"Oke. Aku akan bantuin kamu. Tapi dengan syarat kamu enggak boleh telpon aku terus terusan kayak tadi, jangan sok kenal di kampus dan kamu enggak boleh ikut campur urusanku."
"Aduh neng, banyak amat syaratnya."
"Kalau enggak mau ya udah. Jangan harap aku bakalan mau bantuin kamu."
"Oke. Iya deh. Aku penuhi semua syaratnya. Tapi kamu harus bantuin aku, ya. Please." Dia memohon dengan menempelkan kedua tangannya. Karna tidak tega melihatnya sampai memohon mohon, akhirnya aku pun mengangguk.
"Lapar enggak? Gimana kalau kita makan dulu?"
"Aku enggak lapar. Kalau enggak ada yang penting, aku pulang dulu. Aku tidak enak dengan tamuku."
"Bentar. Aku minta nomer WA kamu, dong. Biar nanti enak buat diskusinya." Aku mengambil ponselnya, menekan tombol berisi angka dan mengembalikannya.
"Makasih. Mau aku antar pulang?"
"Aku bisa pulang sendiri." Aku berjalan menaiki angkot menuju ke rumah kakakku.
Di teras rumah, aku tidak menemukan sepatu dan sandal berserakan. Aku mengatur nafas dan masuk ke dalam.
"Sifa, tadi Ibu, Ayah sama Fakhir kesini, lho," Ucapnya sambil menggiring sapu ke arah dapur.
"Aku tahu kok. Tadi aku juga sempat ketemu mereka," Ucapku sembari menyimpan sepatu di rak.
"Mereka bilang, maaf enggak sempat pamit sama kamu. Fa, katanya ada salam dari teman temanmu yang ada di rumah." Kata yang keluar dari mulut kakak malah terdengar seperti Sifa ini orang yang memiliki banyak teman di tempat kelahirannya.
"Teman? Kak, aku mau mandi dulu." Aku berjalan ke kamarku. Sebetulnya aku tidak benar benar ingin mandi.
Suasana hati yang tidak nyaman di sepanjang hari membuat aku tidak tenang. Kemanapun langkah kakiku tertuju, tetap saja hanya ada lokasi dengan urusan kampus yang jadi tujuan. Selain itu, aku tidak tahu harus pergi kemana. Penjagaan di rumah Kakakku lebih ketat dibanding saat di rumahku. Kakakku selalu saja melaporkan hal yang kulakukan pada ibuku. Untungnya, Rama membuatku keluar rumah hari ini sehingga aku tidak mendengarkan ceramah dari orang tuaku. Apa aku harus berterima kasih padanya?
Bukannya ke kamar mandi, aku malah meluruskan badanku di atas ranjang. Setiap kali hendak memejamkan mata, ingatan tentang masa laluku terus menghantui. Tanpa terasa, terkadang wajahku basah. Mata dan hidungku memerah dan sedikit pilek.
***
Aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan beribadah. Di setiap doaku, aku berharap kebahagiaan hinggap walau hanya sekejap. Tanganku bergerak menelusuri meja kecil di samping kasurku. Aku menemukan ponselku diatasnya. Saat memeriksa ponsel, ada satu pesan yang masuk. Aku membuka dan membaca dengan seksama.
"Besok kita ketemuan di taman kota jam setengah sebelas. Itu pun kalau kamu bisa."
Rama mengajakku bertemu di akhir pekan. Aku tidak keberatan karna kebetulan aku tidak pernah sibuk. Melihat waktu dan lokasi yang direncanakan, aku pastikan bahwa itu diluar jadwal mengetik naskahku.
Sepiring nasi goreng buatan kakak cukup memberiku tenaga untuk beberapa jam. Aku pergi ke kampus lebih awal dari biasanya karna ingin menikmati suasana pagi yang menenangkan. Dengan senyuman, aku turun di depan gerbang kampusku. Kuhirup udara segar yang menyejukkan badan. Mataku dipejamkan agar bisa mendapatkan efek yang luar biasa nyaman.
"Pagi banget, neng." Aku tersentak mendengar seseorang berucap dari samping. Tubuhku diarahkan untuk menghadapnya.
"Iya. Ini emang pagi banget. Ngapain kamu disini?" Penampilannya berbeda dari hari kemarin. Dia mengenakan jaket jeans berwarna biru muda tanpa dikancing, lengkap dengan celana jeans yang berwarna hitam. Didalam jaket, sepertinya dia mengenakan kaos berwarna abu abu terang. Dia juga membawa tas yang hanya muat untuk satu gitar saja.
"Mau latihan musik sama anak-anak seni."
"Kamu suka seni?" Tanyaku.