"Katanya teman dekat, kok bisa salah ngira." Seketika itu aku merasa sedikit terkejut sekaligus terheran heran. Wajah yang terdapat dalam lukisan itu benar - benar seperti jiplakan wajah Refa.
"Aku enggak salah ngira, Ram. Aku kenal sama Refa itu udah lama. Ini jelas jelas Refa tahu." Dia menatapku dengan mata yang berbeda. Matanya terlihat segaris tapi menyeramkan.
"Beberapa tahun saja bilangnya udah lama. Gini, aku bahkan udah mengenal mereka itu delapan tahun yang lalu. Aku yang buat lukisan ini dan jelas ini bukan Refa."
"Kalau ini bukan Refa, terus ini lukisannya siapa?" Suara dering ponselku membuat kami tidak berbicara. Aku memperhatikan nama yang muncul di layar. Kakakku menelpon. Aku menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga.
"Halo. Iya, kak."
"Ini mau magrib, Fa. Kamu udah dimana?" Aku menggaruk belakang telinga yang tidak gatal.
"Aku masih di kampus. Kebetulan ada kegiatan sama anak anak jurusan. Bentar lagi aku pulang, kok." Dia mengakhiri panggilan tanpa memberitahu terlebih dahulu. Karna asal bicara, aku harus menyiapkan semua kemungkinan jawaban yang bisa digunakan nanti. Interogasi kakakku lebih lama dibandingkan Ibuku dulu.
"Siapa yang nelpon?" Aku teringat satu hal. Sepertinya, alasan yang lebih mungkin adalah menjenguk Refa. Dengan begitu, kakakku tidak akan mengajukan pertanyaan yang lainnya.
"Kakak aku. Oh iya, Refa katanya lagi sakit. Gimana kalau kita jenguk besok?"
"Oke. Ini bisa jadi lebih mudah dari dugaanku." Aku mengangguk dan berusaha untuk berdiri.
"Fa, mau pulang sekarang? Aku antar, ya."
"Enggak usah. Aku bisa dan biasa pulang sendiri, kok." Aku bergerak ke pinggiran jalan. Angkot yang berlalu lalang melewati jalanan ternyata tidak ada yang kukenali. Dengan berat hati, aku pun kembali ke belakang. "Rama, aku enggak tahu harus pakai angkot yang mana."
Dia tersenyum sesaat lalu berjalan ke arah motornya. "Kalau mau nebeng mah bilang aja, enggak usah pura - pura enggak tahu angkotnya. Yuk naik. Jangan lupa, pakai helm." Rama melajukan kendaraan seperti tadi. Helm yang kukenakan terus terusan menghantam helmnya. Ini ulah mataku yang tidak bisa beradaptasi dengan udara dingin, maunya tertutup saja.
"Jangan tidur!" Aku tersentak dan membuka mata saat itu juga. Saat mendekati rumah, aku menegakkan tubuh dan menyuruhnya berhenti. Aku mengembalikan helmnya dan menginjakkan kaki ke tanah.
"Rumah kamu sebelah mana?"
"Rumahku ada disana." Aku menunjuk sebuah rumah yang tertutupi pohon mangga.
"Udah dekat. Kenapa turun? Naik aja. Aku antar sampai ke halaman rumah."
"Gak! Gak boleh" Dia terdiam dan menatapku dengan mata yang membesar.
"Disana orang orangnya tukang gosip. Takutnya aku malah dituduh yang enggak enggak sama mereka." Sebetulnya aku tidak ingin berbohong, tapi aku tidak punya pilihan lain untuk menjadikannya alasan. Aku tidak ingin dia tahu kalau kami berhenti tepat di depan rumah.
"Kalau gitu, aku pulang dulu. Makasih buat hari ini." Dia menghidupkan motor dan pergi meninggalkanku. Aku masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan apapun.
"Eh, si neng baru pulang. Udah dari mana saja? Tumben pulangnya telat." Kakakku sepertinya sengaja berkata agak kencang dibanding biasanya. Dia melakukan hal tersebut mungkin saja agar lawan bicaranya di telpon bisa mendengarkannya.
"Aku tadi ada kegiatan di kampus terus aku juga jenguk Refa di rumahnya."
"Jenguk Refa atau pacaran?" Sebelah alisku naik secara refleks. Apa dia memperhatikanku dari dalam rumah?
"Aku jenguk Refa, kak. Dia sakit dan enggak bisa ngampus." Aku menimbang kata untuk mengalihkan topik. "Kakak lagi telponan sama siapa?" Dia langsung menjauhkan telpon genggam dari telinganya. Bagian atasnya di tutup dengan tangan.