It's Started in Osaka

Vivie Hardika
Chapter #4

Maaf

Jinan terbangun ketika seseorang meneleponnya. Dia dengan kedua matanya yang setengah terbuka, meraih ponsel dan mengecek siapa yang mengganggu tidurnya. Melihat nama Yoo Ra di sana membuat kedua matanya terbuka lebar. Dia tidak sengaja menjawab panggilan itu. Dia sadar kelakuannya agak kekanakan, namun untuk saat ini dia belum siap untuk berbicara dengan Yoo Ra, maka dia menutup telponnya.

“Aaahh!” Jinan mengerang kesal. Diacak-acaknya rambut dengan kedua tangannya. Harusnya dia tidak mengulur waktu. Harusnya urusannya dengan YooRa dapat segera selesai hingga dia bisa fokus membenahi perasaannya. Jika dia terus menjauh, bagaimana dia bisa melupakan Yoo Ra?

Apa benar dia siap melupakan semuanya?

Jinan membuka tirai kasur, bersiap membersihkan wajahnya. Dengan langkah frustasi dia menyusuri koridor kamar. Ketika dia melewati tempat tidur ‘gadis dingin’ kemarin, dia melihat salah satu kaki gadis itu terjulur dari tirai. Jinan dapat melihat telapak kaki gadis itu ditempel plester persegi berwarna putih. Itu tampak seperti pereda nyeri bagi Jinan. Dia mengerutkan kening, bertanya dalam hati, “Apa kakinya masih nyeri?”

Memikirkannya membuat perasaan bersalah Jinan muncul kembali. Dia lantas mengambil ponsel untuk mencari tahu apa yang dapat dia lakukan untuk membantu gadis itu. Banyak artikel yang sudah dia baca, namun tidak ada yang membuatnya yakin bisa membantu, kecuali yang satu ini.

“Merendam kaki di air hangat atau air dingin.”

Jinan turun ke lantai dua, mencari wadah yang bisa digunakannya untuk menampung air hangat. Setelah mengobrak-abrik dapur dan daerah kamar mandi, dia tidak menemukan wadah yang cukup untuk menampung dua kaki. Jinan putus asa. Dia pikir dia tidak bisa membantu gadis itu, maka dia menyerah. Dia memilih untuk keluar penginapan dan memutuskan untuk membeli sesuatu yang dapat dimakan saja. Mungkin ada jenis makanan yang dapat membantu mengurangi rasa nyeri di kaki. Jinan terus mencari di internet sembari turun. Akan tetapi hasil temuannya membuatnya frustasi. Tidak ada satupun jenis makanan itu yang dapat ditemukan di minimarket. Jika dia bersikeras membelinya, dia harus pergi ke pasar yang lebih besar, dan dia tidak tahu letak pasar itu.

Begitu keluar dari penginapan, Jinan baru menyadari bahwa dia tidak mengenakan pakaian yang sesuai untuk cuaca yang dingin. Jinan refleks bergidik. Tak ingin mati kedinginan, Jinan memutuskan untuk kembali ke kamar. Akan tetapi langkahnya terhenti ketika melihat sebuah ember di luar. Jinan tampak sumringah, seolah dia baru menemukan harta karun.

Dia lantas membawa ember berukuran kecil itu ke atas. Setelah membersihkannya, dia menampung air hangat di sana. Jinan tak sabar untuk memberikan seember air hangat itu pada Kayra. Dia berharap bantuan ini sangat berguna.

Tempat tidur Kayra masih tertutup tirai ketika Jinan sampai di kamar. Jinan meletakkan bantuannya di depan tempat tidur Kayra dan berniat untuk membangunkan gadis itu, maka dia memilih untuk menunggu. Jinan bolak-balik di koridor kamar, lantas berakhir dengan duduk di salah satu kasur yang kosong sembari mengamati ember air panasnya. Dia secara bergantian memerhatikan ember dan tirai yang tertutup. Jinan masih menunggu hingga tanpa sadar kedua kakinya bergerak-gerak.

