Sissy mengomel sejak beberapa menit yang lalu, setelah Aarline mengatakan belum bertanya tentang kemarin kepada Cleve. Wajahnya tampak berkerut kesal, karena tidak berhasil mengetahui bagaimana perasaan Cleve terhadap Aarline. Menurutnya dengan bertanya tentang gosip tersebut, bisa membuat pemuda itu mengakui perasaan kepada sepupunya.
“Duh, Aar. Geregetan tahu!” gerutu gadis berambut papan itu sambil membetulkan posisi poni lurus yang menutupi kening.
Keduanya sedang duduk di kantin sembari menunggu Ceria datang.
Aarline hanya mengangkat bahu singkat. Dia menunda berbicara tentang hal tersebut, karena bingung setelah dipeluk Cleve. Gadis itu mulai memikirkan kemungkinan apakah sepupunya benar-benar menaruh rasa terhadapnya atau tidak?
“Emang eoje ngomongin apa aja?” tanya Sissy masih penasaran.
“Nggak … ada,” jawab Aarline berbohong.
Kemarin Cleve meminta maaf, tapi tidak mengatakan permintaan maaf untuk apa. Itu yang semakin membuat Aarline bingung.
Dari kejauhan, Aarline melihat Ceria datang berlari ke dekatnya. Wajah gadis itu bersemu merah dan tampak serius.
“Aar,” panggil Ceria di sela napas yang terpacu setelah berlari tadi.
“Kamu wae (kenapa) sih, Ria? Kok kayak habis makan cabe gitu, muka ppalgang (merah) dan napas sesak,” cicit Sissy.
Ceria mengembangkan kelima jari kanan sambil mengatur napas yang masih sesak. Tangan kiri menunjuk ke sisi berlawanan dengan kantin.
“Itu ….” Ceria berusaha mengatakan apa yang baru saja dilihatnya.
“Itu mwoya (apa)?”
Aarline menyerahkan air mineral kemasan kecil kepada Ceria, agar gadis itu bisa lebih tenang lagi.
“Thanks,” ucapnya menerima botol yang diserahkan Aarline.
Ceria menegak air dalam kemasan itu setengah. Ternyata apa yang dilihatnya tadi, ditambah lagi dengan berlari menuju kantin mampu membuat tubuh memanas sehingga tenggorokan mengering.
“Ada … apa?” Kali ini Aarline bersuara.
“Gawat, Aar ... Lo harus ikut gue … sekarang … Mading (majalah dinding).” Ceria masih berusaha berbicara meski napas masih sesak.
Gadis itu menarik tangan Aarline sehingga posisinya berdiri. Tanpa mengajukan pertanyaan lagi Sissy juga ikutan tegak, lalu menyusul di belakang kedua sahabatnya. Mereka bertiga bergegas menuju tempat yang dimaksud oleh Ceria.
“Aigo! Rame banget.” Mata Sissy terbelalak melihat kerumunan orang di sekitar majalah dinding.
“Kenapa sih?” Dia mengalihkan paras kepada Ceria.
“Lihat ke sana gih,” suruh Ceria dengan raut tegang.
Aarline menatap bingung kedua sahabatnya bergantian. Tak lama kemudian dia semakin dibuat heran ketika langkah Sissy berhenti sebelum mendekati kerumunan.
“SIAPA YANG TEMPEL INI DI MADING??” Teriak suara sedikit berat dengan lantang.
Pandangan Aarline berdiri ke arah tengah kerumunan, lebih tepatnya di samping papan yang digunakan untuk majalah dinding. Di tempat tersebut biasanya para siswa menempelkan berbagai karya baik berupa cerpen, puisi maupun ilustrasi yang dibuat sendiri. Itulah yang masih dilestarikan oleh sekolah Nusa Persada, masih membudayakan majalah dinding di era teknologi canggih seperti sekarang.
“Cleve?” gumamnya ketika mengenali potongan rambut bagian atas yang terlihat di antara kerumunan.
“Mampus! Bang Cleve udah tahu,” cetus Ceria menepuk kening sendiri.
“Kenapa?” tanya Aarline tak bisa lagi menahan diri.
Ceria memejamkan mata beberapa saat, sebelum berujar, “Nanti aja gue kasih tahu ya. Lo tunggu di sini, gue mau ke sana dulu.”
Aarline menahan tangan Ceria agar tidak jadi pergi. “Cerita,” pintanya dengan tatapan memelas.
Ceria mengedarkan pandangan kepada beberapa siswa yang lalu lalang dan melihat Aarline dengan tatapan sinis bercampur menghakimi.
“Nggak nyangka mereka begitu,” bisik salah satu siswa yang terdengar di telinga Aarline.