juga mampu bikin gue berdebar.”
Mata Miko menyipit penuh selidik. “Emang ada cewek lugu tapi garang? Gawur lo!”
“Ada,” cetus Cleve.
“Udah ketemu?”
Cleve mengangguk cepat.
“Siapa?” Miko penasaran.
“Rahasia.”
“Parah nih sama gue pake rahasia-rahasiaan,” decit pemuda bertubuh kurus tinggi itu.
Cleve berdiri sambil mengeka pinggir rambut yang pendek.