Satu minggu kemudian
Suasana kelas X-B tampak begitu tenang ketika guru Matematika menerangkan pelajaran. Seluruh siswa sangat khusyuk melihat lurus ke depan dan mendengarkan penjelasan materi mengenai Menemukan Konsep Eksponen.
Aarline tidak mengalihkan pandangan sama sekali dari bibir guru. Dia sengaja ditempatkan di kursi paling depan, agar bisa membaca gerak bibir pengajar dengan mudah. Tempat duduknya paling ujung kanan dekat dinding. Meski demikian, gadis itu masih mengalami kesulitan karena tidak bisa menulis ketika guru menerangkan.
“Yang ini sudah selesai dicatat ya?” tanya Bu Guru bersiap menghapus tulisan yang ada di papan tulis.
“Sudah,” jawab siswa lain serentak.
“Belum,” sahut Aarline nyaris berteriak karena belum bisa mengontrol volume suara.
Satu minggu berteman dengan Sissy dan Ceria, ia sering mendapat masukan agar suaranya sedikit dikeraskan. Selama ini, Aarline berbicara nyaris seperti berbisik sehingga kadang terdengar dan kadang tidak.
Sontak guru dan siswa lain melihat ke arah gadis itu dengan kening berkerut. Aarline mengedarkan pandangan ketika sadar menjadi perhatian di kelas. Dia kembali melihat Ibu Guru tersebut dengan tatapan memelas.
“Ya sudah, saya kasih waktu lima menit untuk mencatat,” ujar guru kepada Aarline.
Mengenyam pendidikan di sekolah umum yang bukan inklusi, membuat Aarline yang harus menyesuaikan ritme belajar. Sekolah ini tidak menyediakan tenaga pengajar dan fasilitas belajar untuk anak-anak berkebutuhan khusus seperti dirinya.
“Makasih,” ucap Aarline sambil menempelkan jari di dagu.
Dia segera mencatat tulisan yang ada di papan dengan cepat. Sementara beberapa siswa lain mendesah kesal, karena harus menunggu Aarline menyelesaikan catatannya terlebih dahulu.
“Kamu bisa pinjem catatanku entar, Aar,” kata Sissy yang kebetulan satu kelas dengannya, setelah pelajaran Matematika selesai. Dia melihat Aarline dengan tatapan iba.
Aarline menggelengkan kepala tersenyum. “Aku … harus … sendiri.”
“Ah, molla (nggak tahu) deh. Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja. Arasseo (mengerti)?” ujar Sissy menyelipkan kata dari bahasa Korea dalam kalimatnya.
Walau Aarline tidak tahu arti dua kata yang diucapkan teman barunya itu, ia masih menganggukkan kepala. Senyum terbit di parasnya saat bisa merasakan ketulusan dari Sissy. Dia merasa beruntung bisa memiliki teman seperti Sissy dan Ceria yang bisa menerima Aarline apa adanya.
Selama satu minggu bersekolah di sini, dia bisa melihat beberapa tanggapan dari siswa lain terhadapnya. Ada yang tidak mempermasalahkan kekurangan Aarline, ada yang salut dengan perjuangannya hingga ada juga yang tidak suka. Terutama ketika Aarline dinobatkan menjadi Queen angkatan L (ke lima puluh) sekolah nasional plus Nusa Persada Jakarta. Dalam hitungan hari gadis itu menjadi salah satu siswi populer di sana. Hal ini memicu ketidaksukaan beberapa orang siswi cantik dan populer yang sudah terlebih dahulu mengenyam pendidikan di sekolah tersebut.
“Nanti mau pulang bareng nggak?” ajak Sissy dengan paras berbinar.
Aarline menggeleng lesu. “Nggak … boleh. Cleve … marah,” tanggapnya sambil mengarahkan telapak tangan seakan mencakar wajah sendiri.
Sissy menarik napas singkat. “Padahal pengin main sama kamu. Eonje (kapan) lagi coba? Entar udah sibuk sama sekolah dan ekskul (ekstra kurikuler).”
“Eh, masih bisa ajak Cleve. Kapanlagi hangout bareng namja (cowok),” sambung Sissy mengedip-ngedipkan mata genit.
Aarline berdecak sembari menyipitkan mata. Dia mengangkat bahu singkat menandakan tidak jamin Cleve mau ikut atau tidak.
“Nanti … ngomong … sama Cleve,” bisik Aarline.