It's Started in Osaka

Vivie Hardika
Chapter #5

Ramyeon Date

Kereta yang membawa Kayra berhenti di stasiun tujuan. Di sepanjang perjalanan tadi, dia sibuk membuka laman daring untuk memastikan kembali bahwa dia tidak salah jalur. Setelah mengecek berulang, dia pun bisa duduk di kereta dengan tenang. Dia menajamkan telinga dan kedua matanya setiap kali kereta berhenti di stasiun. Dia kemudian menjadi tidak begitu khawatir setelah melihat beberapa remaja yang mengenakan pakaian penyihir. Dia berasumsi bahwa remaja-remaja itu juga akan pergi ke tempat yang sama, maka dia hanya memerhatikan remaja-remaja itu.

Universal Studio adalah salah satu destinasi wisata paling popular di Osaka, namun bukan itu alasan utama Kayra mengunjunginya. Dia tidak menyukai keramaian, namun dia harus pergi dimana orang-orang bergumul sebagai bagian dari terapinya.

Menghadapi kekhawatiran dan ketakutan.

Di hari pertama berada di tempat ramai, Dontoburi, Kayra gagal beradaptasi. Dia tanpa sadar langsung menolak keramaian tanpa ada usaha untuk tinggal beberapa menit. Kali ini dia ingin melawan apa yang biasa dia lakukan. Dia percaya Universal Studio setidaknya akan membawa satu implementasi emosi dalam dirinya. Apapun itu.

Benar saja. Ketika dia baru keluar dari kereta, keramaian langsung menyergap. Meski tidak memiliki gangguan panik, tanjakan berundakan di hadapannya tetap membuatnya gugup.

Ayo Kayra. Kau di sini bukan untuk memanjakan diri.

Kayra menelan ludah. Dia baru saja ditantang.

Seharusnya aku ikut travel saja. Kayra bergumam, lantas melangkahkan kaki melewati rintangan pertama. Meski berjalan sangat lamban, jika dibandingkan orang-orang Jepang, akhirnya Kayra sampai di gerbang menuju Universal Studio. Kali ini dia bisa lega. Jalanan di depan tidak akan menambah nyilu di kakinya.

Rupanya, jalanan menuju gerbang masuk Universal Studio lebih ramai dari yang dibayangkan Kayra. Karena sudah bertekad untuk melakukan eksperimen, dia berusaha mengabaikan kekhawatirannya. Dia berjalan hati-hati, menuju gerbang utama. Setelah memasuki halaman utama Universal Studio, dia mengaktifkan kamera ponsel, ingin mengabadikan momen. Ini juga salah satu upaya untuk melihat perubahan emosi melalui wajah. Dr. Indira yang menyarankannya.

Setelah melakukan selfie, Kayra melanjutkan perjalanannya. Dia tidak tahu akan mencoba wahana apa, dia hanya berjalan sembari melihat hasil temuannya di laman daring. Hari gini, sosial media memang cukup dapat diandalkan.

Tidak ingin terburu-buru, Kayra memilih Jurassic Park sebagai wahana pertamanya. Katanya, wahana ini serupa dengan wahana rumah hantu, menegangkan dan akan membuat siapapun berteriak. Kayra ingin mencobanya. Barangkali dinasaurus di Universal Studio lebih menakutkan dari hantu-hantu di Indonesia.

**

 

Jinan sedang memilah-milah topi Mario Bross di rak salah satu toko yang menjual merchandise Universal Studio. Dia tidak tertarik masuk ke arena wahana. Dia sudah pernah ke sana. Kali ini dia hanya ingin berjalan-jalan di sekitar lalu menunggu hari berlalu di sebuah café ataupun restauran terdekat. Dia hanya ingin membeli merchandise untuk keponakannnya.

“Kau yakin tidak punya barang lain yang ingin dibeli?” tanya Jinan kepada Jieun melalui sambungan telepon.

“Kurasa itu saja cukup. Jika kau ingin membelikan barang lain, belikan saja. Jio pasti suka. Ulang tahunnya bulan depan, anggap saja kado lebih awal.” Nada suara Jieun terdengar penuh maksud.

“Kau harus membayarnya untuk itu.”

“Aku akan membayarnya dengan semangkuk bibimbap.”

“Tidak usah. Bibimbap-mu tidak pernah enak.”

“Ya!” Jieun terdengar tersinggung. “Oh, ya, mana Yoora? Aku tidak melihatnya dari tadi.”

Jieun belum tahu masalah yang terjadi, jadi dia berpikir Jinan pergi ke Universal Studio bersama Yoora. Jinan memang tidak bermaksud memberitahu Jieun karena tidak ingin Ayah dan ibunya tahu. Dia masih memiliki harapan bahwa adegan di malam tahun baru itu hanyalah khayalannya semata.

“Dia sedang di toilet. Sudah ya. Semakin lama nanti kau semakin banyak mau.” Tanpa menunggu balasan dari Jieun, Jinan langsung memutuskan hubungan video dengan kakaknya.

Setelah membeli barang pesanan Jieun, Jinan pergi ke sebuah café yang tidak begitu ramai. Dia memesan segelas americano panas dan sepiring sandwich telur. Sembari menunggu pesanannya datang, Jinan meminjam sebuah majalah. Meski tidak bisa membaca, dia hanya ingin melihat-lihat. Halaman terakhir majalah itu sudah dicapai, Jinan mulai bosan. Dia mengambil ponsel dan membuka aplikasi musik. Setelah memasang penyelia suara, dia memutar lagu secara acak. Tidak banyak yang bisa dia lakukan di café itu selain mendengarkan lagu dan melihat lalu lalang orang dari dalam. Kedua matanya kini sibuk memerhatikan setiap orang yang lewat. Dia terus memerhatikan dengan tenang, sampai akhirnya dalam sepersekian detik dia tampak terkejut melihat seseorang yang tampak familiar lewat.

“Bukannya itu si gadis dingin?” julukan itu datang begitu saja. Untuk sejenak, Jinan lupa nama gadis itu.

Jinan sempat menyangkal. Mungkin hanya mirip. Namun cara berjalan gadis itu yang sedikit lamban, membuatnya yakin bahwa dia melihat orang yang sama.

“Rupanya dia ke sini juga,” ujar Jinan seraya mengangguk-angguk.

Lihat selengkapnya