Jinan mengecek jam tangannya, sudah 10 menit. Dia mengecek air di dalam ember. Suhunya sudah kembali normal. Jinan berpikir harus mengganti air tersebut. Dia pun kembali turun ke lantai bawah. Kali ini Jinan membawa air yang lebih hangat, bahkan mendekati panas, dari air sebelumnya. Ketika Jinan baru melewati pintu masuk, dia terkejut melihat Kayra sudah berdiri di depan tempat tidurnya.

Jinan tanpa sadar menjadi sumringah. Usahanya kali ini akan berhasil. Gadis itu melihat ke arahnya dengan kedua mata yang membulat.

Jinan buru-buru meletakkan ember berisi air hangat di depan Kayra. “Kudengar. Air. Hangat.” Dia agak terbata-bata. Dia tidak begitu lancar berbahasa inggris, sehingga dia takut ucapannya tidak dapat dimengerti Kayra. Maka jurus andalannya kembali digunakan. Jinan mengambil ponsel dan mengucapkan sesuatu.

“Kudengar air hangat dapat membantu meredakan nyeri kaki. Pakai lah. Kuharap kakimu lekas sembuh.”

Setelah mendengar keseluruhan ucapan Jinan, Kayra tertunduk menatap ember berisi air di hadapannya. Tanpa mengatakan sepatah katapun, Kayra mengambil tempat duduk di tepi kasur. Kali ini dia ragu untuk menerima bantuan pria itu, karena sedang malas berkilah. Maka dia merendam kedua kakinya setelah melepaskan koyo di telapak kakinya.

Gerakan kaki Kayra sangat berarti bagi Jinan. Pria berkacamata itu tampak sumringah karena bantuannya diterima tanpa ada penolakan sedikitpun.

“Terima kasih,” ujar Kayra.

Jinan membalas ucapan Kayra dengan anggukan kepala yang berulang. “Jika airnya sudah tidak hangat, katakan saja padaku. Aku akan menggantinya hingga kedua kakimu merasa lebih baik.”

Kayra mendekatkan wajahnya pada ponsel Jinan lantas berbicara.

“Mengembalikan cincinmu itu keputusanku, jadi kau tidak perlu merasa bertanggung jawab atas kakiku. Aku baik-baik saja.”

Jinan memberi respon dengan seruan, “Ahh…! Nggak apa-apa. Aku hanya tidak tahu harus melakukan apa selama di sini. Aku tidak keberatan jika kau butuh ban—”

“Tapi aku keberatan dan merasa tidak nyaman.”

Kalimat terakhir Kayra membuat Jinan kaget. Benarkah itu yang Kayra maksud? Jinan sampai mengecek ponselnya dua kali. Tidak ada yang salah dengan aplikasi terjemahannya. Kayra benar-benar mengemukakan rasa keberatannya.

Tidak mungkin!

**

 

Kayra sudah berada di lantai dua sebelum memulai sesi konsultasinya dengan Dr. Indira. Jika biasanya dia akan lebih senang berada di dalam kamar untuk melakukan sesi daring, kali ini Kayra tidak ingin menggangu tamu lain dengan suaranya. Untunglah, ruangan di lantai dua tidak digunakan oleh siapapun, sehingga dia bisa dengan nyaman melakukan konsultasi dengan Dr. Indira.

Sebelum membuka tab-nya, Kayra lebih dulu memasang penyuara telinga tanpa kabel, lantas menunggu dr. Indira membuka kanal daring-nya. Dia duduk berselonjor kaki di sofa sembari memangku tablet agar lebih rileks. Setelah menunggu setengah menit, dr. Indira memanggil-nya. Kayra mengambil napas dalam sebelum mengangkatnya.

“Hai Kayra, bagaimana liburanmu di Jepang?” itu kalimat pertama yang Kayra dengar ketika berhasil tersambung dengan dr. Indira.

Kayra tidak merespon. Dia hanya sedang berpikir, berita mana dulu yang harus dia beritahukan kepada psikiaternya itu.

“Kalau begitu mulai dengan hari pertama ketika kamu mendarat. Apa yang kamu rasakan?” tanya Dr. Indira seolah dapat membaca pikiran Kayra.

“Biasa saja, Dok.”

“Oh, Ya? Kamu yakin nggak melewatkan sesuatu yang menarik?” dr. Indira berusaha memancing.

Kayra tidak menjawab, dia hanya menggelengkan kepala satu kali.

Lihat selengkapnya