Suasana kelas terdengar riuh ketika beberapa orang siswa mengajukan keberatan, karena harus menunggu Aarline mencatat terlebih dahulu, sebelum guru meneruskan pembahasan berikutnya. Sissy menarik napas berat saat melihat Aarline bahkan tidak tahu penghuni kelas sedang memperbincangkan dirinya.
Pelajaran Fisika, Akuntansi, Kimia dan Matematika membuat Aarline harus fokus memerhatikan apa yang diterangkan oleh guru, sehingga tidak bisa menulis ketika guru menerangkan. Berbeda dengan mata pelajaran lain yang bisa dibaca ulang, karena tidak menjelaskan bagaimana cara efektif dalam menyelesaikan contoh soal.
“Kalian berisik banget sih?!” Sissy tidak tahan untuk berkomentar. “Pernah nggak rasakan gimana berada di posisi Aarline?”
Gadis berambut pirang itu langsung berhenti menulis, ketika tahu tiba-tiba Sissy berdiri. Aarline melihatnya dengan kening berkerut.
“Dia itu butuh konsentrasi membaca gerakan mulut guru waktu menerangkan pelajaran, jadi nggak bisa nyambi nulis. Aarline juga udah berusaha maksimal biar bisa melakukan kedua-duanya sekaligus, tapi butuh proses untuk terbiasa,” cecar Sissy mulai tersulut emosi. Tidak ada kosa kata ajaib yang keluar dari bibirnya saat ini.
Aarline berusaha memahami apa yang diucapkan oleh Sissy, namun hanya ada empat kata yang dimengerti karena gadis itu berbicara dengan cepat. Konsentrasi, pelajaran, Aarline dan proses. Dia menatap bingung dan mengalihkan pandangan ke arah teman-teman yang lain.
Sissy menarik napas singkat sembari melempar tatapan tajam kepada lima orang siswa yang protes barusan. Ini bukan pertama kali ia mendengar keluhan yang diajukan. Sebelumnya gadis itu pernah menguping kelima orang siswa itu sedang membicarakan Aarline saat berada di luar kelas.
“Ganggu banget sih itu si Bule. Aturan bisa belajar cepat, jadi harus tunggu dia kelar nulis dulu,” gerutu salah satu siswa yang didengarkan oleh Sissy waktu itu.
“Iya. Harusnya dia sekolah di SLB (Sekolah Luar Biasa) aja, biar nggak ganggu kita belajar,” timpal yang lainnya.
“Belum lagi bahasa isyaratnya mengganggu banget. Dia ‘kan bisa ngomong tuh walau dikit, kenapa tangannya nggak diam?” komentar yang lainnya.
Mata Sissy terpejam sesaat menghalau penggalan dialog yang pernah didengarkan. Beruntung Aarline tidak tahu apa yang diperbincangkan oleh teman-teman sekelasnya.
“Bisa nggak sih ngalah dulu, biar Aarline terbiasa dengan perubahan ini?” sambung Sissy kemudian.
“Nggak bisa! Enak aja. Kita sama-sama bayar. Orang tua kami juga masukin ke sini karena sekolah ini bagus, tapi kalau gini caranya bisa rugi dong,” protes siswi berkacamata cukup tebal.
“Bener tuh, Rani! Harusnya anak kayak Aarline masuk ke SLB aja,” imbuh yang lain.
“Sudah. Sudah!” kata Ibu Guru mata pelajaran Fisika sambil memukul meja dengan ujung spidol. “Nanti saya bahas dengan guru yang lain. Lagian ini masih awal semester, Aarline pasti butuh waktu untuk menyesuaikan diri.”
Kelas menjadi hening setelah guru berbicara. Sementara Sissy masih melihat dua orang siswa yang berbicara tadi dengan tatapan mengintimidasi.
Aarline tampak pusing ketika berusaha menganalisa apa yang terjadi barusan. Dia tidak bisa membaca gerak bibir mereka, karena terlalu cepat. Satu-satunya yang dapat dilakukan adalah bertanya kepada Sissy.
“Ada … apa?” tanya Aarline memegang tangan Sissy.
“Eh?” Pandangan Sissy beralih melihat sahabatnya. Dia tersenyum samar sambil menggelengkan kepala. “Nggak ada apa-apa kok. Cuma tadi ada yang rese aja.”
Aarline mengangguk singkat meski tidak percaya dengan apa yang dikatakan Sissy. Dia memang tidak bisa mendengarkan apa yang sedang diperbincangkan, tapi bisa merasakan suasana kelas ‘memanas’.
Seluruh siswa kembali diam dan memerhatikan guru menerangkan, hingga jam pelajaran berakhir.
“Mau ke hwajang-sil (toilet) nggak, Aar?” ujar Sissy setelah guru meninggalkan ruangan.
“Iya … kebelet,” sahut Aarline. Hampir satu bulan berteman dengan Sissy, ia mulai mengerti kosa kata ajaib yang diucapkannya.
“Yuk!” ajak Sissy.
Keduanya segera berdiri dan beranjak menuju pintu.
“Bilangin tuh sama temannya. Kalau nggak sanggup pindah sekolah aja,” celetuk siswi berkacamata tebal, bernama Rani.