It's Started in Osaka

Vivie Hardika
Chapter #2

Jakarta

“Rasanya, hampa,” suaranya lirih. Tak lama dia menghela napas berat. “I feel so numb.” Dia melanjutkan kalimatnya dengan nada yang tak berirama. Manik hitam di kedua matanya tampak memandang jauh.

“Sudah berapa lama kamu merasakannya?” seorang perempuan paruh baya di hadapannya bertanya sembari menatapnya erat.

Perempuan itu hanya menjawab dengan gelengan kepala pelan.

“Dari semua emosi, apa yang pernah kamu rasakan akhir-akhir ini?”

Perempuan akhir 20-an itu kembali menggeleng. “Tidak ada.” Dia menambahkan agar dapat memperjelas perasaannya.

“Kapan terakhir kamu menonton film sedih? Film komedi dan film romantis? Mana yang lebih sering kamu tonton?”

“Kemarin saya menonton film komedi. Ketika semua orang di bioskop tertawa, saya tidak bisa mengikuti. Begitu pula dengan adegan sedih-nya, saya tidak merasakan apa-apa.”

Lawan bicaranya tampak menarik napas dalam sebelum akhirnya menyandarkan punggung ke sandaran kursi kebesarannya.

“Kayra, kamu memiliki masalah yang sangat serius. Aku berterima kasih akhirnya kamu mau memberanikan diri datang padaku. Aku senang kamu secara tidak sadar tahu bahwa kamu butuh seseorang untuk berbicara.”

“Bukankah seharusnya saya yang berterima kasih karena sudah mau mendengarkanku, Mbak?”

Perempuan itu menggeleng dengan senyuman lebar. “Tidak banyak orang yang mau mengakui bahwa dia butuh pertolongan.”

Ada jeda pendek seusainya. Kayra tidak tahu harus membalas ucapan itu dengan kalimat yang seperti apa.

“Kapan perasaan seperti ini kamu rasakan?”

Kayra menunduk sembari mencari-cari dalam ingatannya, kapan terakhir dia memiliki emosi?

“Sudah lama sekali sampai saya tidak bisa mengingatnya.”

Hari pertama konsultasi dengan Dr. Indri membuat Kayra semakin bingung dengan dirinya. Benarkah masalah pada dirinya seserius itu? Dia merasa bahwa dia tidak sedepresi itu. Dia hanya bingung mengapa dia tidak bisa tertawa, menangis, takut, kesal, bahkan marah.

Di dalam bus transjakarta itu Kayra merapatkan punggungnya pada sandaran kursi, lantas memiringkan kepala hingga rapat dengan jendela. Dia memandangi aktivitas orang-orang yang dilewatinya. Pada lampu merah dia melihat satu keluarga di atas motor. Dia menatap lama pada balita yang digendong ibunya di jok penumpang.

Dia bahkan tidak pernah tersentuh melihat tingkah pola anak bayi.

**

 

Tring!

Ponsel Kayra berdenting, menandakan sebuah email masuk. Dia langsung membuka surel itu dan mendapati informasi pemberitahuan jumlah cuti tahunannya. Informasi tambahan yang dia dapatkan lainnya bahwa cuti tersebut akan hangus pada akhir masa kontraknya, di bulan Januari.

Kayra bergeming. Dia tidak punya keinginan untuk berlibur sehingga tidak peduli jika cuti tahunannya kembali hangus seperti tahun-tahun sebelumnya.

Nduk…!

Kayra meletakkan ponselnya, hanya mendongak tanpa menjawab panggilan ayahnya dari balik pintu.

“Ayah tadi masak nasi goreng, telornya setengah mateng. Di makan dulu ya, Nduk. Ayah mau ke masjid dulu.”

Kayra masih bergeming. Setelah mendengar suara pintu depan tertutup, dia beranjak dari tempat tidurnya, mengambil handuk, lantas masuk ke dalam kamar mandi. Seusainya, sembari menggosok rambutnya yang basah, Kayra keluar kamar untuk mengambil air minum. Ketika melewati meja makan, dia melihat hidangan malam yang disiapkan Ayahnya. Itu tampak menggoda. Tak lama perutnya bergemuruh setelah membayangkan kuning telur yang akan lumer di mulutnya. Kayra lapar. Dia pun segera menyantap hidangan malam itu sebelum ayahnya pulang.

Rumah itu hanya dihuni oleh dua orang yang bertahun-tahun tidak pernah berada di satu ruang yang sama. Ayahnya selalu sibuk bekerja dan Kayra juga sibuk mengurung diri. Sejak kepergian Ibunya sepuluh tahun yang lalu, hubungannya dengan ayahnya tidak seperti keluarga lain. Kayra yang tidak mau memberi ruang untuk ayahnya, sementara ayahnya yang sungkan, membuat keduanya sulit berkomunikasi dua arah. Kayra amat pendiam dan semakin tidak tersentuh semenjak dia sibuk bekerja. Setelah ayahnya pensiun dan membuka toko perlengkapan golf di rumah, Kayra yang tidak punya waktu. Sejak kepergian ibunya, kasihnya kepada sang Ayah menghilang. Entah mengapa. Kayra lupa alasannya.

Kayra melirik kalender meja di hadapannya. Peringatan kematian ibunya dua bulan lagi, tepatnya pada perayaan tahun baru.

“11 tahun…” gumamnya.

Setelah menyelesaikan makanannya, dia pergi ke wastafel untuk membersihkan piringnya. Ada beberapa piring yang juga kotor, Kayra juga membersihkannya. Setelah wastafel bersih, dia kembali ke kamarnya, menyalakan sebuah lagu di gawai, berharap dapat merasakan emosi yang umum dirasakan ketika mendengar sebuah lagu sendu. Dia sudah mencobanya akhir-akhir ini, berkat saran-saran orang di sosial media, namun dia belum juga merasakannya. Mungkin nanti. Kayra masih memiliki harapan itu.

**

 

Kansai International Airport, 30 Desember

 

Kayra melepaskan penyelia telinga begitu menapaki pintu kedatangan. Dia melirik sekelilingnya untuk mencari tempat duduk. Dia butuh ruang untuk mengirimkan pesan kepada ayahnya. Bahwa dia sudah tiba di tempat tujuan dan melarang ayahnya untuk mencemaskan dirinya.

Setelah menelusuri laman-laman di internet tentang Osaka, Kayra menggeret koper putihnya dan berlalu menuju stasiun kereta.

Libur panjangnya baru saja dimulai.

Dia berharap Osaka akan menghidupkan jiwanya yang mati.

Lihat selengkapnya