Nama lengkapku Sifa Aprilia Zeidan. Gabungan namaku dan nama ayahku. Aku hidup di tanah sunda sedari lahir. Serta menjalankan seluruh rangkaian kegiatan selama bertahun tahun di pulau jawa, Walaupun begitu, aku tak selamanya hidup di lingkungan tempat tinggalku. Saat memasuki sekolah putih abu, aku merantau ke daerah yang masih satu provinsi dengan rumahku. Disana, aku tinggal bersama kakakku yang sudah menikah, namanya Natalia Zeidan. Dia sudah memiliki suami bernama Muliana Atarfa. Mereka dikarunia anak saat aku baru masuk kuliah dan secara otomatis aku menjadi pengasuh keponakanku sendiri.
Selama empat tahun menumpang hidup, aku hanya memperoleh tiga sahabat. Gea, Refa dan Luna yang kebetulan Tuhan takdirkan untuk kuliah di tempat yang sama. Dari tiga orang itu, hanya Refa yang satu jurusan denganku. Gea mengambil jurusan seni dan Luna mengambil jurusan tehnik sipil.
Aku dan Refa terkadang terlibat kelas yang sama, saling bertukar pendapat dan mengerjakan tugas secara bersama sama.
“Fa, aku lupa ngerjain tugas, nih. Kemarin kemarin malah sibuk pemotretan coba. Emmm, Pinjem bukunya, dong.” Dia sering kelabakan saat mendekati jam masuk kelas. Gerak tubuhnya tak karuan. Semua itu membuatku tidak nyaman. Aku menyodorkan kertas yang sudah ditandai nama di halaman depannya. Dia langsung menyalin tanpa mempertimbangkan jawaban milikku.
“Gimana kalau salah lagi?” Dia tetap fokus dan berkata. “Bodo amat lah. Yang penting itu, udah ngerjain. Oke," Ucapnya rusuh.
Akhirnya aku tidak peduli jika itu salah atau benar. Jika salah, dia juga akan salah. Setidaknya jika dikatai tidak mampu oleh orang lain, aku tidak sendirian.
“Teh, kursi sebelahnya kosong, kan?” Seorang lelaki jangkung tiba – tiba duduk disamping kananku. Dia bertanya tapi seakan tidak menunggu untuk dijawab. Gerakan tangannya cukup cepat. Dia segera menyimpan tas di atas meja mini di depannya.
“Hai. Aku Diandika Rama Witular. Biasa dipanggil Rama. Nama kamu siapa?” Dia menyodorkan tangan. Aku meraih tangannya sembari merasa bingung dan berkata
"Sifa.” Aku harap dia tidak mendengar suaraku yang agak bergetar. Tangan kami dilepas saat dosen memasuki ruangan.
Selama pembelajaran berlangsung, inderaku berusaha untuk menangkap hal yang disampaikan dosen, tapi pikiranku malah terfokus pada lelaki disampingku. Tumben ada yang ngenalin diri secara langsung. Ini pertama kalinya dalam hidupku.
Saat keluar kelas, Refa mengajakku makan di kantin sederhana yang sudah menjadi langganan anak kelas menengah ke bawah. Siapapun diantara kami yang mengajak makan, tetap saja yang membayarnya adalah dia. Kenapa? Karna dia yang memiliki penghasilan.
“Dulu kamu sempet sekolah dimana?” Lelaki tadi berdiri di samping kiriku.
“Eh, Kak Rama kok ada disini?” Aku menoleh ke arah Refa. Dia nampak tersenyum berseri sambil melihat lelaki di sampingku. Aku yang menjadi penengah diantara mereka pun akhirnya berpindah ke sisi kanan Refa. Posisi tadi membuatku tidak nyaman.
“Hai Refa. Lama gak ketemu. Aku disini lagi ngintai satu cewek. Katanya dia punya julukan ice princess.” Dia mendekatkan tangan dan mulut ke telinga Refa, tapi suaranya tetap nyaring.
“Cewek? Siapa? Oh, Sifa maksudnya?”
“Nah iya, itu namanya. Banyak yang bilang kalau dia orangnya jutek dan gak bisa senyum.”
“Kak, bukannya enggak bisa senyum. Keliatannya emang gitu. Tapi sebenernya….” Bisikan mereka malah membuat telingaku terasa ditiup hawa panas. Setidaknya, jika mereka berniat membicarakanku, kenapa harus sampai tertangkap telinga yang lain?
“Berisik tahu.” Aku pergi menuju kantin tanpa bicara apapun pada mereka.
“Fa, kamu kenapa? Kamu marah? Oh ya. Sekarang, aku yang traktir deh. Kamu mau pesan apa?” Aku mengambil kertas yang tergeletak di meja dan menghampiri sang penjual untuk memesan. Refa ikut berdiri dan melakukan hal yang sama. Aku duduk kembali ke tempat tadi dan dia ikut duduk di sebelahku.
“Kamu marah karna aku ngomong kayak tadi? Maaf ya, aku malah bisik bisikan sama Kak Rama. Semuanya gara – gara kamu sih.” Aku melihat ujung jari telunjuknya yang mengarah ke laki – laki tadi. Rama?
“Hei, anak orang. Tadi kamu yang duluan nanya. Kenapa sekarang malah aku yang disalahin?” Aku berpindah ke meja lain sambil berharap suara gaduh mereka tidak terdengar.
“Kamu masih marah ya?” Refa kembali mendekat. Dia tidak sendiri, laki laki tadi juga ikut duduk di bangku yang berhadapan dengan Refa.
“Neng, ini pesanannya.” Aku melempar tatapan ke arah mereka secara bergantian.
“Aku enggak marah. Enggak perlu minta maaf juga. Aku kayak gini karna moodnya emang lagi enggak bagus. Kalau kalian mau disini, enggak usah nanya terus.” Aku menarik nafas lalu melanjutkan ucapanku.