Aarline menapakkan kaki di pekarangan sekolah dengan senyum mengambang. Dia sudah tidak sabar ingin memberi kejutan kepada kedua sahabatnya hari ini.
“Seneng banget sih pagi ini?” risik Cleve melihat Aarline.
Gadis itu memiringkan sedikit tubuh, agar bisa melihat gerak bibir Cleve. Setelah membacanya, ia berujar, “Senang dong. Bisa pamer sama teman-teman,” jawabnya bangga.
“Eh, nggak boleh sombong. Kamu harus tetap rendah hati,” tegur Cleve.
“Woi! Pasangan yang kemarin viral dan bikin heboh sejagat Nusa Persada, pagi ini anteng-anteng aja nih.” Tiba-tiba Miko datang meledek Cleve dan Aarline.
Sontak langkah Cleve berhenti, lalu memutar tubuh ke belakang. “Sialan lo, Mik! Ledekin terus gue. Puas?” sungutnya ketus.
Miko senyam-senyum melirik Aarline yang jelas menatap bingung membaca gerak bibirnya.
“Gue nggak bakalan ngomong pelan, Aar. Sengaja biar lo nggak ngerti. Sorry ya?” ucap Miko tersenyum usil.
Pemuda itu kembali memalingkan paras kepada Cleve. “Udah jadi nembak belum?”
Mata hijau gelap Cleve melebar seketika. Giginya beradu dengan bibir bergerak tidak jelas.
Miko mengibaskan tangan enteng. “Tenang aja. Aarline nggak bakalan ngerti kok. Orang gue ngomongnya cepet ini.”
“Entar aja bahasnya. Nggak enak ah, Mik.” Wajah Cleve memberengut.
“Ngomong apa sih?” celetuk Aarline sembari mengembangkan keempat jari dengan ibu jari ditekuk, kemudian di goyangkan di depan dagu.
“Ada deh rahasia co—” Miko menghentikan kalimatnya saat menyadari sesuatu.
“Kayaknya ada yang beda deh dari kamu, Aar.” Kali ini Miko berbicara pelan.
“Beda apanya?”
“Oh My God! Apa yang terjadi sama kamu? Kok ngomongnya jadi lancar?”
“Keajaiban, Mik. Kayaknya gara-gara kesal sama kejadian kemarin deh, jadi marahnya keluar semua. Tiba-tiba aja ngomongnya jadi lancar,” jelas Cleve sebelum Aarline menjawab.
“Miracle,” tanggap Aarline menaik-naikkan kedua alis. “Seperti judul buku Helen Keller ‘The Miracle Worker’. Bukti keajaiban ada.”
Mata Miko menyipit bukan mendengarkan jawaban Aarline, tapi melihat gerakan isyarat yang masih digunakannya.
“Kayaknya kamu nggak perlu pake bahasa Isyarat lagi deh, Aar. Volume suara udah cukup terdengar kok sekarang.”
“Aarline merasa bisa mengekspresikan feeling-nya, Mik.” Cleve lagi-lagi menanggapi.
Miko memangku tangan dan melihat Cleve dengan sudut mata. “Ini gue lagi ngomong sama Aarline, kenapa lo yang jawab sih?”
“Beda ngomong langsung dengan bahasa isyarat. Ini identitasku. Aku nggak mau menghilangkannya.” Aarline bergumam sebentar, sebelum melanjutkan perkataannya. “Dengan begini, orang tahu aku tuli.”
Pemuda bertubuh kurus itu bertepuk tangan sambil menggeleng takjub. “Luar biasa loh. Bule biasanya kalau ngomong bahasa Indonesia suka keserimpet tuh lidah, tapi dia nggak.”
“Aarline belajar ngomong ‘kan lebih fokus bahasa Indonesia, Mik.” Cleve menjelaskan.