"Duh, lama banget, Fa." Dia mengambil handuk dari tangan dan membantuku. Kipas angin miniku dimatikannya usai rambutku agak kering.
"Eh, makasih, Kak." Karna Kak Nata berjalan ke arah tangga, aku pun mengikutinya.
"Kakak kesabet apaan? Kenapa masak makanan enak kayak gini? Ini semua kan makanan kesukaan aku," Kataku sambil mengambil kursi di samping kakak. Aku berusaha mengambil ayam kesukaanku, tapi tidak sampai. Makanan itu menjauh saat hampir tersentuh.
"Maaf, aku bikin buat suami, bukan kamu. Kamu makan yang lain aja, gih," Bisiknya sembari mengambil target incaranku. Dengan lemas, aku mengambil makanan lain untuk makan malamku. Aku pun memasukkan suapan demi suapan makanan dengan tangan kananku secara perlahan.
"Kakak baru ingat." Seketika makanan yang tengah kukunyah jatuh menuju perut. "Tadi kamu telponan sama siapa?" Leherku ditekuk agar dapat merunduk. Rasanya sangat mengkhawatirkan bila mataku bertemu dengan sorot matanya.
"Aku telponan sama teman, Kak. Dia tugasnya sekelompok sama aku." Aku menyuap sesendok nasi ke mulut. Aku masih dengan posisi yang sama karna tak berani menatapnya.
"Aku udah selesai, Kak. Aku mau lanjut nugas." Aku berlari meninggalkan mereka yang masih terduduk di ruang makan.
Aku mengunci pintu dengan slot yang ada agar tidak ada sembarang orang yang masuk ke kamar. Aku meluruskan badan di atas kasur sambil memeriksa media sosial di ponsel. Baru saja menghidupkan layar, aku sudah di kejutkan dengan banyaknya panggilan tak terjawab dari orang yang sama.
Ini orang enggak ada kerjaan apa? Aku menghubunginya kembali bersama dengan rasa cemas. Untuk orang yang baru dikenal, mana mungkin dia melakukannya hanya karna iseng dan bercanda. Bisa jadi keadaan darurat memaksanya melakukan hal ini.
"Halo. Ada apa? Kenapa kamu menghubungiku terus? Kamu kenapa?" Telponku terputus mendadak. Tidak ada tanda keberadaan sinyal di layar ponselku.
Aku melewati pintu kaca agar mendapat sinyal, tapi tetap nihil. Tidak ada yang kudapat barang satu tiang pun. Aku menjunjung tinggi ponsel dan melihat tiang sinyal sudah penuh. Aku langsung menariknya ke bawah dan berusaha menghubunginya kembali, tapi tetap tidak berhasil. Sinyalnya mendadak menghilang lagi.
"Kenapa enggak ada terus sih?" Ucapku sambil menggoyang goyangkan ponsel.
Karna kesal, aku pun akhirnya membanting ponsel ke sembarang tempat dan itu membuat bagian ponselku berserakan di lantai. Aku memungut dan membetulkannya. Dasar bodoh.
Ponselku satu satunya malah hancur karna hal sepele. Padahal ini nyaris menginjak dua tahun penggunaan. Aku menepuk dahi dan kembali membetulkannya hingga selesai.
Akhirnya dia kembali berfungsi. Aku menyimpannya perlahan di atas meja sebelahku sambil berharap bahwa tidak akan ada hal baru yang menambah kecemasanku.
***
Sinar matahari begitu menyilaukan mataku. Dengan perlahan, aku membuka mata dan memperhatikan waktu yang tertera di jam dinding. Jam delapan. Ini sudah telat. Aku menarik selimut yang tergeletak di lantai bersama bantalnya.
Karna melihat kondisi kamar yang berantakan, aku kembali mengingat kejadian semalam. Aku menangis dan melempar sembarang barang di atas kasur ke lantai karena kesal dengan ponselku. Sejak kapan aku menjadi gila? Aku kembali melanjutkan proses beberesih kamar dan memergoki lampu di pojokan ponselku menyala.
Aku membuka kunci layar ponsel usai seluruh sudut kamar di bersihkan.
“Aku tunggu di pertigaan dekat rumah kamu, ya. Jam delapan kita otewe ke rumah Refa.”
Aku berlari ke kamar mandi usai membacanya. Wajahku di poles bedak tabur dan bibirku di bubuhi pelicin bibir agar tidak kering. Aku menggerai rambut dan mengambil ransel kecil andalanku. Karna tidak percaya diri dengan aroma tubuhku sendiri, aku pun akhirnya menyemprotkan minyak wangi ke tangan, badan dan juga leher.
Aku berlari menuruni anak tangga dan berhasil mengelabui keponakanku yang tengah asyik bermain rumah – rumahan.